Syariah

Batalnya Perjanjian Mudharabah karena Syarat Pembatasan

Sel, 24 September 2019 | 15:00 WIB

Batalnya Perjanjian Mudharabah karena Syarat Pembatasan

Menepati perjanjian mudharabah mesti memperhatikan syarat dan rukun serta jenis mudharabahnya.

Seorang pemodal kadang memiliki pertimbangan tertentu untuk menyerahkan modal yang dimilikinya guna dikelola orang lain. Pertimbangan itu bisa berupa track record rekanan. Namun, kadang dalam perjalanan sebuah usaha, ada situasi yang menghendaki adanya pembatalan atau pembubaran akad yang disepakati. 
 
Di antara faktor yang menuntut pembubaran misalnya adalah karena prospek keuntungan, atau situasi sosial dan produk yang dihasilkan kurang diminati masyarakat. Untuk itulah maka perlu disampaikan mengenai tata cara pembubaran itu. 
 
Sebagaimana diketahui bahwa nash syariah mensyaratkan seorang Muslim agar menepati kesepakatan yang sudah dibangunnya. Istilah menepati ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
 
1. Menepati perjanjian sebelum berlakunya bisnis
2. Menepati perjanjian setelah berlakunya bisnis
3. Teknik pembagian aset produksi
 
Dalam tulisan ini, akan dikupas salah satu dari tiga kemungkinan tersebut. Kupasan pertama adalah berkaitan dengan pembubaran perjanjian mudharabah disebabkan keharusan menepati perjanjian sebelum berlakunya bisnis. 
 
Yang dimaksud dengan menepati perjanjian sebelum berlakunya bisnis ini adalah berkaitan dengan terpenuhinya syarat dan rukun mudharabah serta jenis mudharabahnya. Untuk keterangan terkait dengan syarat dan rukun mudharabah, kita sudah uraikan pada tulisan terdahulu. Setiap syarat dan rukun tersebut hukumnya wajib wafa’. Ada salah satu yang sifatnya batal secara syariat, maka batal pula akad mudharabah yang dilangsungkan. 
 
Baca juga:
 
Yang menarik adalah ketika kita mencermati pembubaran mudharabah karena jenis akad mudharabah yang diambil. Dalam hal ini ada pendapat yang berbeda di kalangan ulama mazhab 4. Imam Syafii dan Imam Malik menolak diterapkannya mudharabah muqayyadah. Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan Hanabilah menerima keberadaannya. Akad mudharabah muqayyadah adalah ketika  pemodal menyerahkan harta kepada pengelola dengan disertai ketentuan wilayah kerja operasional pengelolaannya. Ini berbeda dari mudharabah muthlaqah, di mana pemodal menyerahkan sepenuhnya kepada pengelola tanpa ada batasan tertentu.
 
Sebelumnya, perlu disampaikan bahwa yang dimaksud dengan mudharabah muqayyadah adalah:
 
وأما المضاربة المقيدة: فحكمها حكم المضاربة المطلقة في جميع الأحكام التي ذكرت، وإنما تفارقها في قدر القيد الذي قيدت به، فإن خصص رب المال تصرف المضارب في بلد بعينه، أو في سلعة بعينها لم يجز له أن يتجاوزها، لأنه توكيل، وفي التخصيص بما ذكر فائدة، فيتخصص به
 
Artinya: "Mudharabah Muqayyadah, hukumnya menempati hukum mudharabah muthlaqah dalam semua aspek yang dituturkan. Pembedanya ada pada kadar batasan yang ditetapkan atas akad. Jika pemodal menetapkan batasan wilayah kerja pengelola di negara tertentu, atau pada jenis harta dagang tertentu saja, maka tidak boleh bagi pengelola tersebut melampaui batas yang disyaratkan, karena kedudukannya sekedar sebagai wakil yang diserahi, dan adanya batasan baginya adalah karena adanya faedah (maksud dari pengelola), oleh karena itu pula, batasan itu harus ditepati." (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tt.: Juz 4/840).
 
Setidaknya ada empat segmen yang menjadi titik tolak perbedaan itu, yaitu:
 
1. Perbedaan dalam penerimaan syarat waktu 

Misalnya ada seseorang yang berkata: “Saya serahkan harta ini kepadamu untuk bagi hasil bila kamu berhasil menjualnya pada tanggal 10 Oktober mendatang.” 
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad ibn Hanbal, keberadaan syarat waktu semacam ini hukumnya adalah boleh. Sementara itu menurut Imam Malik dan Imam Syafii, hukumnya tidak boleh. 

Jadi, bila ada even pameran buku (misalnya), kemudian kita mengajukan proposal dengan sistem konsinyasi bahwa hasil dari penjualan buku pada even tertentu, akan dibagi dua hasilnya oleh penjual dan penerbit, atau ditetapkan kadar persen tertentu (misalnya 20% untuk penjual), maka hal semacam ini sudah masuk akad mudharabah menurut kedua mazhab yang pertama (Hanafi dan Hanbali). Namun, menurut Imam Syafii dan Imam Malik, hal tersebut tidak masuk ke dalam rumpun mudharabah disebabkan karena faktor waktu. Bila ada unsur waktu yang membatasi perjanjian, maka akadnya adalah masuk rumpun akad dain (utang), sehingga bagi hasil (mudharabah) yang diselenggarakan adalah menyerupai utang yang menarik kemanfaatan (riba). Itupun bila modal yang diberikan adalah berupa uang. 
 
Adapun bila berupa barang (‘urudl) maka akad masuk ke dalam kelompok syirkah wujuh, yang mana untuk konsep syirkah ini, Mazhab Syafii melarangnya pula. Alasan yang disampaikan oleh kalangan Malikiyah dan Syafiiyah adalah karena keberadaan ‘urudl ini senantiasa fluktuatif, sehingga rentan terjadi perbedaan harga. 
 
لاتصح المضاربة بالمغشوش من الأثمان لأن الغش الذي فيها عرض ولأن قيمتها تزيد وتنقص أشبهت العروض

Artinya: “Tidak sah suatu perjanjian mudharabah dengan ‘sepuhan’ logam mulia, karena benda sepuhan sama dengan ‘aradl (barang nominal), sementara nilai harganya rentan naik atau turun menyerupai ‘urudl (barang materiil nominal). 
 
Satu-satunya akad yang diperbolehkan adalah akad ijarah (jasa menjualkan). Persentase harga yang diberikan oleh penerbit kepada pemilik stan dari harga buku yang terjual di pameran adalah upah bagi penjual dan hal persentase ini sudah memenuhi syarat kemakluman bila diketahui pula harga dasarnya. Misalnya buku A, harga dasar 50 ribu rupiah. Dari satu eksemplar penjualannya, penjual menerima upah sebesar 20 persen. Hal semacam sudah masuk syarat maklum, dalam mazhab Syafii khususnya. 
 
2. Perbedaan dalam pengkhususan orang
Bila ada seorang pemodal mengatakan: “Juallah barang ini ke “siswa-siswimu! Kita bagi hasil dalam penjualannya. Kamu 20%, dan sisanya kembali ke saya.”
 
Akad semacam juga dipandang sebagai akad mudharabah oleh kalangan Hanafiyah dan Hanabilah, namun tidak oleh kalangan Malikiyah dan Syafiiyah. Kurang lebih alasannya sama dengan pembatasan akad berdasar waktu. Jadi, kurang lebihnya akad semacam adalah masuk rumpun akad ijarah. 
 
3. Perbedaan dalam penyandaran akad pada sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang
Bila ada pemodal mengatakan kepada pengelola: “Terhitung bulan depan ini, kita mulai dengan bagi hasil terkait usaha yang kita jalankan ini.” 
 
Yang bisa kita pahami dari pernyataan ini adalah bahwa telah ada suatu bidang pekerjaan yang sebelumnya dikelola secara mandiri oleh pemodal. Adapun pengelola (mudharib) saat itu masih menjadi pekerja upahan biasa. Setelah pekerjaan mulai berjalan, kemudian pernyataan itu diucapkan karena tiba-tiba orang yang bekerja itu ikut andil dalam saham usaha. Atau mungkin karena faktor: pemilik modal sedang kehabisan modalnya, sehingga ia perlu menarik rekanan yang lain untuk menyuntikkan modal. 
 
Menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, hukumnya adalah boleh. Sementara menurut kalangan Malikiyah dan Syafiiyah, hukumnya tidak boleh. Ketidakbolehan ini bukan disebabkan bahwa praktik di atas adalah haram, namun rumpun akad yang diikuti seharusnya bukan mudharabah, melainkan ijarah (sewa jasa). Jika ijarah itu berupa suatu aset produktif perusahaan, maka ijarahnya adalah ijarah muntahiyah bi al-tamlik (IMBT). Ijarah ini memiliki dasar jual beli aset dan sewa, dengan puncak akad berupa akhir kepemilikan aset. Jadi, jual beli saham perusahaan, hakikatnya adalah masuk rumpun akad IMBT
 
4. Perbedaan dalam penggantungan akad bila terpenuhi syarat tertentu
Suatu misal ada seorang pemodal berkata: “Kalau nanti aku diterima jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), maka usaha ini akan aku serahkan pengelolaannya kepadamu dan kita bagi hasil.”
 
Akad semacam ini menurut kalangan Hanabilah dan Zaidiyah, masuk kategori mudharabah dan hukumnya boleh, meskipun waktu yang disyaratkan belum terjadi dan akan terjadi di masa yang akan datang. Sementara itu menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah, ketiganya menolak dengan alasan bahwa: 
 
المضاربة تفيد تمليك جزء من الربح والتمليك لايقبل التعليق
 
Artinya: Mudharabah itu ada disebabkan adanya faedah penguasaan bagian dari keuntungan yang didapat. Dan “penguasaan” itu tidak mengenal istilah penggantungan.” (al-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tt.: Juz 4/840). 
 
Dengan mencermati pendapat masing-masing kalangan ulama 4 mazhab di atas, terkait dengan mudharabah muqayyadah, kalangan Hanafiyah dan Hanbaliyah menegaskan kebolehan akad tersebut dan akad bisa dilanjut. Sementara itu mazhab Malikiyah dan Syafiiyah, tidak menerima pembatasan tersebut, tapi solusinya adalah mengalihkan akad ke akad yang sesuai, semisal ijârah (sewa jasa). Dengan akad ini, peran mudharib (pengelola) berlaku sebagai orang yang diupah (ajir) oleh pemodal, yang mana dalam kasus ini pemodal berperan sebagai muajjir (penyewa jasa). Wallahu a'lam bish shawab
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur