Hikmah

Ketika Syekh Ibrahim bin Adham Diusir dari Masjid

Jum, 7 September 2018 | 23:00 WIB

Ketika Syekh Ibrahim bin Adham Diusir dari Masjid

Ilustrasi (WordPress.com)

Syekh Ibrahim bin Adham berniat menginap di masjid ketika dingin malam menusuk tulang-tulangnya. Tapi tak disangka, selepas shalat Isya', saat jamaah yang lain pulang semua, tiba-tiba ia dihampiri seorang imam dan memintanya keluar.

"Saya orang luar. Saya berencana menginap malam ini di masjid," Ibrahim bin Adham menjelaskan.

"Tidak ada alasan!"

Sufi zuhud itu pun terlibat obrolan panjang dengan si imam, hingga akhirnya kakinya diseret lalu tubuhnya dilempar ke tempat pembuangan sampah. Pintu masjid pun ditutup.

Ibrahim bangkit dalam kondisi bingung, salah apa dan hendak singgah ke mana. Saat itulah ia mendekati dapur api yang sedang menyala-nyala, lalu berjumpa orang sederhana namun amat spesial.

"Assalamu'alaikum," sapa Syekh Ibrahim.

Tak ada balasan salam. Ia pun kian mendekat ke pria yang tampak sangat sibuk dengan aktivitasnya itu. Pria tersebut hanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Baru setelah rampung dengan aktivitasnya, ia membalas salam orang asing yang menghampirinya itu.

"Mengapa kau tak menjawab salamku dengan segera?" tanya Syekh Ibrahim bin Adham.

"Aku ini pegawai, saya khawatir sibuk dengan urusan di luar pekerjaanku, sehingga berdosalah aku."

"Aku juga melihatmu tadi menengok ke kanan dan ke kiri."

"Aku tidak tahu dari arah mana malaikat maut bakal mendatangiku," jawab pria itu.

Perbicangan pun lantas berlangsung hangat. Syekh Ibrahim bin Adham mulai bertanya tentang hal-hal yang bersifat pribadi.

"Berapa kau digaji per hari?"

"Satu plus seperenam dirham. Seperenam dirham untuk kebutuhanku sendiri, satu dirham untuk kebutuhan keponakan-keponakanku. Anakku sendiri sudah meninggal. Sudah 20 tahun aku menghidupi anak-anak saudaraku itu."

"Saudara kandung?" tanya Syekh Ibrahim lagi.

"Bukan. Saudara-saudari saya di jalan Allah."

Syekh Ibrahim terenyuh. Ternyata ia sedang berhadapan dengan orang yang istimewa. Yakni, pria yang sangat bertanggung jawab dan sangat amanah terhadap pekerjaannya, selalu insaf akan kepastian datangnya kematian, serta amat dermawan kepada orang lain atas dasar persaudaraan universal.

"Apakah kau ada permohonan kepada Allah?" tanya Syekh Ibrahim.

"Ya, selama dua puluh tahun aku memiliki permintaan kepada Allah namun sampai kini belum terkabul."

"Apa itu?"

"Aku memohon dapat berjumpa Ibrahim bin Adham, lalu aku meningal dunia."

Syekh Ibrahim lantas mengungkap bahwa dirinya adalah orang yang ia tunggu puluhan tahun itu. Sontak, pria dermawan itu melompat dan merangkul Syekh Ibrahim dengan penuh haru.

Selanjutnya, atas permintaan, Syekh Ibrahim dengan lembut meletakkan kepala si pria dermawan itu di atas batu. Dengan lirih, terdengar suara, "Tuhanku, Engkau telah kabulkan doaku, maka genggamlah sekarang aku menuju ke haribaan-Mu."

Sesaat kemudian, pria saleh yang amanah, zuhud, dan sangat peduli dengan orang lain melebihi kepentingan dirinya sendiri itu wafat dengan penuh kedamaian dan ketenangan. Sudah menjadi takdir Ibrahim bin Adham terusir dari masjid, untuk kemudian menerima takdir lain, yakni berjumpa dengan pelajaran luar biasa. Wallahu a'lam bish shawab. (Mahbib)


Cerita ini dinarasikan dari kitab "Maurad al-'Adzb fil Mawâ'idh wal Khuthab" karya Imam Abu Faraj al-Jauzi. Kisah ini juga bisa ditemukan dalam kitab "Jâmi' Karamâtil Auliyâ" (2/310) karya Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani.