Hikmah

Cerita Kiai Hasan Maolani Menyembuhkan Sakit dengan Puasa

Sel, 19 Mei 2020 | 08:36 WIB

Cerita Kiai Hasan Maolani Menyembuhkan Sakit dengan Puasa

Ilustrasi puasa. (NU Online)

Kutipan firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 184, wa an tashumu khairul lakum in kuntum ta’lamun (dan memilih berpuasa adalah lebih baik jika saja kamu mengetahuinya), memiliki makna yang mendalam. Konteks ayat ini adalah menunjukkan kecenderungan Allah SWT dalam merekomendasikan untuk lebih memilih berpuasa di hari lain (qadla) daripada membayar fidyah bagi yang orang tidak mampu berpuasa di bulan suci Ramadhan.

Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya menunjukkan alasannya. Puasa merupakan sarana riyadlah atau menguji ketahanan fisik dan mental kita. Dalam hal spiritual Islam, puasa adalah sarana untuk semakin memperkuat keimanan, ketakwaan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Selain secara medis, fungsi puasa untuk menyehatkan tubuh juga diterapkan dalam hal tindakan non-medis oleh para ulama termasuk diantaranya adalah Kiai Hasan Maolani. Beliau adalah seorang ulama terkemuka yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat. KIai Hasan Maolani hidup pada abad ke-19, sebuah masa dimana terjadi persinggungan yang sangat sengit antara ulama dan kolonial.

Karena dianggap berbahaya, Kiai Hasan Maolani diasingkan ke Kampung Jawa Tondano di Sulawesi Utara satu kamp pengasingan dengan Kiai Modjo dan pasukannya. Kiai Hasan Maolani pun tetap menjaga komunikasi dengan keluarganya melalui surat-menyurat.

Mengobati dengan Puasa

Pada suatu waktu, Kiai Hasan Maolani menerima surat dari putranya yaitu Kiai Abshori atau Nurhamid. Ia menceritakan kondisi salah seorang keluarganya di Kuningan yang sedang dalam keadaan sakit. Kiai Abshori mengeluhkan keadaan ini kepada ayahnya padahal ia sudah menyembelihkan satu ekor hingga dua ekor kambing akikah, namun penyakitnya tidak kunjung sembuh.

Kiai Hasan Maolani kemudian merespon keluhan putranya itu dengan minta saran dari guru spiritualnya yaitu Panembahan Daqa. Sang Guru kemudian menyarankan agar menyembelih dua ekor kambing akikah lagi untuk si sakit sehingga menjadi empat ekor kambing yang disembelih. Saran ini diberikan mengingat adanya keistimewaan batin yang terdapat dalam diri si sakit.

Berikut kutipan pernyataan Kiai Hasan Maolani saat menyampaikan pesan gurunya:
 
 
Wa ayḍan. Perkara marīḍ sira, isun tutur maring sira cacak tatkala diaqīqahi sawiji iya maksih lara lan dèn aqīqahi roro iya maksih lara. Nuli isun matur maring Mbah Daqā’. Timbalane iku aqīqahe kudu papat wedus kerana iku bocah bakal ana pangkate (…). Sira gawe aqīqah papat wedus yèn ora anemu wedus iya ayam-ayam pada (…).

Artinya:
 
Kemudian terkait masalah sakitmu, Aku katakan kepadamu untuk mencoba saat menyembelih satu ekor kambing akikah satu masih sakit dan ketika menyembelih dua ekor juga masih sakit. Kemudian Aku meminta saran kepada Mbah Daqā’. Katanya, Aku harus memotong empat kambing akikah untukmu karena di dalam diri anak itu akan ada kedudukan (…). Jadi, tunaikanlah akikah empat ekor kambing namun kalau tidak ada kambing maka boleh diganti dengan ayam.

Selain menambah sedekah melalui akikah, Kiai Hasan Maolani juga menyarankan agar memperbanyak puasa rutin untuk menyembuhkan penyakitnya itu. Puasa itu dilakukan setiap hari Kamis dan Senin atau seminimal mungkin dilakukan setiap satu bulan sekali.
 
 
Wa ayḍan. Tirunana lakunisun niyat puasa sunah Khams atawa Ithnayn atawa liyané atawa sawulan pisan iya luwih utama.

Artinya:
Kemudian, ikutilah perbuatanku dalam berniat puasa sunnah hari Kamis atau Senin atau di hari lain atau bahkan sebulan sekali itu lebih utama.

Sebelum melaksanakan puasa, si sakit harus meniatkan diri untuk mensucikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Ia harus menyatakan bahwa puasanya adalah sebagai bentuk permohonan ampun dan taubat kepada Allah Swt atas segala kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuatnya. Selain itu, ia harus menyatakan diri bahwa puasa ini adalah sebagai langkah awal untuk kembali ke jalan yang benar mengikuti langkah orang-orang yang saleh, bertakwa (muttaqin), dan para wali Allah.

Berikut adalah lafadz niat yang diajarkan oleh Kiai Hasan Maolani:

نَوَيْتُ صَوْمَ الْغَدِّ مِنْ يَوْمِ الْخَمْسِ (الإِثْنَيْنِ) لِلتَّوْبَةِ وَالْمَغْفِرَةِ وَالْكَفَارَةِ مِنَ الذُّنُوْبِ الْكَبَائِرِ وَالصَّغَائِرِ كُلِّهَا وَلِلدُّخُوْلِ فِيْ طَرِيْقِ الصَّالِحِيْنَ وَمَعَ الدُّخُوْلِ فِيْ طَرِيْقِ الْمُتَّقِيْنَ وَمَعَ الدُّخُوْلِ فِيْ طَرِيْقِ الْمُجَاهِدِيْنَ وَمَعَ الدُّخُوْلِ فِيْ طَرِيْقِ الصَّابِرِيْنَ وَمَعَ الدُّخُوْلِ فِيْ طَرِيْقِ أَوْلِيَاءِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ مَشَارِقِ الْأَرْضِ إِلَى مَغَارِبِهَا وَمَعَ الدُّخُوْلِ فِيْ طَرِيْقِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ مَعَ قَضَاءِ الْحَوَائِجِ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ سُنَّةً للهِ تَعَالَى.

Nawaitu shaumal ghaddi min yaumil khamsi (itsnain) lit taubati wal maghfirati wa kafarati minadz dzunubil kaba’iri wash shagha’iri kulliha wa lid dukhuli fi thariqish shalihin wa ma’ad dukhuli fi thariqil muttaqin wa ma’ad dukhuli fi thariqil mujahidin wa ma’ad dukhuli fi thariqish shabirin wa ma’ad dukhuli fi thariqi auliya’illahish shalihin min masyariqil ardi ila magharibiha wa ma’ad dukhuli fi thariqi ahlis sunnati wal jama’ah ma’a qadla’il hawa’iji fid dini wad dunya wal akhirah sunnatan lillahi ta’ala.

Artinya:
Saya niat berpuasa esok hari Kamis (Senin) sebagai bentuk pertaubatan, permohonan ampunan, hukuman atas semua dosa besar maupun kecil, mengikuti jalan orang-orang yang shaleh, mengikuti jalan orang-orang yang bertakwa, mengikuti jalan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, mengikuti jalan orang-orang yang sabar, mengikuti jalannya para wali Allah yang berada di timur dan barat bumi, mengikuti jalannya golongan ahlussunnah wal jama’ah, dan untuk mewujudkan hajat (keinginan) untuk memperjuangkan agama, dunia, serta akhirat. Sunnah karena Allah ta’ala. 

Selanjutnya, berpuasalah seperti biasanya yaitu menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya baik secara lahiriah maupun batin. Waktu berpuasa dimulai sejak waktu Subuh dan berbuka puasa pada waktu Maghrib. 

Pada waktu berbuka puasa, Kiai Hasan Maolani menganjurkan untuk melakukan hal berikut:
 
 
Lan sadurungé buka iku maka dèn aturaken puasa iku maring guru dumugi ing Rasululullah kaya ujaré:

اَللهُمَّ رَبِّ اجْعَلْ صِيَامَنَا هَدِيَّةً مِنَّا لِسَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. اّللهُمَّ تَقَبَّلْ شّفَاعَةَ مُحَمَّدٍ الْكُبْرَى وَارْفَعْ دّرَجَةَ الْعُلَى وَأعْطِهِ سُؤْلَهُ فِي الْأَخِرَةِ وَالْأُوْلَى كَمَا أَتَيْتَ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى. رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أّنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ. أَمِيْن يَا رَبَّ الْعَالَميْنَ.

Allahumma rabbij’al shiyamana hadiyyatan minna li sayyidina wa nabiyyina Muhammadin shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allahumma taqabbal syafa’ata muhammadin al-kubra warfa’ darajatal ‘ula wa’thihi su’lahu fil akhirati wal ula kama ataita Ibrahima wa Musa. Rabbana taqabbal minna innaka antas sami’ul alim wa tub ‘alaina innaka antat tawwabur rahim. Amiin ya rabbal alamiin.

Artinya:
Dan sebelum berbuka puasa agar mempersembahkan puasa tersebut untuk guru-gurumu hingga untuk Rasulullah. Begini ucapannya:

Ya Allah, jadikan puasa kami sebagai hadiah dari kami untuk junjungan dan nabi kami Muhammad SAW. Ya Allah kabulkanlah syafa’at (pertolongan) dari Nabi Muhammad, angkatlah kepada derajat yang tinggi, dan kabulkanlah segala permohonannya baik di dunia maupun di akhirat sebagaimana Engkau memberikannya kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Ya Allah, terimalah permohonan kami karena sesungguhnya Engkaulah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Terimalah taubat kami karena sesungguhnya Engkaulah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang. Amiin ya rabbal alamiin.
 

Muhammad Nida’ Fadlan, Peneliti PPIM UIN Jakarta, Wakil Ketua Pengurus NU Ranting Kelurahan Pondok Petir, Depok
 
 
Keterangan:
Gambar adalah salinan manuskrip surat-surat Kiai Hasan Maolani yang dikumpulkan oleh Panitia Haol Eyang Hasan Maolani tahun 1990.

Seluruh transkripsi dan penerjemahan atas manuskrip dikutip dari Muhammad Nida’ Fadlan. 2019. “Kiai Hasan Maolani, Lengkong: Sejarah dan Surat-suratnya dari Tanah Pengasingan”. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI dan Masyarakat Pernaskahan Nusantara.