Syariah

Mengenal Leverage dalam Trading Forex

Sab, 12 Desember 2020 | 16:00 WIB

Mengenal Leverage dalam Trading Forex

Konsekuensi hukumnya bisa berbeda-beda menurut asal-muasal dari leverage itu dilakukan.

Hari ini, kita disuguhkan dengan pemandangan seorang trader yang kekurangan dana untuk melakukan akuisisi sebuah aset, maka pihak broker menawarkan kepadanya agar mengajukan leverage.

 

Istilah kasarnya, leverage adalah pinjam asupan dana segar ke pihak lain. Namun, ini konteksnya adalah pasar berjangka. Dengan mengetahui apa itu leverage, kita akan mudah untuk mendudukkan hukumnya dalam konteks pasar berjangka, khususnya dalam trading forex.

 

Apa itu Leverage?

Saat kita mendirikan sebuah usaha, atau sedang berdagang, terkadang kita butuh modal yang diperoleh dari investor lain, atau dana pinjaman dari pihak lain. Modal kita sendiri tidak cukup untuk menyelesaikan proyek. Di sisi lain, saat kita hendak membeli sebuah barang, maka uang yang kita sediakan ternyata kurang. Nah, dari sini, kemudian kita membutuhkan adanya dana segar untuk menutup kekurangan itu. Dana baru ini dikenal dalam istilah ekonomi sebagai istilah leverage.

 

Dengan demikian, dana leverage ini ada beberapa kemungkinan dalam pandangan fikih, yaitu:

  1. Leverage merupakan dana yang diperoleh dari akad utang (qardl). Oleh karenanya, penyelesaian kasus leverage kelompok ini, meniscayakan mengikuti aturan akad qardl.
  2. Leverage merupakan dana yang diperoleh lewat relasi akad syuf’ah (akuisisi barang), yang meniscayakan berlakunya ketentuan harta syuyu’ (harta bersama) dalam penyelesaian dan penanganannya.
  3. Leverage merupakan dana yang diperoleh lewat relasi akad syirkah (kerjasama). Alhasil, penyelesaiannya pun menghendaki mengikuti akad syirkah.

 

Dari ketiga jenis leverage ini, sudah pasti risikonya akan berbeda-beda terhadap efek akad.

 

Leverage dari Akad Qardl (Utang)

Suatu misal, anda membeli barang, lalu uang anda kurang dari seharusnya yang dibayarkan ke pihak penjual. Lalu anda memandang adanya teman disamping anda. Agar barang tetap bisa dibawa, maka anda memutuskan untuk meminjam kepadanya. Tujuan anda hanya berfokus pada terbelinya barang.

 

Nah, jika teman anda kemudian memberikan uang senilai yang anda butuhkan untuk membeli barang tadi, tanpa adanya syarat bahwa barang itu merupakan barang milik bersama antara anda dan teman anda, maka tak pelak lagi, bahwa uang yang diberikan tersebut merupakan yang berasal dari relasi akad qardl (utang).

 

Buah dari relasi akad qardl ini adalah:

  1. Barang yang terbeli adalah sepenuhnya milik anda
  2. Uang yang diberikan oleh teman anda merupakan harta utang
  3. Setiap harta utang, maka syarat pengembaliannya menghendaki ketentuan sama/sepadan (tamatsul), besarannya juga sama (hulul/tunai) dan bisa diserahterimakan (imkan al-qabdl).
  4. Pengembalian lebih yang disyaratkan di awal pada harta utang tunai (berupa uang/qimah) adalah termasuk kelompok riba qardli (riba utang) yang haram.
  5. Pengembalian lebih yang tidak disyaratkan di muka, dan berangkat dari inisiatif pihak penerima utang sendiri adalah termasuk kelompok hibbah bi al-tsawab (pemberian tanda terima kasih).

 

Pertama, leverage yang berasal dari relasi akad syuf’ah

Dalam Madzhab Syafii, Akad syuf'ah merupakan akad akuisisi barang yang terdiri dari barang yang tidak bisa dibagi (ma la yanqasim). Adapun untuk barang yang bisa dibagi secara fisik (ma yanqasim), maka akadnya dinamakan dengan akad jual beli (bai'). Alhasil, ada dua mekanisme relasi yang bisa dibedakan di sini, khususnya bila dihubungkan dengan praktik leverage.

 

Kedua, syuf'ah terdiri dari barang yang tidak bisa dibagi

Praktik pembelian sebuah barang yang masuk dalam kelompok tidak bisa dibagi, pada dasarnya adalah masuk rumpun jual beli juga, yang dinamakan dengan istilah bai' mu'ahadah, yaitu jual beli dengan janji. Di sisi lain, praktik ini juga bisa disebut bai’ bi syarthin, yaitu jual beli dengan syarat. Pertanyaannya, apa yang menjadi syarat atau menjadi janji dari praktik ini?

 

Pembelian Aset yang Tidak Bisa Dibagi

Sebuah barang yang tidak bisa dibagi, meniscayakan adanya kepemilikan bersama (syuyu’) antara dua pihak yang bekerjasama dalam pembeliannya. Alhasil, ada unsur irfaq (kebersamaan) yang hendak dibina dalam konteks ini, sehingga membedakannya dengan prinsip utang (qardl) sebagaimana disampaikan dalam skema leverage yang pertama di atas.

 

Pada skema leverage pertama, pihak yang mengutangi tidak hendak memiliki niatan untuk ikut serta dalam memiliki barang. Adapun, pada kasus leverage kedua, pihak yang diajak membeli barang, ikut serta dalam memiliki barang. Alhasil, ia menjadi syarik (mitra) pembelian, dan bukan selaku pihak yang memberi utang (muqridl) kepada pengajaknya (muqtaridl).

 

Dengan mencermati skema relasi tersebut, maka dapat ditarik benang merah efek dari kerjasama ini, yaitu:

  1. Barang merupakan milik bersama (mal syuyu’)
  2. Jika pihak syarik (mitra) menghendaki untuk menjual bagiannya, maka pihak syarik yang lain bergerak selaku musyfi’ (pengkuisisi).
  3. Apabila barang tersebut disepakati untuk dijual kepada pihak lain, maka keuntungan dan kerugian adalah ditanggung bersama oleh kedua pihak
  4. Masing-masing syarik dan syafi’ memiliki bagian aset sesuai dengan nisbah uang yang disetorkannya untuk membeli barang. Alhasil, bila terjadi keuntungan atau kerugian dalam penjualan, maka nisbah untung dan rugi, juga ditanggung sesuai dengan rasio kepemilikan bersama.
  5. Pengelolaan aset, bisa dilakukan oleh salah satu pihak dengan tetap menjaga hak dari syarik yang lain.
  6. Bila terjadi penjualan aset, maka pihak syarik harus pertama kali yang ditawari selaku pihak yang mengakuisisi, dengan lama khiyar adalah disesuaikan dengan ‘adat yang berlaku. Menurut Imam Ibn Al-Rif’ah, maksimal masa khiyar adalah 3 hari. Jika dalam waktu tiga hari tidak ada respon dari pihak mitra syafi’, maka pihak syarik bisa menjual bagiannya sendiri (nisbah kepemilikannya) kepada pihak lain. Adapun kepemilikan dari mitra yang lain, tidak hilang akibat penjualan itu, melainkan beralih mitra dengan syafi’ yang lain.

 

Pembelian Aset yang Bisa Dibagi

Jika leverage itu terjadi atas dasar pembelian aset yang bisa dibagi bersama sesuai dengan nisbah penyertaan uang/nilai masing-masing (misalnya, emas), maka akad yang berlaku dalam kerjasama tersebut adalah akad jual beli ain musyahadah (fisik tampak), meskipun diawali dengan akad kepemilikan bersama. Mengapa? Sebab akad syuf'ah hanya berlaku untuk barang yang tidak bisa dibagi (ma la yanqasim).

 

Alhasil, dengan resiko ini, maka akibat yang lahir dari sebab akad tersebut adalah:

  1. Setiap pihak berhak atas kepemilikan barang dengan jumlah sesuai nisbah penyertaan harga. Misalnya, jika 2 orang pihak sama-sama urun 50 ribu-an terhadap pembelian barang yang memiliki harga 100 ribu mendapatkan 10 biji, maka setiap pihaknya berhak atas kepemilikan 5 biji.
  2. Pelimpahan barang kepada salah satu pihak yang terlibat adalah menduduki peran akad qardl (utang), dengan objek berupa barang mutaqawwam (barang fisik).
  3. Setiap utang yang ada dalam bentuk barang fisik, maka pengembaliannya adalah wajib mengikuti ketentuan utang barang mutaqawwam, yaitu mengembalikan harta dalam rupa yang sepadan dan tidak harus sama persis, kecuali barang itu bisa ditakar, ditimbang, atau diukur.
  4. Bilamana pengembalian utang ditentukan dengan rupa nilai/harga, maka besar uang/nilai yang wajib diserahkan adalah nilai atau uang sebesar harga saat barang itu diserahkan (tunai).
  5. Kelebihan nilai atas uang/nilai sebagaimana disebut pada poin 4, menjadikan praktik tersebut berubah menjadi riba al-yad atau riba al-nasiah yang dilarang (haram).
  6. Pengelolaan aset merupakan hak pihak yang mengakuisisi barang (pihak yang membutuhkan leverage)

 

Ketiga, leverage dalam bentuk akad syirkah

Untuk memahami leverage dari akad ini, maka kita dibutuhkan untuk memahami dasar utama dari akad syirkah, yaitu persekutuan modal (khalathah). Persekutuan modal dalam Islam hanya dibenarkan bila persekutuan itu merupakan persekutuan sempurna (khalathah isytirak). Artinya, kepemilikan masing-masing pihak tidak bisa diidentifikasi dan dipisah-pisahkan.

 

Adapun bila persekutuan itu terdiri dari persekutuan yang tidak sempurna (khalathah jiwar), maka akadnya dikembalikan pada akad jual beli (bai’) sebab statusnya adalah mukhalif al-ashli (bertentangan) dengan akad syirkah (kemitraan). Alhasil, syirkah dalam konteks terakhir ini, ditengarai sebagai akad syirkah fasidah (syirkah yang rusak) dalam konteks mazhab Syafi'i.

 

Yang perlu dicatat adalah bahwa dalam syirkah semua pihak sama-sama menyetorkan modal dengan niatan awal untuk usaha bersama. Alhasil, kesepakatan melakukan usaha bersama terhadap objek yang sebenarnya bisa dibagi ini yang membedakan syirkah dengan akad syuf’ah. Selain itu, hak pengelolaan aset pun juga berlaku secara bersama-sama, tanpa perlu saling mengajukan ijin atas satu mitra ke mitra lainnya. Orientasinya adalah keuntungan bersama.

 

Jika konsep ini ditarik pada kasus leverage, yaitu usaha mencari mitra untuk bersama-sama mengakuisisi suatu barang, maka konsekuensi dari leverage dengan relasi akad syirkah ini adalah sebagai berikut:

  1. Nisbah masing-masing modal dari setiap pihak yang terlibat ini meniscayakan harus diketahui.
  2. Bagian dari masing-masing pihak terhadap akumulasi barang adalah sesuai dengan nisbah modal yang disertakan
  3. Pengelolaan terhadap aset syirkah merupakan yang dikelola secara bersama-sama untuk mencapai keuntungan bersama.
  4. Apabila terjadi praktik jual beli setelahnya, terhadap barang yang dimiliki bersama, maka untung rugi merupakan yang ditanggung bersama.
  5. Setiap mitra berhak untuk melakukan penyaluran (tasharruf) atas aset syirkah tersebut untuk mendapatkan keuntungan bersama, tanpa harus ijin kepada mitra lannya..

 

Kesimpulan

Leverage, yang umumnya diartikan sebagai upaya mencari tambahan modal untuk mengakuisisi suatu barang, memiliki konsekuensi hukum dalam bingkai fiqih muamalah. Konsekuensi hukumnya bisa berbeda-beda menurut asal-muasal dari leverage itu dilakukan.

 

Jika proses leverage itu dilakukan dengan mekanisme mencari utang, maka konsekuensinya adalah mengikuti akad utang.

 

Adapun, bila leverage itu dilakukan mengikuti akad syuf’ah, maka objek yang disasar dari upaya leverage adalah wajib diselesaikan dengan akad syuf’ah. Satu catatan bagi akad ini adalah objek yang diakuisisi, menghendaki berupa barang/aset yang tidak bisa dibagi. Syuf’ah pada barang yang bisa dibagi adalah termasuk syuf’ah yang fasidah sehingga harus dikembalikan pada akad dasarnya, yaitu bai’ (jual beli).

 

Jika barang yang diakuisisi berupa barang yang bisa dibagi, maka akad yang berlaku adalah akad jual beli (bai’), dan bukan akad syuf’ah. Alhasil, pihak syarik berlaku sebagai pihak yang menghutangi barang mutaqawwam terhadap mitra lainnya.

 

Leverage yang dilakukan melalui relasi akad kemitraan (syirkah), menghendaki adanya kepemilikan bersama terhadap objek yang bisa dibagi.

 

Bedanya leverage jenis ini dengan akad syuf’ah adalah adanya perjanjian bersama untuk melakukan sebuah usaha, yang dikelola bersama, sehingga untung rugi ditanggung bersama. Setiap syarik, berhak atas pengelolaan aset tanpa perlu saling idzin. Hal ini utamanya yang membedakannya dengan akad syuf’ah.

 

 

Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur