Bahtsul Masail

Pilih Mana, Raih Keutamaan Shalat Jamaah 40 Hari atau Menunggui Orang Tua yang Sakit-sakitan?

Jum, 1 Maret 2024 | 21:00 WIB

Pilih Mana, Raih Keutamaan Shalat Jamaah 40 Hari atau Menunggui Orang Tua yang Sakit-sakitan?

Shalat jamaah. (Foto: Istimewa)

Assalamu ’alaikum wr. wb.

Sebelumnya mohon menanyakan masalah orang yang sedang bersemangat shalat jamaah di masjid 40 hari karena ingin meraih keutamaannya. Sedangkan di sisi lain mempunyai orang tua yang sudah berusia lanjut yang harus dijaga setiap saat. Yang kami tanyakan adalah lebih baik ikut jamaah untuk mengejar keutamaan atau menunggui orang tuanya tersebut? Semoga NU Online berkenan menjawabnya. Terima kasih. (Mk Sa’adah–Jawa Tengah).

Jawaban

Wassalamu ’alaikum wr wb. Penanya yang terhormat, semoga kita selalu dalam bimbingan dan pertolongan Allah swt. Amin.

Pahala dan keutamaan shalat jamaah 40 hari secara berturut-turut memang sangat besar, yaitu akan terbebas dari sifat kemunafikan dan dari panasnya api neraka. Berkaitan hal ini Rasulullah saw bersabda:



‎مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ وَضَعَّفَهُ، وَالْبَزَّارُ وَاسْتَغْرَبَهُ
 

Artinya: “Orang yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjamaah dengan menemukan takbir pertama Imam, maka dipastikan baginya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari neraka dan kebebasan dari sifat kemunafikan.” (HR At-Tirmidzi dari Anas dan ia nilai dhaif, dan Al-Bazzar yang menilainya gharib). (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, At-Talkhishul Habir, [Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1989], juz II, halaman 68).

Sanad hadits ini dinilai lemah oleh At-Tirmidzi dan dinilai asing oleh Al-Bazzar. At-Tirmidzi juga menyatakan hadits ini berstatus mursal dari perawi bernama ‘Amarah yang tidak bertemu dengan Anas bin Malik. Selain itu At-Tirmidzi menyatakan hadits ini juga diriwayatkan dengan status mauquf. Pun demikian, menurut kritikus hadits Al-Hafiz Al-Imam Ibnul Mulaqqin, hadits ini ditolelir untuk diamalkan karena hanya berkaitan dengan fadhailul a‘mal. (Ibnul Mulaqqin, Tuhfatul Muhtaj ila Adillatil Minhaj, [Makkah, Dar Harra’: 1406], juz I, halaman 438).

Mempertimbangkan keutamaan pahala shalat jamaah 40 hari yang sangat besar seperti itu, lalu apakah hal itu lebih utama daripada menunggui orang tua yang sudah sakit-sakitan?

Merujuk keterangan dalam Bab Jamaah, ada beberapa uzur shalat jamaah. Semisal karena adanya sahabat yang sekarat atau sakit dan tidak ada yang menungguinya. Atau ada orang lain yang menunggunya akan tetapi orang yang sakit tersebut merasa tidak nyaman. Uzur atau kondisi khusus seperti itu secara fiqih lebih didahulukan daripada shalat jamaah.

Dalam hal ini, Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:


‎وَحُضُورِ قَرِيبٍ) أَوْ نَحْوِ صَدِيقٍ أَوْ مَمْلُوكٍ أَوْ مَوْلًى أَوْ أُسْتَاذٍ (مُحْتَضَرٍ) أَيْ حَضَرَهُ الْمَوْتُ. وَإِنْ كَانَ لَهُ مُتَعَهِّدٌ؛ لِأَنَّهُ يَشُقُّ عَلَيْهِ فِرَاقُهُ فَيَتَشَوَّشُ خُشُوعُهُ (أَوْ) حُضُورِ قَرِيبٍ أَوْ أَجْنَبِيٍّ (مَرِيضٍ بِلَا مُتَعَهِّدٍ) لَهُ أَوْ لَهُ مُتَعَهِّدٌ شُغِلَ بِنَحْوِ شِرَاءِ الْأَدْوِيَةِ؛ لِأَنَّ حِفْظَهُ أَهَمُّ مِنْ الْجَمَاعَةِ (أَوْ) حُضُورِ قَرِيبٍ أَوْ نَحْوِهِ مِمَّنْ مَرَّ لَهُ مُتَعَهِّدٌ لَكِنْ (يَأْنَسُ بِهِ) أَيْ بِالْحَاضِرِ؛ لِأَنَّ تَأْنِيسَهُ أَهَمُّ
 

Artinya, “Di antara uzur shalat jamaah yang bersifat personal adalah adanya kerabat, semisal teman, budak, mantan budak, atau ustadz yang sedang sekarat, maksudnya ajal sedang menjemputnya. Meskipun ada orang yang merawatnya. Karena ia berat meninggalkannya sehingga akan mengganggu kekhusyukan shalatnya. Atau adanya kerabat ataupun orang lain yang sedang sakit tanpa ada yang merawatnya, atau ada yang merawatnya akan tetapi sedang sibuk semisal membeli obat, karena menjaga mereka lebih utama daripada shalat jamaah. Atau adanya kerabat atau lainnya seperti orang-orang yang telah disebutkan, yang ada perawatnya akan tetapi orang yang sakit merasa nyaman dengannya. Karena membuat nyaman orang sakit lebih penting daripada shalat jamaah.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, dalam Hawasyis Syirwani Wabnu Qasim Al-‘Ababdi, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyah: 2015], juz III, halaman 55).

Ibnu Hajar secara lugas menerangkan bahwa menunggu orang sakit karena tidak ada yang menunggunya, karena yang menunggu sedang sibuk urusan lain, atau keberadaan seseorang membuat nyaman orang sakit, lebih penting daripada shalat jamaah. Sehingga dari sini dapat dipahami, untuk skala prioritas menjaga orang sakit yang tidak ada penunggunya atau bahkan sekedar membuatnya merasa nyaman dengan kehadiran di sisinya lebih utama daripada shalat jamaah. Terlebih orang sakit tersebut adalah orang tua sendiri.

Hal ini mengandaikan orang yang bersangkutan adalah laki-laki yang memang sunah berjamaah lima waktu di masjid. Lalu bagaimana kalau orang tersebut perempuan yang lebih baik shalat di rumah?

Tentu bagi perempuan tidak ada pertentangan apakah lebih baik jamaah atau menunggui orang tuanya sudah sakit-sakitan dan membutuhkan perhatiannya, daripada sekedar mengejar jamaah di luar.

Selain itu, menunggui orang tua yang sudah sakit-sakitan di rumah adalah bagian dari birrul walidan yang sangat dianjurkan di dalam Islam dan seiring dengan petunjuk Al-Qur’an:


‎وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا


Artinya, “Dan temanilah kedua orang tua di dunia secara baik.” (QS Luqman: 15).

Adapun kekhawatiran hilangnya pahala shalat jamaah karena menunggui orang tua yang sudah sakit-sakitan di rumah, maka tidak perlu dikhawatirkan. Sebab dalam hal ini ulama masih berbeda pendapat, apakah uzur shalat jamaah termasuk karena menunggui orang yang sedang sakit dapat menghalangi orang untuk mendapatkan pahala shalat jamaah tersebut?

Menurut Imam An-Nawawi maka menghalanginya. Artinya dengan uzur tersebut andaikan orang akhirnya tidak shalat jamaah karena uzur itu, maka ia tidak akan mendapatkan keutamaan jamaah.

Menurut sejumlah ulama mutaqaddimin atau terdahulu, ia akan tetap mendapatkan pahala jika ia punya tekad akan pergi berjamaah andaikan tidak ada uzur. Sedangkan menurut Imam As-Subki ia akan tetap mendapatkan pahala jika memang sudah membiasakan pergi shalat berjamaah. (Al-Haitami, III/56).

Simpulan

Penjelasan di atas secara ringkas dapat disimpulkan sebagaimana berikut: bahwa secara fiqih menunggui orang tua sakit-sakitan lebih penting dan lebih utama daripada mengejar pahala jamaah.

Pun demikian, mengatur jadwal menunggu orang tua sakit-sakitan dengan sanak kerabat bila masih memungkinkan sehingga bisa bergantian jamaah di masjid lebih baik daripada mempertentangkan kedua amal yang sama-sama baiknya. 

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan, semoga dapat dipahami secara baik oleh penanya dan para pembaca. Kami terbuka menerima masukan dan saran yang bersifat konstruktif untuk penyempurnaannya. Wallahu a’lam.

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keslaman NU Online