Bahtsul Masail

Hukum Mengonsumsi Minuman Ginseng yang Direndam Arak

Rab, 1 Mei 2024 | 17:15 WIB

Hukum Mengonsumsi Minuman Ginseng yang Direndam Arak

Hukum mengonsumsi minuman ginseng yang direndam arak. (freepik).

Assalamu'alikum wr wb.
Pengasuh Bahtsul Masail yang dirahmati Allah. Saya Fatkhul Malik izin bertanya. Bagaimana hukum meminum madu atau minuman lain yang sudah direndam bersama ginseng. Sementara sebelumnya ginseng sudah terlebih dahulu direndam atau diawetkan di dalam arak. Terimakasih. (Fatkhul Malik).

 

Jawaban

Wa'alaikumussalam wr wb. Kami sampaikan terimakasih atas pertanyaannya. Semoga penanya dan seluruh pembaca NU Online senantiasa dalam rahmat dan lindungan Allah swt. Amin. 
 

Berkaitan dengan pertanyaan yang disampaikan, secara garis besar hukum meminum minuman yang direndam bersama ginseng tersebut adalah tidak diperbolehkan (haram), karena minuman tersebut telah berubah menjadi najis sebab direndam dengan ginseng yang terkena najis arak (mutanajjis), kecuali jika ginseng tersebut telah disucikan atau keberadaan arak tersebut diperlukan dalam kondisi darurat seperti untuk pengobatan dengan beberapa ketentuan.
 

Sebelum menjelaskan lebih lanjut, kiranya perlu kita perjelas terlebih dahulu tentang kegunaan ginseng dan cara penyajiannya, agar dapat menentukan hukumnya dengan pasti. 

 

Dikutip dari laman herbaleo.com, ada beberapa cara untuk mengkonsumsi ginseng yaitu:

  1. Dimasak.
    Ginseng dapat disajikan dengan cara dimasak (bersamaan dengan sup herbal atau masak ginseng nya saja). Untuk 10 gram ginseng, gunakan kira-kira 1-1,5 liter air.
     
  2. Dibuat teh herbal.
    Ginseng iris juga dapat dikonsumsi bersamaan dengan teh herbal. Seduh Irisan Ginseng bersamaan dengan daun atau bunga herbal lainnya dengan air panas (matang). Tunggu selama 5 menit, teh sudah dapat dikonsumsi.
     
  3.  Direndam di dalam arak.
    Ginseng dimasukkan (beserta rempah lainnya) ke dalam botol besar atau sejenisnya. Lalu dimasukkan arak putih 50o – 60o sampai botol penuh. Kemudian diaduk setiap hari, sehari sekali, 15-20 hari kemudian arak siap diminum.
     
  4.  Bubuk Ginseng
    Ginseng yang telah digiling menjadi bubuk dapat dikonsumsi dengan cara dilarutkan ke air panas atau dicampur ke dalam sup. Ideal nya konsumsi 1-1.5 gram per hari.
 

dr. Devika Yuldharia menjelaskan tentang ginseng yang diberi saju atau arak pada laman alodokter.com bahwa: 
 

“Ginseng sering digunakan dalam pengobatan tradisional untuk menurunkan gula darah, meningkatkan daya tahan tubuh, membantu mengurangi disfungsi ereksi, mencegah flu dan pilek, mengurangi peradangan, meningkatkan stamina, mengurangi gejala menopause, memelihara fungsi otak, sebagai antiradang, antioksidan, dan antibakteri.
 

Adapun mengenai soju, termasuk minuman beralkohol yang berasal dari korea. Konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dapat menimbulkan perlemakan hati, hepatitis, sirosis hati, kanker, anemia, dan gangguan sistem pencernaan. Oleh sebab itu tidak disarankan mengkonsumsi minuman beralkohol secara berlebihan atau terlalu sering.”
 

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rendaman ginseng merupakan minuman kesehatan atau obat herbal, namun penggunaan arak dalam ginseng hanya sebatas untuk mengawetkan dan tidak diperlukan dalam minuman kesehatan, bahkan dinilai tidak menyehatkan. 
 

Secara rinci, dalam kajian fiqih Islam terdapat tiga poin yang perlu dibahas:

  1. Mengawetkan ginseng dengan merendamnya di dalam arak.
  2. Meminum minuman yang telah direndami atau dicampuri ginseng yang diawetkan dengan arak.
  3. Kondisi ginseng yang diyakini masih dalam keadaan najis dan tidak ada kemungkinan telah disucikan. 


1. Mengawetkan ginseng dengan direndam di dalam arak

Ulama sepakat bahwa arak (khamr) termasuk benda najis. Karena arak adalah benda cair, maka semua benda yang terkena arak akan menjadi najis (mutanajjis) yang harus disucikan sesuai dengan tata caranya dengan menggunakan air yang suci mensucikan (thahir muthahhir). 
 

Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa: 
 

“Arak itu najis menurut mazhab kita, Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan para ulama lainnya, kecuali apa yang diriwayatkan oleh Hakim Abut Tayyib dan lainnya dari Rabi'ah guru imam Malik dan Dawud yang mengatakan bahwa arak itu suci walaupun haram, seperti racun yang berupa tumbuhan, atau ganja yang memabukkan. Syekh Abu Hamid mengutip ijma’ (kesepakatan ulama) atas kenajisannya.”( Abu Zakaria An-Nawawi, Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Jedah: Maktabah Al-Irsyad], juz II, halaman 581).
 

Kendati hukum arak telah disepakati najis dan haram untuk dikonsumsi, dalam kondisi dibutuhkan, penggunaan arak dapat dilegalkan dan hukum najisnya menjadi ma'fu. Artinya, hukum najis tersebut dimaafkan dan tidak dianggap najis, seperti penggunaan alkohol pada parfum dan obat-obatan. 
 

Al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqhu ‘alal Madzahibil Arba’ah menjelaskan:
 

“Di antara (najis-najis yang dimaafkan) adalah cairan najis yang ditambahkan pada obat-obatan dan wewangian aromatik untuk memperbaikinya (mengawetkan atau menguatkan), maka itu hukumnya dimaafkan sebatas kadar yang diperlukan untuk memperbaiki.” (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu 'alal Madzahibil Arba'ah, [Beirut: Darul Fikr, 2019], juz I, halaman 25).
 

Dalam kitab Hasyiyah As-Syarqawi dijelaskan, bahwa:
 

“Jika arak telah larut dan hilang dalam obat-obatan, dengan gambaran tidak ditemukan lagi sifat-sifatnya, maka tidak dilarang menggunakannya sebagaimana barang-barang najis murni yang lain, jika ia mengetahui atau diberitahu oleh dokter yang adil bahwa itu bermanfaat.” ('Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim As-Syarqawi, Hasyiah As-Syarqawi 'ala Tuhfatil Thullab, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1997], juz I, halaman 388).
 

2. Minuman yang direndami ginseng yang diawetkan dengan arak. 

Jika ginseng sudah dicuci dan dibersihkan dengan air sebelum dicampurkan pada minuman, maka sudah pasti minuman tersebut halal atau boleh untuk dikonsumsi. Namun jika belum disucikan, maka ginseng tersebut adalah benda yang najis (mutanajjis), sehingga minuman yang direndam dengan ginseng tersebut juga dihukumi menjadi najis.
 

Hukum meminum benda najis adalah tidak diperbolehkan, kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk pengobatan menurut sebagian ulama. Itu pun dengan ketentuan yang cukup ketat, yaitu tidak ditemukan obat-obatan lain yang suci dan harus atas rekomendasi dari dokter yang adil atau atas pengetahuannya jika dia mengerti ilmu kedokteran.
 

Dalam kitab Al-Iqna' dijelaskan:
 

أَمَّا التِّرْيَاقُ الْمَعْجُوْنُ بِهَا وَنَحْوُهُ مِمَّا تَسْتَهْلِكُ فِيْهِ فَيَجُوْزُ التَّدَاوِي بِهِ عِنْدَ فَقْدِ مَا يَقُوْمُ مَقَامَهُ مِمَّا يَحْصُلُ بِهِ التَّدَاوِي مِنَ الطَّاهِرَاتِ كَالتَّدَاوِي بَنَجَسٍ كَلَحْمِ حَيَّةٍ وَبَوْلٍ وَلَوْ كَانَ التَّدَاوِي بِذَلِكَ لِتَعْجِيْلِ شِفَاءٍ بِشَرْطِ إِخْبَارِ طَبِيْبٍ مُسْلِمٍ عَدْلٍ بِذَلِكَ أَوْ مَعْرِفَتِهِ لِلتَّدَاوِيَ بِهِ
 

Artinya, “Adapun penawar yang dibuat dengan campuran arak dan benda-benda lain yang dapat lebur di dalamnya, maka diperbolehkan menggunakannya untuk pengobatan, bila tidak ada penggantinya dari benda yang suci, seperti halnya pengobatan dengan benda najis seperti daging ular dan urin, meskipun pengobatan itu sekedar untuk mempercepat kesembuhan, dengan syarat harus atas rekomendasi seorang dokter muslim yang adil, atau atas dasar pengetahuannya dalam pengobatan.” (Muhammad bin Ahmad Al-Khatib, Al-Iqna', [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013], juz V, halaman 460).
 

3. Ginseng masih dalam keadaan najis.

Salah satu yang menjadi pertimbangan pokok adalah ginseng telah dipastikan direndam dengan arak dan diyakini masih dalam keadaan najis, karena jika tidak terbukti najis atau ada kemungkinan telah disucikan, maka hukumnya dianggap suci dan tidak menajiskan.
 

Dalam kitab I’anathut Thalibin dijelaskan: 
 

وَإِذَا تَعَارَضَ أَصْلٌ وَظَاهِرٌ فَالْعَمَلُ بِالْأَصْلِ فَثِيَابُ مُدْمِنِي الْخَمْرِ وَأَوَانِيْهِمْ … وَأَوَانِي الْكُفَّارِ الْمُتَدَيِّنِيْنَ بِاسْتِعْمَالِ النَّجَاسَةِ كَمَجُوْسِ الْهِنْدِ يَغْتَسِلُوْنَ بِبَوْلِ الْبَقَرِ وَالْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى الْمُنْهَمِكِيْنَ فِي الْخَمْرِ وَالتَّلَوُّثِ بِالْخِنْزِيْرِ وَكُلُّ مَا الْغَالِبُ فِي مِثْلِهِ النَّجَاسَةُ طَاهِرَةٌ مَا لَمْ يَتَحَقَّقِ النَّجَاسَةُ بِشَرْطِ أَنْ تَكُوْنَ غَلَبَةُ الظَّنِّ مُسْتَنِدَةً إِلَى الْغَالِبِ لَا غَيْرُ
 

Artinya, “Jika ada pertentangan antara hukum asal dan hukum dzahir, maka yang diamalkan adalah hukum asal. Oleh karena itu, pakaian dan perkakas peminum arak, … dan peralatan orang-orang kafir yang mengamalkan agamanya dengan menggunakan najis, seperti orang Majusi India yang mandi dengan air kencing sapi, dan orang-orang Yahudi dan Kristen yang menikmati arak dan mengotori diri dengan babi, dan semua hal yang umumnya najis, itu semua dihukumi suci selama belum terbukti nyata adanya najis, asalkan kecurigaan najis tersebut hanya berdasarkan keumumannya bukan lainnya.” (Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2017], juz I, halaman 180).
 

Artinya tempat-tempat yang umumnya terdapat banyak najis seperti tempat minuman arak, hukumnya tidak dianggap najis. Kecuali jika terbukti terlihat bersentuhan langsung dengan najis, maka tempat tersebut dianggap najis. Begitu juga dengan benda yang bersentuhan dengan pasti berdasarkan pengamatan atau keterangan orang adil dalam keadaan basah sebelum ada kemungkinan menjadi suci setelahnya.
 

Simpulan Hukum

Hukum memimun minuman rendaman ginseng yang terbukti direndam arak dan belum disucikan dapat dirinci sebagai berikut:

  1. Tidak diperbolehkan, jika dipastikan masih dalam keadaan najis, dan tidak ada anjuran dari dokter. 
  2. Diperbolehkan bagi orang yang sakit dengan ketentuan arak sudah hilang dari sisi benda dan sifatnya, tidak ada obat lain yang sebanding dengannya, dan atas petunjuk dari dokter. Namun demikian, sementara dari hasil penelusuran kami, belum ada dokter yang menganjurkannya. Wallahu a’lam.
     

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Pengasuh Pesantren Fathul Ulum, Wonodadi, Blitar