Bahtsul Masail

Hukum Mengadakan Pesta Sunatan (Walimatul Khitan)

Ahad, 10 Juli 2016 | 12:04 WIB

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Pengasuh rubrik Bahtsul Masail NU Online yang baik, insya Allah dalam beberapa waktu ke depan ini saya akan mengkhitankan anak pertama saya. Saya ingin menanyakan mengenai hukumnya mengadakan pesta khitanan anak yang telah menjadi tradisi di masyarakat. Perlukah diadakan acara seperti itu? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Soeryo/Bekasi).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya kepada kita semua. Istilah walimah atau kenduri biasa digunakan untuk pesta perkawinan. Untuk kenduri lainnya, masyarakat Arab memiliki istilah lain di luar kata ‘walimah’. Tetapi kemudian istilah walimah digunakan untuk menyebut pelbagai kenduri selain pesta perkawinan.

Keterangan ini bisa kita temukan di buku Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar karya Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini sebagai berikut.

فصل والوليمة على العرس مستحبة والإجابة إليها واجبة إلا من عذر الوليمة طعام العرس مشتقة من الولم وهو الجمع لأن الزوجين يجتمعان وقال الشافعي والأصحاب الوليمة تقع على كل دعوة تتخذ لسرور حادث كنكاح أو ختان أو غيرهما والأشهر استعمالها عند الإطلاق في النكاح وتقيد في غيره فيقال لدعوة الختان أعذارا ولدعوة الولادة عقيقة ولسلامة المرأة من الطلق خرس لقدوم المسافر نقيعة ولإحداث البناء وكيرة ولما يتخذ للمصيبة وضيمة ولما يتخذ بلا سبب مأدبة

Artinya, “Kenduri perkawinan (walimah) itu dianjurkan. Sedangkan hukum memenuhi undangan kenduri itu wajib kecuali bagi mereka yang udzur. Kata ‘walimah’ sendiri merupakan pecahan kata ‘walam’ yang maknanya berkumpul karena pasangan suami istri terhubung dalam satu ikatan perkawinan. Walimah sendiri, kata Imam Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, adalah sebutan untuk undangan kenduri yang diadakan sebagai wujud ungkapan kebahagiaan seperti perkawinan, khitanan, dan lain sebagainya.

Secara mutlak, sebutan 'walimah' digunakan kenduri perkawinan. Untuk kenduri selain perkawinan, kata 'walimah' digunakan secara terikat. Orang Arab menyebut ‘a‘dzâr’ untuk kenduri khitanan. ‘Aqîqah’ untuk kenduri lahiran anak. ‘Khurs’ untuk kenduri keselamatan wanita dari persalinan. ‘Naqî‘ah' untuk kenduri pulang kampung seseorang dari tanah rantau. ‘Waqîrah’ untuk kenduri bangun rumah dan gedung lainnya. ‘Wadhîmah’ untuk kenduri selamat dari musibah. ‘Ma’dabah’ untuk kenduri selamatan dan syukuran secara umum,” (Lihat Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, Darul Basya’ir, Damaskus, Tahun 2001, Cetakan Ke-9, Halaman 444).

Dari sana para ulama mengqiyas hukum kenduri khitan atas hukum kenduri perkawinan. Keterangan berikut ini dapat membantu kita memperjelas kedudukan hukum kenduri khitan dan kenduri perkawinan.

هل وليمة العرس واجبة أم لا؟ قولان أحدهما أنها واجبة لقوله لعبد الرحمن بن عوف وقد تزوج أولم ولو بشاة ولأن عليه الصلاة والسلام ما تركها حضرا ولا سفرا والأظهر وهو ما جزم به الشيخ أنها مستحبة لقوله صلى الله عليه وسلم ليس في المال حق سوى الزكاة ولأنها طعام لا يختص بالمحتاجين فأشبه الأضحية وقياسا على سائر الولائم والحديث الأول محمول على تأكد الاستحباب

Artinya, “Apakah mengadakan kenduri perkawinan itu wajib? Ulama berbeda pendapat perihal ini. Pendapat pertama, wajib berdasarkan perintah Rasulullah SAW kepada Abdurrahman bin Auf yang melangsungkan perkawinan, ‘Buatlah walimah meski hanya dengan seekor kambing.’ Hukum mengadakan walimah adalah wajib karena Rasulullah SAW selalu mengadakan walimah baik dalam keadaan mukim maupun tengah beperjalanan. Sedangkan pendapat yang lebih kuat seperti yang ditetapkan oleh Syekh adalah sunah berdasarkan sabda Rasulullah SAW ‘Tidak ada kewajiban harta selain zakat’. Hukum mengadakan walimah adalah sunah karena walimah itu berupa makanan yang tidak hanya diperlukan oleh mereka yang miskin, sama seperti sunah qurban.

Walimah perkawinan ini menjadi dasar qiyas bagi pelbagai jenis walimah lainnya. Sedangkan hadits pertama yang digunakan oleh pendapat pertama dipahami sebagai penguat anjuran untuk mengadakan walimah,” (Lihat Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Darul Basya’ir, Damaskus, Tahun 2001, Cetakan Ke-9, Halaman 445).

Keterangan di atas jelas mengatakan kepada kita bahwa kenduri perkawinan, begitu juga dengan kenduri khitanan dan kenduri lainnya, sangat dianjurkan oleh agama. Lalu apa yang dihidangkan Rasulullah SAW untuk para tamu undangannya ketika mengadakan kenduri perkawinannya?

واقل الوليمة للقادر شاة لأنه عليه الصلاة والسلام أولم على زينب بنت جحش رضي الله عنها بشاة وبأي شئ أولم كفى لأنه عليه الصلاة والسلام أولم على صفية رضي الله عنها بسويق وتمر

Artinya, “Batas minimal walimah bagi mereka yang mampu adalah menyembelih seekor kambing. Rasulullah SAW ketika menikah dengan Zainab binti Jahsyin RA menyembelih seekor kambing. Tetapi pada prinsipnya, walimah dengan jamuan sedikit apapun dianggap memadai. Rasulullah SAW ketika menikah dengan Shafiyyah RA mengadakan walimah dengan adonan tepung gandum dan kurma,” (Lihat Syekh Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Darul Basya’ir, Damaskus, Tahun 2001, Cetakan Ke-9, Halaman 445).

Jadi kalau ada pertanyaan, apakah perlu mengadakan kenduri khitanan? Jawabannya, perlu. Tetapi harus dibedakan antara kenduri dalam arti mengundang masyarakat meskipun hanya sepuluh orang lalu menghidangkan mereka jamuan sepatutnya dan pesta dalam arti glamour dan bermewah-mewahan. Kalau walimatul khitan diartikan mengundang sejumlah anggota masyarakat dan menghidangkan makanan, ini perlu. Tetapi kalau walimatul khitan itu diartikan sebagai pesta dengan segala kemewahannya, kami tidak menyarankan.

Saran kami, buatlah kenduri khitanan. Undang masyarakat sekitar dan saudara-saudara serta kerabat dengan domisili yang dekat dengan lokasi kenduri. Buatlah kenduri sesuai kemampuan, tidak perlu memaksakan.

Mintalah doa dari mereka agar anak yang dikhitan menjadi anak yang saleh kelak dan berbakti untuk orang tua, agama, dan bangsa Indonesia. Permohonan doa ini biasanya dikemas dengan tahlilan atau khataman Al-Quran dan ditutup dengan doa.

Demikian yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu’alaikum wr. wb.



(Alhafiz Kurniawan)