Bahtsul Masail

Hukum Mengeluh Kehausan saat Berpuasa

Sab, 6 April 2024 | 20:30 WIB

Hukum Mengeluh Kehausan saat Berpuasa

Hukum mengeluh kehausan saat berpuasa (via flota.es).

Assalamu'alaikum. Mohon tanya kepada NU Online. Puasa kan hukumnya wajib.Kalau saya capek banget sampe saya batal puasa, kira-kira dosa tidak ya? Ataupun kalau saya teruskan puasa tapi saya seperti mengeluh terus, "Ya Allah, haus banget.". Kalau gitu kira-kira gimana? Diteruskan saja puasanya atau lebih baik dibatalkan, karena takut pahala puasa hilang sebab mengeluh terus. Mohon pencerahannya kepada NU Online. (Alfiyah El-Hawari).
 

Jawaban

Pembaca yang dirahmati Allah. Puasa Ramadhan wajib dilakukan oleh seseorang yang memenuhi syarat wajib yaitu beragama Islam, berakal, dalam kondisi suci (tidak sedang haid atau nifas), dan mampu berpuasa.
 

6 Kondisi Orang Boleh Tidak Puasa

Dalam beberapa kondisi seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa di antaranya:

  1. Orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa. Ia boleh tidak berpuasa dan tidak berkewajiban qadha. Cukup diganti dengan membayar fidyah perhari satu mud, kurang lebih 7 ons bahan makanan pokok.
  2. Orang yang sakit sekira puasa bisa merusak fisik, menambah parah, atau memperlama proses penyembuhan 
  3. Orang hamil atau menyusui yang bila berpuasa khawatir kondisi diri atau bayinya.
  4. .Orang yang sedang haid atau nifas.
  5. Orang bepergian dengan jarak masafatul qashri (sekitar 94 km) dengan tujuan baik dan telah keluar dari batas desanya sebelum terbit fajar.
  6. Sangat lapar atau haus.
 

Capai atau kelelahan fisik dalam menjalankan aktivitas sebenarnya tidak termasuk hal yang memperbolehkan membatalkan puasa. Berkurangnya kebugaran tubuh saat berpuasa adalah efek normal dari berpuasa. Hal ini seperti rasa dingin tubuh setelah wudhu atau mandi. Efek tak terelakkan dari melakukan suatu ibadah tidak bisa menghalangi kewajiban ibadah tersebut.
 

Level Kelelahan yang Membolehkan Tidak Puasa

Walau demikian, bila kelelahan tersebut menyebabkan orang membutuhkan asupan yang bila tidak dilakukan akan membahayakan fisik atau fungsi organ tubuh, maka boleh tidak berpuasa, bahkan wajib demi menyelamatkan fisik. Begitu juga boleh tidak berpuasa bagi orang pekerja berat yang yang sekira bila diteruskan akan khawatir membahayakan fisik atau fungsi organ tubuh. Kondisi ini dikenal dengan mubihut tayammum (hal-hal yang memperbolehkan tayamum). Syekh Nawawi Al-Bantani mengatakan:
 

ومثل المريض من غلب عليه الجوع والعطش والحصادون والزراعون ونحوهم فيجب عليهم تبييت النية في رمضان ثم إن لحقتهم مشقة شديدة تبيح التيمم أفطروا وإلا فلا
 

Artinya, "Sama hukumnya dengan orang sakit adalah orang yang sangat lapar dan haus, tukang panen, petani, dan sesamanya. Wajib bagi mereka berniat puasa di malam hari Ramadhan. Kemudian (ketika di siang hari) mereka merasakan sangat payah yang memperbolehkan tayamum, maka mereka boleh berbuka. Bila tidak merasakan kepayahan selevel itu, maka tidak boleh berbuka. (Nawawi bin Umar Al-Bantani, Qutul Habibil Gharib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1998], halaman 183).
 

Hukum Mengeluh Kehausan saat Berpuasa

Terkait dengan keluhan, "Ya Allah, saya haus", apakah menghilangkan pahala puasa?
 

Perlu diketahui bahwa hal yang membatalkan puasa atau dikenal dengan mufathirat dibagi menjadi dua:

  1. Mufathirat hissiyah yaitu hal-hal yang menyebabkan puasa tidak sah alias batal dan harusdiqadhaSemisal masuknya sesuatu ke lubang tubuh yang terbuka, sengaja muntah, dan hal lain yang biasa dikenal dengan perkara yang membatalkan puasa.
  2. Mufathirat maknawiyah yaitu hal-hal yang bila dilakukan tidak sampai mempengaruhi keabsahan puasa, namun menghilangkan pahala puasa. Dengan demikian puasanya sah dan tidak perlu diulang kembali. Ia dianggap telah lepas dari tuntutan kewajiban berpuasa. Besok di akhirat insyaallah ia tidak akan disiksa sebab meninggalkan puasa, karena ia telah dianggap sah melakukan. Namun demikian, puasa yang dilakukan tidak berbuah pahala. Mufathirat maknawiyah ini juga sering disebut dengan nama muhbithat (pelebur pahala). Syekh Salim As Syathiri sebagaimana dinukil oleh Syekh Ibrahim bin Abdul Bari Al-Aiydrus memberikan batasan mufathifat maknawiyah sebagai berikut:
     

القسم الثاني المفطرات المعنوية وهي التي تبطل ثواب الصوم ومعنى الصوم ولكنه في ظاهر الشرع يكون صحيحا ولا يجب على صاحبه القضاء وليس عليه إثم الإفطار في رمضان ولكن عليه إثم الشيء الذي ارتكبه من المفطرات المعنوية وهي الغيبة والنميمة والكذب والنظر بشهوة واليمين الكاذبة هذه الخمسة الأمور مفطرات معنوية
 

Artinya, "Bagian kedua adalah mufathirat maknawiyah, yaitu sesuatu yang membatalkan pahala dan hikmah puasa, namun dalam lahiriah syariat puasanya sah dan pelakunya tidak berkewajiban qadha. Ia juga tidak mendapat dosa membatalkan puasa. Ia hanya mendapat dosa mufathirat maknawiyah yang dilakukannya yaitu ghibah, ucapan adu domba, berbohong, melihat orang lain yang tidak halal dengan syhawat, dan sumpah bohong. Kelima hal ini adalah mufathirat maknawiyah. (Ibrahim bin Abdul Bari Al-Aydrus, Bughyatut Thalibil Manhum fi Basthi Ba'dhil Ahkam Al-Fiqhiyah wa Dzauqiyah lis Shaum, [2019], halaman 107-108).
 

Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa hal-hal yang menghilangkan pahala puasa adalah sesuatu yang memang haram, kemudian dilakukan ketika berpuasa. Hal-hal tersebut secara terperinci dijelaskan oleh ulama berupa lima perbuatan seperti di atas sesuai dengan hadits berstatus dha'if:
 

خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ، وَيَنْقُضْنَ الْوُضُوءَ: الْكَذِبُ. وَالنَّمِيمَةُ. وَالْغِيبَةُ. وَالنَّظَرُ بِشَهْوَةٍ. وَالْيَمِينُ الْكَاذِبُ

Artinya, "Lima hal membatalkan (pahala) orang yang berpuasa dan merusak wudlu yaitu bohong, ucapan adu domba, ghibah, melihat dengan syahwat dan sumpah bohong." (Disebutkan oleh Imam Al-Azdi dalam Ad-Dhu'afa dan didiwayatkan Imam Ad-Dailami dalam Al-Firdaus).
 

Sementara itu, ada hal-hal yang sebaiknya dihindari ketika berpuasa meskipun tidak termasuk kategori maksiat dan tidak sampai menghilangkan pahala puasa. Meski demikian ia mengurangi pahala dan kualitas puasa. Hal ini semisal mencium wewangian, mencicipi makanan, permainan yang yang tidak diharamkan, dan memenuhi kesenangan (syahwat) yang tidak diharamkan.

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa keluhan (yang kadang terucap tanpa sadar) berupa "Ya Allah, saya haus"  atau sejenisnya, tak sampai menghilangkan pahala puasa.
 

Keluhan tersebut wajar terbersit di hatui, bahkan kadang tanpa disadari sebagaimana orang yang berhaji atau shalat Tarawih merasa lelah. Mungkin bisa saja hal tersebut mengurangi kualitas puasa di mana sebaiknya sebuah ibadah dilakukan dengan senang hati atas syariat Allah ta'ala. Dalam kondisi tertentu, keluhan tersebut bisa saja berdosa bila merupakan ekspresi ketidakikhlasan dan ketidakrelaan atas aturan agama dalam menjalankan ibadah.
 

Demikian jawaban yang dapat kami berikan.Hilangnya pahala puasa adalah satu kerugian namun bukan berarti puasa kita tak berguna.Sebaliknya, sekecil apapun hal yang dapat menganggu kualitas puasa sebaiknya dihindari, karena puasa bukan hanya tentang sah atau tidak, berpahala atau tidak, namun bagaimana kita dapat mengabdi dan menghamba sebaik-baiknya di hadapan Allah ta'ala. Semoga kita dapat melakukan puasa dengan sempurna dan selalu diridloi oleh Allah ta'ala. Amin.

 

Ustadz Muhammad Masruhan, Pengajar PP Al-Inayah Wareng Tempuran dan Pengurus LBM PCNU Kabupaten Magelang