Bahtsul Masail

Hukum Kentut di Ruang Publik

Sab, 24 November 2018 | 15:05 WIB

Hukum Kentut di Ruang Publik

(Foto: @via grid.id)

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Pak ustadz, ketika kecil dahulu kami menganggap lumrah maaf kentut di hadapan teman-teman sebaya. Tetapi ketika dewasa kini kita terikat norma-norma sosial. Bagaimana kalau sebagian kami yang dewasa ini kentut sembarangan di depan umum. Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Abdul Karim/Cilacap)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Maaf, kentut adalah peristiwa biologis biasa dan keniscayaan sebagaimana kita membuang air kecil dan air besar. Sampai di sini tidak ada masalah.

Persoalan ini akan menjadi berbeda ketika kentut di ruang publik. Kami melihat dua persoalan dalam hal ini, pertama soal bau atau aroma yang mengganggu dan kedua soal etika sosial.

Pada masalah pertama soal bau yang mengganggu dan aroma tidak sedap yang menyakiti orang lain, Islam melarang keras mereka yang tidak bersih-bersih mulut untuk menghadiri ruang publik seperti masjid dan ruang pertemuan lainnya.

Kita mendapati hadits Rasulullah SAW yang tidak memperkenankan orang yang memakan bawang putih tanpa bersih-bersih mulut untuk mendatangi masjid karena aromanya dapat mengganggu pengunjung lainnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud sebagai berikut:

عن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه و سلم قال من أكل من هذه الشجرة يعني الثوم فلا يقربن مسجدنا رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم فلا يقربن مساجدنا وفي رواية لهما فلا يأتين المساجد وفي رواية لابي داود من أكل من هذه الشجرة فلا يقربن المساجد

Artinya, “Dari Ibnu Umar RA bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Siapa saja yang memakan makanan ini, (maksudnya bawang putih), jangan mendekati masjid kami,’ (HR Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim, ‘jangan mendekati masjid-masjid kami.’ Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, ‘jangan mendatangi masjid-masjid.’ Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, ‘Siapa saja yang memakan pohon ini, jangan mendekati masjid-masjid,’” (Lihat Syekh Abdul Azhim Al-Mundziri, At-Targhib wat Tarhib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1417 H], cetakan pertama, juz I, halaman 138).

Tentu saja hadits ini tidak dipahami harfiah yang menyempitkan maknanya. Larangan untuk menggangu orang lain dengan aroma tidak sedap dalam hadits ini juga mencakup tubuh dan pakaian. Seseorang harus memastikan tubuh dan pakaiannya tidak mengandung aroma busuk sebelum berjumpa dengan orang lain sebagaimana keterangan Sayyid Bakri Syatha berikut ini:

ومثل ذلك كل من ببدنه أو ثوبه ريح خبيث

Artinya, “Serupa dengan masalah itu (memakan bawang) adalah orang yang tubuh atau pakaiannya mengandung aroma busuk,” (Lihat Syekh Sayyid Bakri Syatha, I‘anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425 H-1426 H], juz II, halaman 51).

Dari sini kemudian para ulama membuat kaidah bahwa gangguan atas kenyamanan orang lain karena aroma dari mana pun sumbernya, yaitu mulut, tubuh, atau pakaian seseorang dilarang dalam Islam.

وَكُل رَائِحَةٍ مُؤْذِيَةٍ فَهِيَ مَمْنُوعَةٌ

Artinya, “Segala aroma yang menyakitkan orang lain maka itu dilarang,” (Wizaratul Awqaf was Syu`unul Islamiyyah, Al-Mausu’atul Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Safwah: 1997 M/1417 H], cetakan pertama, juz X, halaman 104).

Hal ini bisa dipahami karena kita tidak dapat membayangkan bagaimana dampak aroma busuk atas kenyamanan orang lain ketika ada seseorang kentut (bau badan, bau ketiak, atau aroma tidak sedap lainnya) di ruang tertutup, pasar, bus kota, krl, atau ruangan berpendingin. Tentu saja kami tidak menyarankan seseorang untuk kentut sembarangan di ruang terbuka.

Lalu bagaimana dengan kentut yang tidak menghasilkan aroma busuk? Hal ini menurut hemat kami berkaitan dengan masalah kedua, yaitu etika sosial. Meski tidak melahirkan aroma busuk, suara kentut di depan umum dapat merusak mood, konsentrasi, dan gangguan psikis terhadap orang lain seperti mereka yang sedang makan atau minum.

Kami menyarankan mereka yang ingin kentut sebaiknya menjauh dari keramaian seperti menepi atau mencari ruang publik yang seharusnya seperti toilet umum.

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.


(Alhafiz Kurniawan)