Hukum Utang Puasa yang Belum Diqadha hingga Terbawa Mati
Jum, 9 Juni 2017 | 11:01 WIB
Redaksi bahtsul masail NU Online. Pertanyaan saya, kalau ada seseorang meninggal dunia dengan membawa utang puasa, langkah apa yang perlu diambil pihak keluarga. Apakah perlu dibayarkan fidyah atau diqadhakan? Mohon penjelasannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Mansur, Karawang).
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman di mana pun berada, semoga Allah menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Puasa merupakan kewajiban bagi umat Islam. Mereka yang meninggalkan puasa berkewajiban untuk mengqadhanya di luar bulan Ramadhan.
Untuk masalah ini ulama tidak memukul rata. Kondisinya harus dilihat terlebih dahulu. Kalau seseorang memiliki utang puasa, lalu ia tidak sempat mengqadhanya karena uzur atau waktu yang tidak memungkinkan hingga meninggal dunia, maka ia tidak lagi berkewajiban untuk mengaqadhanya. Hal ini persis disampaikan Syekh Wahbah Az-Zuhayli.
Artinya, “Kondisi pertama, seseorang yang wafat sebelum mengqadha puasanya karena kepicikan waktu, atau uzur lain semisal sakit, safari, atau ketidaksanggupan berpuasa, tidak terkena beban (qadha) menurut mayoritas ulama karena orang ini dinilai tidak lalai. Ia juga tidak berdosa karena kondisi tidak memungkinkannya melangsungkan kewajiban itu hingga wafat. Oleh karena itu status wajibnya gugur hingga selain badal seperti haji,” (Lihat, Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1405 H/1985 M, juz II, halaman 681).
Tetapi kalau seseorang menunda-tunda pelunasan utang puasanya tanpa uzur, maka ahli warisnya berkewajiban untuk membayar fidyah sebanyak dua mud atas denda satu hari utang puasa almarhum atau satu mud plus qadha puasa oleh ahli warisnya. Hal ini diterankan oleh Syekh M Nawawi Banten.
Artinya, “Dikatakan di Syarhul Manhaj, ‘Kalau seseorang menunda qadha tersebut, maksudnya qadha Ramadhan, sementara ia sempat melakukannya hingga Ramadhan berikutnya tiba, lalu ia meninggal dunia, maka harus diambil dari harta peninggalannya sebesar dua mud untuk satu hari utang puasanya dengan rincian satu mud denda luput qadha dan satu mud denda penundaan qadha. Denda ini berlaku bila utang puasanya tidak diqadhakan. Kalau utang puasanya diqadhakan, maka cukup diambilkan satu mud sebagai denda penundaan qadha,’” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja, Surabaya, Maktabah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan, tanpa tahun, halaman 114).
Dengan atau tanpa uzur mengabaikan qadha puasa, pihak ahli waris seyogianya tetap mengqadhakan utang puasa almarhum. Penunaian qadha puasa oleh pihak ahli waris diharapkan dapat membebaskan jenazah dari tuntutan hukum di alam kubur dan di akhirat kelak sebagaimana anjuran qadha oleh Madzhab Hanbali.
Artinya, “Seorang wali jenazah, menurut pandangan Madzhab Hanbali, diajurkan untuk mengqadha puasa almarhum sebagai bentuk ihtiyath bagi pembebasan kewajiban almarhum, (Lihat, Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua, 1405 H/1985 M, juz II, halaman 681).
Sebagaimana diketahui, satu mud setara dengan 543 gram menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. Sementara menurut Hanafiyah, satu mud seukuran dengan 815,39 gram bahan makanan pokok seperti beras dan gandum.
Demikian jawaban yang dapat kami terangkan. Semoga jawaban ini bisa dipahami dengan baik. Kami selalu membuka kritik, saran, dan masukan.
Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
(Alhafiz Kurniawan)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menjadikan Diri Pribadi Taat melalui Khutbah dan Shalat Jumat
2
Khutbah Jumat: Anjuran Berbakti kepada Orang Tua dalam Islam
3
Khutbah Jumat: Inspirasi Al-Fatihah untuk Bekal Berhaji ke Baitullah
4
Harlah Ke-74: Ini Asas, Tujuan, dan Lirik Mars Fatayat NU
5
Kajian Hadits: Kawin Kontrak di Zaman Rasulullah
6
Harlah Ke-90 GP Ansor, Simak Lirik Mars yang Ditulis Mahbub Djunaidi
Terkini
Lihat Semua