Bahtsul Masail

Hukum Perempuan Berpidato Keagamaan di Depan Umum

Sel, 28 Februari 2023 | 15:00 WIB

Hukum Perempuan Berpidato Keagamaan di Depan Umum

Hukum Perempuan Berpidato Keagamaan di Depan Umum. (Foto Ilustrasi: NU Online/Freepik)

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi NU Online, pidato perempuan di depan umum belakangan ini dipersoalkan sebagian orang. Sementara selama ini praktik pidato perempuan dari kalangan pejabat publik, motivator, pakar parenting sudah berjalan di masyarakat. Bagaimana sebenarnya pandangan Islam perihal ini? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Hamba Allah)


Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kita semua. Pidato perempuan di hadapan publik menjadi perbincangan di kalangan kiai NU sejak sebelum kemerdekaan di mana propaganda politik zaman itu juga berasal dari kalangan perempuan.


Pidato perempuan di depan publik pernah dibahas dalam Muktamar Ke-10 NU di Surakarta, Jawa Tengah, 10 Muharram 1354 H/ April 1935 M. Pidato perempuan di depan publik ditanyakan dari Ponorogo, Jawa Timur, pada forum Muktamar Ke-10 NU 1935.


Para kiai ditanyakan perihal hukum orang perempuan yang berdiri di tengah-tengah lelaki lain untuk pidato keagamaan? Boleh ataukah tidak? Para kiai dihadapkan pada fenomena kemunculan perempuan untuk menyampaikan pidato keagamaan.


Forum Muktamar NU 1935 ketika itu memutuskan bahwa berdirinya perempuan di tengah-tengah lelaki lain, itu haram, kecuali kalau bisa sunyi dari larangan agama Islam, seperti dapat menutup auratnya dan selamat dari segala fitnah, maka hukumnya boleh (jaiz). Ini karena suara orang perempuan itu tidak termasuk aurat, menurut pendapat yang ashshah. (Ahkamul Fuqaha, Solusi Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010 M), [Surabaya, LTN PBNU-Khalista: 2012 M], halaman 157).


Para kiai NU pada tahun 1935 mengutip Kitab Ittihafus Sadatil Muttaqin karya Sayyid M Az-Zabidi sebagai berikut:


أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَقْرَعُ سَمْعَهُ صَوْتُ الْجَارِيَتَيْنِ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ عَلَى الْفِرَاشِ وَلَوْ كَانَ يُضْرَبُ بِاْلأَوْتَارِ فِيْ مَوْضِعٍ لَمَّا جَوَّزَ الْجُلُوْسَ ثَمَّ لقْرِعِ صَوْتِ اْلأَوْتَارِ سَمْعَهُ. فَيَدُلُّ هَذَا عَلَى أَنَّ صَوْتَ النِّسَاءِ غَيْرَ مُحَرَّمٍ تَحْرِيْمَ الْمَزَامِيْرِ بَلْ إِنَّمَا يَحْرُمُ عِنْدَ خَوْفِ الْفِتْنَةِ قَطْعًا


Artinya, “Sesungguhnya telinga Rasulullah saw pernah mendengar suara dua gadis (jariyah) pembantu wanita ketika beliau sedang tiduran di atas pembaringan.” Seandainya dibunyikan gitar di suatu tempat, niscaya beliau beranjak dari duduk dari tempat itu karena suara gitar yang terdengar di telinganya. Hal ini menunjukkan bahwa suara wanita tidak diharamkan seperti keharaman seruling. Namun suara wanita hanya haram ketika khawatir adanya fitnah secara pasti (tanpa khilafiyah). (Sayyid Muhammad Murtadha al-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, [Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiah: 1422 H/2002 M], juz VI, halaman 495).


Adapun terkait fitnah yang dimaksud, para kiai NU mengutip keterangan adalah Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah karya Imam Ibnu Hajar Al-Haitami bahwa yang dimaksud fitnah tersebut adalah adalah perzinaan dan muqaddimah-nya. (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, [Beirut: Darul Fikr: 1493 H/1984 M], juz IV, halaman 203).


Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa pidato perempuan di depan publik terkait keagamaan sebagaimana praktik di masyarakat pada umumnya dibolehkan secara syariat.

Demikian jawaban kami, semoga dipahami dengan baik. Demikian jawaban singkat ini. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.


Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu ’alaikum wr. wb.


Alhafiz Kurniawan, Wakil Sekretaris LBM PBNU