Muhammad Aiz Luthfi
Penulis
Menunaikan ibadah haji merupakan momentum istimewa bagi umat Islam. Setiap jemaah yang berkesempatan menunaikan rukun Islam kelima tersebut biasanya memiliki pengalaman yang berbeda. Di kalangan ahli tasawuf, ibadah haji bukan sekadar perjalanan fisik yang melakukan berbagai ritual suci. Lebih dari itu, ibadah haji juga merupakan perjalanan batin menuju kesucian dan kedekatan diri dengan Allah.
Syekh Abu Nasr Abdullah bin Ali as-Sarraj at-Thusi dalam kitab Al-Luma fi Tarikhit Tashawufil Islami (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah: 2016) halaman 156-158 menjelaskan, setidaknya ada 3 kelompok sufi saat mereka menunaikan ibadah haji, yaitu sebagaimana berikut.
1. Sekali Seumur Hidup
Baca Juga
Kisah Ulama Berhaji Tanpa ke Tanah Suci
Kelompok pertama adalah tokoh sufi yang menunaikan haji hanya sekali dalam seumur hidup. Bagi mereka, berhaji adalah kesempatan berharga yang harus diisi dengan berbagai amal ibadah. Untuk itu, saat berada di Tanah Suci tidak ada waktu bagi mereka untuk bersantai dan berleha-leha. Sebaliknya, mereka banyak disibukkan dengan berbagai amal ibadah, menjaga waktunya dengan baik, menjaga perilakunya untuk meraih keselamatan di dunia dan akhirat.
Di antara alasan yang menjadi dasar mereka yang menunaikan ibadah haji hanya sekali dalam seumur hidup adalah berkaca dari fakta sejarah bahwa Nabi Muhammad pun berhaji hanya sekali. Beberapa tokoh sufi yang masuk dalam kelompok ini adalah Abu Yazid Al-Busthami, Junaid Al-Baghdadi, Sahl bin Abdullah, dan masih banyak tokoh sufi terkemuka lainnya.
Haji sekali seumur hidup ini juga pernah disinggung oleh KH Ali Mustafa Yaqub. Menurutnya, umat Islam yang pernah menunaikan ibadah haji dan ingin kembali berhaji perlu memeriksa kembali niat dan motivasinya. Apakah benar murni karena Allah atau malah justru terdorong oleh hawa nafsu.
Kiai Ali Mustafa menyarankan, bagi mereka yang telah berhaji dan memiliki kecukupan harta sebaiknya mengalokasikan hartanya itu untuk beribadah sosial, misalnya membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan mendukung kegiatan sosial lainnya.
2. Memutuskan Ikatan Duniawi
Kelompok kedua adalah para tokoh sufi yang berhaji dengan hati ikhlas karena Allah serta memilih untuk memutuskan ikatan duniawi. Dengan kerinduan yang mendalam, mereka memusatkan hatinya hanya kepada Allah, merindukan Baitullah, dan berziarah ke makam Rasulullah.
Kerinduan ini membuat mereka rela meninggalkan kampung halaman, menempuh perjalanan dan melewati teriknya padang pasir, gurun, dan daerah terpencil tanpa membawa bekal. Kecintaannya pada Allah dan Rasulullah menjadikan mereka tidak bergantung pada teman seperjalanan, tidak menghitung jarak tempuh, dan tidak meminta bantuan kepada siapa pun.
Mereka pun meyakini bahwa ketika berhaji benar-benar ikhlas karena Allah dan hatinya tidak terikat oleh urusan duniawi, maka setiap langkah kaki yang ditempuh akan mendapat perlindungan dari-Nya. Allah berfirman dala Surat Al-Baqarah ayat 125:
وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ
Baca Juga
Inilah Sunnah-sunnah Ibadah Haji
Artinya: “(Ingatlah) ketika Kami menjadikan rumah itu (Ka‘bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia.”
Deretan tokoh sufi yang masuk dalam kelompok ini di antaranya adalah Hasan Al-Qazzaz Ad-Dainuri, Abu Turab An-Nakhshabi, Abu Abdullah Al-Maghribi, Ja’far Al-Khaldi, Bisyr bin Harits, dan Ibrahim Al-Khawas. Saat menunaikan ibadah haji, mereka melewati berbagai rintangan dan penderitaan duniawi namun hatinya tetap tenang karena fokus sepenuhnya kepada Allah.
3. Tinggal di Makkah
Kelompok ketiga adalah para tokoh sufi yang berhaji dan memilih tinggal di Makkah dalam kurun waktu yang cukup lama. Menurut mereka, Makkah memiliki ekosistem spiritual yang kuat untuk mendukung seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah, menjalani kehidupan penuh kesabaran dan pengorbanan, serta menjadi tempat terbaik untuk menjauhkan diri dari ikatan duniawi.
Secara geografis, tanah di Makkah cukup tandus sehingga hanya tanaman tertentu yang bisa tumbuh dan berkembang di sana. Hal ini sebagaimana doa Nabi Ibrahim dalam Al-Quran Surat Ibrahim ayat 37:
رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ
Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak ada tanamannya (dan berada) di sisi rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati.”
Pada saat itu, ketika akses sumber daya alam masih cukup terbatas, para tokoh sufi ini menganggap bahwa minimnya berbagai hasil alam bisa mendukung seorang hamba dalam menjauhkan diri dari hawa nafsu dan kesenangan duniawi. Hati mereka yang mudah gelisah ketika kebutuhannya tidak terpenuhi akan benar-benar diuji di tempat ini. Hanya hamba yang sabar, tenang, dan yakin sepenuhnya pada Allah yang akan bertahan di sana.
Di antara tokoh sufi yang masuk pada kelompok ini adalah Abu Abdullah bin al-Jala’, Abu Bakr al-Kattani, Abu Umar Az-Zajjaji, Ad-Daqiq, Ahmad At-Tarsusi, dan masih banyak lagi tokoh sufi lainnya. Mereka banyak menghabiskan waktu di Makkah untuk meningkatkan spiritualitasnya dan mendekatkan diri kepada Allah.
4. Batal Berhaji karena Bekalnya Disedekahkan
Selain 3 kelompok di atas, ada juga tokoh sufi yang batal menunaikan ibadah haji karena bekal yang sudah disiapkan diberikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Namun demikian, pahala yang didapatkan setara dengan mereka yang menunaikannya di Tanah Suci.
Fariduddin 'At-Thar dalam kitab Tadzkiratul Auliya, (Damaskus: Darul Maktabi, 2009), halaman 230-231 mengisahkan Abdullah bin Mubarak yang mencari sosok Ali bin Muwafaq, seorang tukang sol sepatu yang gagal berangkat haji karena semua tabungannya diberikan kepada tetangganya, seorang wanita tua dan anak-anaknya, yang kelaparan. Atas amalnya tersebut, Ali bin Muwafaq mendapatkan pahala yang setara dengan ibadah haji.
Demikian 4 kelompok sufi dalam menunaikan ibadah haji. Para tokoh tasawuf ini bisa menjadi pengingat bagi umat Islam, khususnya jemaah haji, bahwa berhaji bukan sekadar ritual fisik melainkan perjalanan spiritual yang sarat makna. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Aiz Luthfi, Pengajar di Pesantren Al-Mukhtariyyah Al-Karimiyyah, Subang, Jawa Barat.
Terpopuler
1
Keistimewaan Bulan Dzulhijjah dan Hari Spesial di Dalamnya
2
Amalan Penting di Permulaan Bulan Dzulhijjah, Mulai Perbanyak Dzikir hingga Puasa
3
Kelola NU Laksana Pemerintahan, PBNU Luncurkan Aplikasi Digdaya Kepengurusan
4
Tak Bisa Mengelak Lagi, Negara Wajib Biayai Pendidikan Dasar Termasuk di Swasta
5
Mengenal Aplikasi Digdaya Kepengurusan yang Diluncurkan PBNU
6
Prof Masud Said Ungkap Peran KH Tolchah Hasan dalam Pendidikan hingga Kebangsaan
Terkini
Lihat Semua