Syariah

Kontraktor Ajukan Penyesuaian Harga Proyek Karena Kenaikan Harga BBM, Bagaimana Kajian Fiqihnya?

Rab, 21 September 2022 | 07:00 WIB

Kontraktor Ajukan Penyesuaian Harga Proyek Karena Kenaikan Harga BBM, Bagaimana Kajian Fiqihnya?

Kajian Fiqih penyesuaian harga proyek karena kenaikan harga BBM

Asosiasi Konstruksi Indonesia (AKI) telah mengajukan peninjauan kembali kepada Kementerian Pekerjaan Umum (PU) terhadap nilai kontrak proyek infrastruktur yang tengah berlangsung dan sudah ditandatangani sebelumnya. Mereka mengajukan penyesuaian nilai kontrak dengan alasan imbas kenaikan BBM.
 

Sebagaimana diketahui, bahwa kenaikan harga BBM memang menyasar ke semua lini. Tidak hanya ke harga bahan pangan pokok, melainkan juga terhadap material proyek. Akibatnya, para kontraktor merasa terhambat dalam melanjutkan proyek yang tengah digarapnya. 
 

Nah, selanjutnya muncul pertanyaan: “Bagaimana sih prinsip dasar harga proyek dalam Islam? Bagaimana hukum asal mengajukan penyesuaian harga proyek?”
 

Pertama, penyerahan tender proyek pemerintah kepada seorang kontraktor atau vendor, umumnya dilakukan melalui sistem lelang (musawamah)

 

Di dalam sistem itu, pihak kontraktor bersaing (secara ju’alah) dengan para kontraktor lain dalam ruang lelang akad bai’ munaqashah. Alhasil, tender didapatkan sesuai dengan harga proyek yang paling kecil dan sesuai dengan keberanian pelaku kontraktor untuk menangani proyek tersebut dengan biaya itu, serta kualitas produk proyek yang diusulkan dan disodorkan dalam bentuk proposal proyek. 

 

الشراء بالمناقصة، وهي أن يعرض المشتري شراء سلعة موصوفة بأوصاف معينة، فيتنافس الباعة في عرض البيع بثمن أقل، ويرسو البيع على من رضي بأقل سعر

 

Artinya, "Pembelian dengan jalan munaqashah adalah sistem pembelian dengan jalan pembeli menawar harga barang maushuf fi al-dzimmah (inden dengan karakteristik tertentu), berlomba-lomba menawar harga barang dengan harga yang paling rendah dan jual beli selesai untuk penawar yang ridha dengan harga terendah tersebut.” (Majmu’atu al-Muallifin, Mausu’atu Fiqhil Muamalat, [Kuwait: Wazzaratu al-Auqaf], juz I, halaman 13). 


Kedua, barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaih) dalam suatu proyek, sejatinya belum wujud (ghaib). Dengan demikian, tugas pemegang tender proyek adalah mewujudkan (ijad) produk sesuai dengan kualifikasi yang diajukannya dalam proposal proyek. 


Akad seperti ini, menurut perspektif fuqaha Hanafiyah dikelompokkan sebagai akad istishna’, atau sering kita maknai sebagai akad pesan rakit barang. 
 

أنَّ الِاسْتِصْناعَ لا جَبْرَ فِيهِ إلّا إذا كانَ مُؤَجَّلًا بِشَهْرٍ فَأكْثَرَ، فَيَصِيرُ سَلَمًا وهُوَ عَقْدٌ لازِمٍ يُجْبَرُ عَلَيْهِ، ولا خِيارَ فِيهِ

 

Artinya, “Sesungguhnya istishna’ itu tiada pemaksaan di dalamnya melainkan apabila dilakukan dengan jalan tempo satu bulan atau lebih. Karena itu, akad istishna’ merupakan bagian dari akad salam (inden), yakni akad yang secara otomatis berlaku dan memaksa. Tidak berlaku khiyar di dalamnya.” (Ibn Abidin, Durr al-Mukhtar wa Hasyiyah Ibn Abidin, [Beirut: Dar al-Fikr: 1992], juz V, halaman 225).

 

Ibnu Abidin (wafat 1252 H) juga menyebut akad ini dengan istilah lain sebagai ijarah awwalan bai’ intiha-an, yaitu sewa jasa di awal dan ujungnya jual beli. 
 

(قَوْلُهُ والمَبِيعُ هُوَ العَيْنُ لا عَمَلُهُ) أيْ أنَّهُ بَيْعُ عَيْنٍ مَوْصُوفَةٍ فِي الذِّمَّةِ لا بَيْعُ عَمَلٍ أيْ لا إجارَةٌ عَلى العَمَلِ لَكِنْ قَدَّمْناهُ أنَّهُ إجارَةٌ ابْتِداءً بَيْعٌ انْتِهاءً تَأمَّلْ


Artinya, "Perkataan mushannif: 'Yang diperjualbelikan adalah barangnya dan bukan pekerjaannya', maksud dari perkataan ini adalah, bahwa objek yang diperjualbelikan adalah barangnya masih diketahui karakteristiknya dan ada dalam tanggungan, sehingga bukan pekerjaan (vendor). Jadi, bukan sewa jasa unttuk melaksanakan (proyek), akan tetapi lebih tepatnya kita mengatakan: “Akad ijarah awalnya, dan jual beli di akhirnya. Mari renungkan!” (Ibn Abidin, Durr al-Mukhtar wa Hasyiyah Ibn Abidin, [Beirut, Dar al-Fikr, 1992], juz V, halaman 225).

 

Sementara itu, menurut fuqaha’ Syafi'iyah, akad di atas disebut sebagai akad ijarah saja.

 

الاجارة هِيَ ….عقد على مَنفَعَة مَقْصُودَة مَعْلُومَة قابِلَة للبذل والاباحة بعوض مَعْلُوم شَرطهما أي المُؤَجّر والمُسْتَأْجر كبائع ومشتر

 

Artinya, “Ijarah adalah akad atas suatu jasa yang dituju, diketahui, yang bisa diserahkan dan dibolehkan dengan ganti berupa harga yang juga diketahui dan disepakati oleh keduanya, yaitu baik pemilik barang dan penyewa seperti layaknya penjual dan pembelinya.” (Muhammad al-Ghamrawi, As-Sirajul Wahhaj, [Beirut: Dar al-Ma’rifah], juz I, halaman 287). 

 

Ada juga yang mengelompokkan sebagai akad bai’ ghaibah maushufah fi al-dzimmah berdasarkan qaul qadim Imam As-Syafi’i, namun dengan disertai syarat sah yaitu adanya khiyarur ru’yah

 

فالشافعية بناء على المذهب القديم القائل بصحة بيع الغائب مع ثبوت خيار الرؤية


Artinya: “Menurut kalangan fuqaha Syafiiyah dengan berlandaskan pada pendapat Imam Syafii dalam Qaul Qadim disampaikan sahnya akad jual beli barang yang masih ghaib (maushufah fi al-dzimmah) dengan disertai wajib pemberlakuan khiyar ru’yah.” (Abdul Karim ar-Rafi’i, Al-'Aziz Syarhul Wajiz al-Ma'ruf bis Syarhil Kabir, [Beirut, Thaba’ah al-Ilmiyyah], juz IV, halamann 268).


Penting untuk dicatat, bahwa: 

  1. baik berlaku sebagai akad ijarah atau akad bai’, tiap-tiap akad di atas memiliki banyak kesamaan dalam hal syarat harga barang atau jasa; 
  2. harga  barang atau jasa meniscayakan wajib ma’lum di depan, sebab keduanya masuk rumpun akad bai’ maushuf fi al-dzimmah atau akad salam
  3. apabila harga beli atau harga sewa itu tidak ma’lum di depan, maka pelaku akan jatuh pada praktik gharar (spekulasi) yang dilarang; dan
  4. introduksi khiyar (opsi pembatalan atau melanjutkan akad) hanya bisa dilakukan ketika proyek itu telah selesai 100%. Sementara yang dikehendaki dari penyesuaian sebagaimana kasus para kontraktor di atas, adalah masih dalam kondisi proyek itu dijalankan. Berangkat dari kondisi ini, maka tidak mungkin menerapkan khiyar pada proyek yang sedang berlangsung. 


Walhasil, ketentuan asal dari penyesuaian harga proyek adalah masih dalam ruang “tidak diperbolehkannya” secara syara’, karena dapat menggiring pada terjadinya praktik gharar (spekulasi).

 

Problemnya, adalah, dampak inflasi itu nyata berpengaruh terhadap sejumlah harga bahan baku. Inflasi itu terjadi juga akibat kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, sehingga bukan akibat keteledoran (taqshir), melampaui batas (ta’addi), dan sengaja merugikan atau koruptif (idlrar) para kontraktor.


 

Ustadz Muhammad Syamsudin, M.Ag, Peneliti Bidang EKonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur