Hikmah

Hikmah Resepsi Perkawinan dalam Islam

NU Online  ·  Jumat, 13 Juni 2025 | 05:00 WIB

Hikmah Resepsi Perkawinan dalam Islam

Ilustrasi perkawinan. SUmber: Canva/NU Online.

Pernikahan dalam Islam tidak hanya perihal ijab dan qabul saja. Ia adalah awal dari kehidupan baru yang selayaknya disambut dengan syukur dan bahagia. Karena itu, Islam tidak hanya mensyariatkan akad sebagai bentuk sahnya ikatan, tapi juga menganjurkan adanya resepsi atau walimah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah.


Walimah tak sekadar tradisi atau pesta belaka, ia merupakan bentuk syukur atas nikmat pernikahan dan pengumuman ikatan suci agar diketahui masyarakat secara umum. Ia juga menjadi sarana mempererat silaturahmi, berbagi kebahagiaan, dan menjalin kebersamaan antar sesama. Lalu, apa sebenarnya hikmah dari disyariatkannya resepsi ini dalam Islam?


Namun, sebelum melangkah lebih jauh dalam membahas hikmah disyariatkannya resepsi dalam Islam, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan makna dan definisi resepsi itu sendiri sebagaimana dipahami dalam khazanah kitab-kitab turats.


Merujuk penjelasan Syekh Najib al-Muthi’i, walimah berasal dari kata al-walm yang berarti “mengumpulkan”, karena dalam pernikahan dua mempelai dipersatukan. Adapun definisinya, walimah adalah hidangan di waktu pernikahan, atau bisa juga merujuk pada setiap hidangan yang disiapkan untuk menjamu undangan dan sejenisnya. (Takmilatul Majmu’ Syarhil Muhadzab, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid XVI, halaman 393).


Hukum mengadakan resepsi, baik resepsi pernikahan atau yang lainnya adalah dianjurkan (baca: sunnah) yang diajarkan oleh Rasulullah saw, baik melalui ucapan (hadits) maupun perbuatannya. Sebab dalam berbagai kesempatan, Nabi mengadakan walimah dengan hidangan sederhana, seperti roti dari gandum, kurma, minyak samin, dan keju kering. Penjelasan ini sebagaimana disampaikan oleh Syekh Zakaria al-Anshari, dalam kitabnya ia mengatakan:


الْوَلِيْمَةُ لِعُرْسٍ وَغَيْرِهِ سُنَّةٌ لِثُبُوْتِهَا عَنْهُ قَوْلاً وَفِعْلاً، فَقَدْ أَوْلَمَ عَلىَ بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيْرٍ وَعَلىَ صَفِيَّةَ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ وَأَقِطٍ


Artinya, “Walimah, baik untuk pernikahan maupun selainnya, hukumnya sunnah karena telah tetap dari Nabi Muhammad secara ucapan dan perbuatan. Nabi pernah mengadakan walimah untuk sebagian istrinya dengan dua mud gandum, dan untuk Shafiyyah dengan kurma, minyak samin, dan keju kering.” (Fathul Wahab bi Syarhi Manhajit Thullab, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 1418 H], jilid II, halaman 104).


Dengan demikian, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa resepsi pernikahan dalam Islam tidak hanya sekadar adat atau pesta biasa yang tidak memiliki landasan, melainkan anjuran syariat yang tidak hanya bersandar pada hadits-hadits Nabi Muhammad, namun juga pada perbuatan yang dilakukan olehnya. Lantas, apa sebenarnya hikmah dari disyariatkan dan dianjurkannya resepsi ini? Mari kita bahas lebih luas.


Hikmah Disyariatkannya Resepsi atau Walimatul Usry

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, resepsi tidak sekadar jamuan makan atau simbol perayaan belaka. Di dalamnya terdapat hikmah yang tujuannya tidak semata-mata untuk memperkenalkan pasangan baru kepada masyarakat atau sekadar berbagi kebahagiaan saja. Nah, berikut ini beberapa hikmah disyariatkannya resepsi pernikahan dalam Islam.


1. Doa dan Harapan Kebaikan Pasangan

Merujuk penjelasan Imam Ibnu Hajar al-Haitami, dalam kitabnya ia menjelaskan bahwa salah satu hikmah adalah harapan dan doa yang saling dipanjatkan oleh masing-masing pasangan untuk kebaikan satu sama lain. Dalam kitabnya disebutkan,


وَالظَّاهِرُ أَنَّ سِرَّهَا رَجَاءُ صَلَاحِ الزَّوْجَةِ بِبَرَكَتِهَا


Artinya, “Yang tampak adalah bahwa rahasia (hikmah) dari resepsi itu adalah harapan akan kebaikan sang istri melalui keberkahan resepsi.” (Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, [Kuwait: Dar ad-Dhiya, t.t], jilid III, halaman 375).


Dengan demikian, maka hikmah disyariatkannya resepsi dalam pernikahan tidak hanya perihal hadirnya tamu maupun hidangan yang tersaji. Ia adalah harapan dan doa yang dilantunkan dalam bentuk kebahagiaan yang dihidangkan. Ketika walimah diadakan oleh pihak suami, sesungguhnya tersirat harapan akan kebaikan dan keberkahan sang istri dalam mengarungi rumah tangga. Sebaliknya, jika pihak istri yang menyelenggarakan, itu merupakan simbol doa akan keluhuran akhlak suami dalam memimpin dan membimbingnya.


2. Syukur, dan Mempererat Silaturrahmi

Di antara hikmah disyariatkannya walimah menurut Syekh Dr. Musthafa al-Khin, Syekh Dr. Musthafa al-Bugha, dan Syekh Dr. Ali as-Syarbaji adalah sebagai bentuk syukur kepada Allah atas anugerah pernikahan, atas taufik yang menjadikan dua insan dalam ikatan suci. Sehingga dalam resepsi tersebut, orang-orang berkumpul tidak sekadar berbagi hidangan, tetapi merajut tali kasih dan mempererat jalinan persaudaraan. Dengan begini, dapat menciptakan ruang bagi tumbuhnya cinta dan keakraban di tengah masyarakat.


Selain itu, resepsi berfungsi sebagai penegas bahwa pernikahan ini adalah ikatan yang sah dan terbuka, berpindah dari ruang pribadi ke ruang publik. Ia menjadi pembeda nyata antara pernikahan yang sah secara syariat dengan hubungan yang terlarang. Berkaitan dengan penjelasan ini, Syekh Dr. Musthafa al-Khin, dkk, dalam kitabnya mengatakan:


وَحِكْمَةُ تَشْرِيْعِ وَلِيْمَةِ الْعُرْسِ شُكْرُ اللهِ عَلىَ مَا وُفِّقَ بِهِ مِنَ الزَّوَاجِ، وَاجْتِمَاعُ النَّاسِ عَلَيْهِ، حَيْثُ إِنَّ هَذَا الْاِجْتِمَاعَ يَدْعُوْ إِلىَ التَّحَابُبِ وَالتَّآلُفِ. وَإِظْهَارُ الزَّوَاجِ مِنَ السِّرِّيَّةِ إِلىَ الْعَلَنِيَّةِ، لِيَظْهَرَ الْفَرْقُ بَيْنَ النِّكَاحِ الْمَشْرُوْعَ وَالسِّفَاحِ الْمَمْنُوْعِ


Artinya, “Hikmah disyariatkannya walimah pernikahan adalah sebagai bentuk syukur kepada Allah atas taufik-Nya dalam pernikahan, serta berkumpulnya manusia dalam resepsi itu, di mana pertemuan ini mendorong tumbuhnya saling mencintai dan menjalin keakraban. Juga sebagai bentuk penampakan pernikahan dari yang sebelumnya tersembunyi menjadi terang-terangan, agar tampak perbedaan antara pernikahan yang sah secara syariat dan hubungan zina yang terlarang.” (Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus: Darul Qalam, 1992 M], jilid IV, halaman 97).


3. Pengumuman Status Pernikahan

Selain itu, menampakkan merupakan anjuran dalam Islam. Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya memberikan dorongan untuk mengumumkan pernikahan agar diketahui masyarakat luas, memperjelas status pasangan, dan menghindarkan dari prasangka serta fitnah. Rasulullah saw bersabda:


أَعْلِنُوا النِّكَاحَ


Artinya, “Tampakkanlah (umumkanlah) pernikahan.” (HR Al-Baihaqi).


4. Menghindari Prasangka dan Memperjelas Nasab

Merujuk penjelasan Syekhul Islam Zakaria al-Anshari, hadits di atas memiliki makna perintah untuk menampakkan pernikahan yang hukumnya sunnah. Tujuannya agar pernikahan dikenal oleh masyarakat luas, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan dan memastikan kejelasan nasab anak apabila lahir nanti. Dalam kitabnya, ia mengatakan:


وَفِيْهِ الْأَمْرُ بِإِظْهَارِ النِّكَاحِ وَهُوَ سُنَّةٌ لِيَشْتَهِرَ بَيْنَ النَّاسِ، فَيَتَرَتَّب عَلَيْهِ عَدَمُ الرَّيْبَةِ، وَاشْتِهَارُ نَسَبِ الْوَلَدِ إِذَا وُجِدَ


Artinya, “Dalam (hadits) ini terdapat perintah untuk menampakkan pernikahan, dan hal itu hukumnya sunnah agar dikenal oleh masyarakat, sehingga terhindar dari kecurigaan dan jelas nasab anak apabila kelak ada (keturunan).” (Fathul Allam bi Syarhil I’lam bi Ahaditsil Ahkam, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, 2000 M], halaman 515).


Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hikmah disyariatkannya resepsi tidak hanya sebagai bentuk perayaan, tetapi juga sebagai wujud syukur kepada Allah atas taufik pernikahan, sarana menyemai doa dan harapan akan kebaikan pasangan, serta medium untuk mempererat ikatan sosial. Ia juga menjadi penanda sahnya ikatan suci ini di hadapan masyarakat dan membedakannya dari hubungan yang terlarang, serta menepis prasangka dengan memperjelas status dan nasab. Wallahu a’lam bisshawab.


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.