Bahtsul Masail

Hukum Menghajikan Orang Tua oleh Anak yang Belum Haji

Jum, 25 Agustus 2017 | 11:03 WIB

Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, saya berencana menghajikan kedua orang tua karena memang keduanya belum pernah berhaji. Hal ini saya lakukan semata-mata sebagai bakti anak kepada kedua orang tua. Tetapi yang perlu diketahui saya ini juga belum pernah haji. Yang ingin saya tanyakan, apakah menghajikan kedua orang tua terlebih dahulu padahal saya belum pernah haji dapat diperbolehkan? Dan bagaimana hukumnya? Atas penjelasannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Syarip/Bandung)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Menghajikan kedua orang tua tentu merupakan sebuah amal kebajikan dan merupakan salah satu bukti bakti anak kepada keduanya. Sebab, sebagai anak berbuat kebajikan kepada kedua orang tua atau yang dikenal dengan istilah birrul walidain adalah sebuah kewajiban tak tersangkal.

Sampai di titik ini sebenarnya tidak ada masalah berarti. Masalah kemudian muncul ketika si anak menghajikan kedua orang tuanya, sementara ia sendiri belum berhaji. Biasanya alasan yang dikemukakan adalah lebih karena sebagai penghormatan dan bakti sang anak kepada kedua orang tuanya, alasan lainnya usia keduanya sudah sepuh padahal belum berhaji.

Alasan-alasan ini tampak sangat logis dan mudah dimengerti. Tetapi apakah alasan-alasan ini benar-benar dapat diterima secara nalar. Bisa jadi jawabnya iya, tapi bisa juga tidak.

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam dan diwajibkan bagi setiap mulsim yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh syara’. Sedangkan tindakan sang anak dengan memberangkat kedua orang tuanya terlebih dahulu sebelum dirinya termasuk tindakan memberikan kesempatan terlebih dahulu kepada pihak lain dalam soal ibadah.  

Dari sini kemudian terlihat jelas persoalannya, yaitu bagaimana hukum memberangkatkan haji kedua orang tua, sementara pihak yang memberangkatkan belum menunaikan kewajiban haji tersebut, padahal haji adalah ibadah wajib dan termasuk rukun Islam.

Untuk menjawab persoalan ini kami akan menghadirkan salah satu kaidah fikih yang termaktub dalam kitab Al-Asybah wan Nazhair. Bunyi kaidah tersebut adalah “bahwa mendahulukan pihak lain dalam persoalan ibadah adalah makruh.”

اَلْإِيثَارُ فِي الْقُرْبِ مَكْرُوهٌ

Artinya, “Mendahulukan pihak lain dalam persoalan ibadah adalah makruh,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1403 H, halaman 116).

Kaidah ini mengandaikan bahwa mendahulukan orang lain dalam persoalan ibadah dihukumi makruh. Dengan kata lain, sebaiknya tindakan mendahulukkan ini dihindari. Berbeda dengan sebaliknya, yaitu mendahulukan atau lebih mementing orang lain daripada diri sendiri dalam hal yang berkaitan dengan non-ibadah maka sangat dianjurkan.

وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ قَالَ تَعَالَى وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ

Artinya, “Dan mendahulukan orang lain dalam persoalan selain ibadah itu sangat baik. Allah SWT berfirman, ‘Dan mereka mengutamakan (kaum Muhajirin) atas dirinya sendiri, padahal mereka juga memerlukan,’ (Surat Al-Hasyr ayat 9),” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, halaman 116).

Oleh sebab itu, maka Sulthanul Ulama` Syekh Izzuddin Abdus Salam memandang, tidak boleh mendahulukan orang lain dari dirinya sendiri dalam soal ibadah. Sedangkan argumentasi yang dikemukakan beliau adalah bahwa esensi atau tujuan ibadah pada dasarnya untuk mengagungkan Allah SWT. Karenanya, ketika ada seseorang yang mendahulukan atau mengutamakan pihak lain ketimbang dirinya dalam soal ibadah, maka orang tersebut dianggap mengabaikan pengagungan kepada-Nya.

قَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ لَا إِيثَارَ فْي الْقُرُبَاتِ فَلَا إِيثَارَ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ وَلَا بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلَا بِالصَّفِّ الْأَوَّلِ لِأَنَّ الْغَرْضَ بِالْعِبَادَاتِ التَّعْظِيمُ وَالْإِجْلَالُ فَمَنْ آثَرَ بِهِ فَقَدْ تَرَكَ إِجْلَالَ الْإِلَهِ وَتَعْظِيمَهُ

Artinya, “Syekh Izzuddin berkata, tidak boleh mengutamakan orang lain sementara dirinya membutuhkan dalam hal ibadah. Karenanya, tidak boleh mengutamakan orang lain dalam hal air untuk bersuci, menutup aurat, dan shaf pertama dalam shalat jamaah. Sebab, esensi dari ibadah adalah mengagungkan Allah SWT. Oleh sebab itu barangsiapa yang lebih mengutamana orang lain ketimbang dirinya dalam soal ibadah, maka ia telah mengabaikan pengagungan kepada-Nya,” (Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wan Nazha`ir, halaman 116).

Jika penjelasan ini ditarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka jawabannya adalah tindakan seorang anak yang menghajikan kedua orang tua sementara ia sendiri belum pernah berhaji adalah boleh tetapi makruh. Sebab tujuan ibadah adalah pengagungan kepada Allah SWT.

Hal ini selaras dengan kaidah di atas yang menyatakan, “Bahwa mendahulukan pihak lain dalam persoalan ibadah adalah makruh.” Karena dihukumi makruh, maka sebaiknya tidak perlu dilakukan. Yang paling baik adalah berhaji sendiri baru kemudian menghajikan kedua orang tuanya.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.



(Mahbub Ma’afi Ramdlan)