Syariah

Marak Aksi Pembobolan Rekening Nasabah, Mana Tanggung Jawab Perbankan?

Rab, 25 Januari 2023 | 12:00 WIB

Marak Aksi Pembobolan Rekening Nasabah, Mana Tanggung Jawab Perbankan?

Ilustrasi: bank (freepik).

Beberapa hari belakangan marak diberitakan bobolnya rekening salah satu nasabah BCA oleh orang yang berprofesi sebagai tukang becak. Ini menjadi salah satu trending topic berita yang menggemparkan dan sekaligus menjadi keprihatinan bagi para nasabahnya. 


Bagaimana tidak, jika ada sebuah sistem perbankan offline dan konon dilindungi dengan Standard Operating Procedure (SOP) pengamanan berlapis, namun ternyata dengan mudahnya dana tersebut bisa dibobol oleh pelaku kejahatan, bahkan hanya oleh seorang tukang becak. Bukan bermaksud merendahkan, akan tetapi hemat penulis ini adalah ironi sistem layanan perbankan di Indonesia.


Tidak kalah menariknya, uang nasabah yang dibobol, tidak bisa kembali, sebagaimana kasus pemberitaan yang beredar terkait nasabah BCA tersebut.


Coba bayangkan, kejahatan pembobolan rekening ini dilakukan secara offline. Bagaimana lagi bila pembobolan dilakukan secara online? Tentu lebih rawan lagi bukan? 


Kasus pembobolan rekening nasabah secara online ini pun juga sudah beberapa kali terjadi belakangan ini terhadap nasabah BRI dengan modus operandi yang berbeda-beda. Akan tetapi, modus operandi utama pelaku adalah melalui praktik phising


Phising dilakukan melalui penyebaran link bug dengan tujuan agar pemilik kartu terpancing untuk mengeklik link tersebut sehingga data pribadinya menjadi terbuka ke pelaku kejahatan. 


Jadi, benang merah persoalan terjadinya pembobolan rekening nasabah BCA dan BRI ini pada akhirnya mengundang tanya oleh masyarakat pengguna jasa perbankan, antara lain:


Pertama, bukankah dalam pembobolan itu terjadi dengan melibatkan proses transfer di antara rekening. Jika transfer ke rekening saja bisa, mengapa tidak bisa dilakukan pengembalian dana kepada rekening korban setelah adanya pengaduan nasabah dan diperkuat dengan bukti laporan kepada aparat keamanan, yakni kepolisian? 


Kedua, bukankah kejahatan pembobolan, baik secara offline dan online, itu dilakukan tanpa sepengetahuan dan seizin nasabah pemilik rekening? Mengapa dana yang berhasil dibobol tidak bisa dikembalikan lagi kepada korbannya seiring pelakunya sudah diketahui dan ditangkap? 


Kedua persoalan ini selanjutnya mengerucut pada permasalahan utama, yaitu mana tanggung jawab perbankan dalam mengamankan dana yang dititipkan oleh nasabahnya yang konon penitipan itu mengikuti akad wadi’ah yadud dhamanah


Perlu diketahui bahwa wadi’ah yadud dhammanah adalah akad titip yang disertai kesanggupan bagi pihak yang dititipi untuk menanggung ganti rugi, apabila terjadi penyimpangan, kelainan, kesalahan, atau kesengajaan berlaku wanprestasi terhadap dana yang dititipkan diserahkan padanya oleh nasabah. 


أن القبض عند الحنفية ينقسم إلى قسمين: قبض ضمان، وقبض أمانة وقبض الضمان: هو: ما كان فيه القابض مسئولًا عن المقبوض تجاه غيره، فيضمنه إذا هلك عنده، ولو بآفة سماوية، كالمغصوب في يد غاصبه، والمبيع في يد مشتريه وقبض أمانة: وهو ما كان فيه القابض غير مسئول عن المقوض إلا بالتعدي، أو التقصير في الحفظ


Artinya, “Menurut kalangan ulama Hanafiyah, penerimaan barang atau hak itu ada dua, yaitu qabdhu dhamman dan qabdhu amanah. Qabdhu dhamman adalah suatu penerimaan dimana penerima bertanggung jawab terhadap obyek yang diserahkan oleh pihak lain kepadanya. Karena itu ia bertanggung jawab terhadap kerusakan barang atau hak yang diserahkan kepadanya, meskipun itu rusak akibat faktor samawi (bencana). Misalnya barang yang dighashab di tangan penggashabnya atau barang yang sudah dibeli di tangan pembelinya. Adapun qabdhu amanah adalah penerimaan yang mana pihak penerima barang tidak bertanggung jawab atas barang yang diserahkan selama tidak melakukan tindakan melampaui batas dan sembrono dalam penjagaannya.” (Dibyan Ad-Dibyan, Al-Mu'amalah Al-Maliyyah Ashalah wa Mu’ashirah, [Riyadh: Maktabat Al-Malik Fahd], juz II, halaman 515).


Dana nasabah menempati posisi maqbudh (barang yang diserahkan). Bank menempati derajatnya qabidh (penerima). Alhasil, pihak perbankan bertanggung jawab terhadap utuhnya maqbudh, yaitu tabungan nasabah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan:


ويرى الحنفية أن قبض الضمان أقوى من قبض الأمانة


Artinya, “Kalangan Hanafiyah berpandangan bahwa qabdud dhamman (penerimaan dengan kesanggupan tempuh ganti rugi) adalah lebih kuat dengan qabdhul amanah.” (Ad-Dibyan, Al-Muamalah Al-Maliyyah, juz II, halaman 515).


Pernyataan di atas diperkuat dengan pendapat Syekh Wahbah Az-Zuhail dalam karya monumentalnya Al-Fiqhul Islami sebagai berikut:


أن القبض كما تبين في الهبة نوعان: قبض أمانة، وقبض ضمان. فقبض الأمانة كقبض الوديعة. وقبض الضمان كقبض الغصب، والثاني أقوى من الأول


Artinya, “Sesungguhnya penerimaan barang atau hak yang dihibahkan sebagaimana berlaku pada akad hibah ada dua macam, yaitu qabdhu amanah dan qabdhu dhamman. Qabdhu amanah adalah sama dengan penerimaan pada akad wadi’ah. Adapun qabdhu dhamman adalah sebagaimana penerimaan yang berlaku atas barang yang dighashab. Qabdhu kedua lebih kuat dibanding qabdhu pertama.” (Wahbah Az-Zuhail, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus: Darul Fikr], juz II, halaman 4244).
 

 

Apa Sih Ganti Rugi Itu?

Ganti rugi adalah pengembalian dana atau hak korban akibat ulah yang ditimbulkan oleh pihak pelaku. 


والضمان: هو التزام بتعويض مالي عن ضرر للغير


Artinya, “Ganti rugi adalah suatu kesanggupan mengganti yang berbasis harta akibat kerugian yang ditimbulkan kepada pihak lain.”


Dalam Islam, setiap kerugian menuntut adanya pertanggungjawaban ganti kerugian. Hal ini sebagaimana ungkapan:


الخراج بالضمان أي بمقابلة دخوله في ضمان من سلم له خراجه


Artinya, “Kerugian berbanding lurus dengan ganti ruginya,” yakni sebanding dengan kerugian yang dialami oleh orang yang seharusnya menerima manfaatnya.”  


Lebih lanjut, Syeikh Musthafa Az-Zuhaili menambahkan:


لأنه لو كان تلف في يده، قبل الرد، لكان من ماله


Artinya, “Karena seandainya harta yang rusak itu ada di tangan penerimanya sebelum dikembalikan kepada pemiliknya, maka harta tersebut berlaku sebagai layaknya miliknya.” (Muhammad Mushthafa Az-Zuhaili, Al-Qawa’idul Fiqhiyah wa Tathbiqatuha fil Madzahib Al-Arba’ah, [Damaskus, Darul Fikr: 2006], juz 1, halaman 472).


Alhasil, uang nasabah yang terdapat di bank adalah berlaku layaknya uang bank sebelum uang itu dikembalikan nilainya kepada nasabah. Dengan demikian, uang nasabah tersebut berlaku layaknya utang (qardh) dari nasabah ke bank selama uang tersebut belum kembali ke nasabah. 


Namun, fakta yang berlaku hingga detik ini, nasabah justru tidak bisa menerima kembali dananya yang hilang akibat aksi kejahatan yang memanfaatkan lubang kelemahan sistem layanan perbankan tersebut. Lalu mana tanggung jawab perbankan terhadap dana nasabahnya?



Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean, Gresik dan Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur