Hikmah

Kisah Bal’am bin Ba’ura: Ketika Ilmu Tak Lagi Menuntun pada Kebenaran

NU Online  ·  Rabu, 16 Juli 2025 | 19:00 WIB

Kisah Bal’am bin Ba’ura: Ketika Ilmu Tak Lagi Menuntun pada Kebenaran

Ilustrasi ilmu. Sumber: Canva/NU Online.

Dalam catatan sejarah umat terdahulu, terdapat satu nama yang dikenal bukan karena keteguhan imannya, melainkan karena kejatuhannya dari derajat yang mulia ke lembah kehinaan. Ia adalah Bal’am bin Ba’ura, seorang alim yang hidup pada masa Nabi Musa a.s. Pernah ia mencapai kedudukan tinggi dan masyhur sebagai sosok yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah.


Namun pada akhirnya, seluruh anugerah dan pengetahuan yang dimilikinya tak lagi berarti. Ia tergelincir ke dalam jurang kesesatan akibat menuruti hawa nafsu. Kisahnya diabadikan dalam Al-Qur’an sebagai peringatan bagi siapa saja yang merasa telah alim dan tinggi derajat spiritualnya. Dalam Q.S. Al-A’raf ayat 175, Allah SWT berfirman:


وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ


Artinya: “Dan bacakanlah kepada mereka (wahai Muhammad) berita tentang orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat." (QS. Al-A’raf [07]: 175).


Mayoritas ahli tafsir berpendapat bahwa ayat dalam Surah Al-A’raf ayat 175 merujuk kepada sosok Bal’am bin Ba’ura. Ia berasal dari klan Balqa’, salah satu cabang dari rumpun Bani Kan’an. Bal’am dikenal sebagai seorang ahli ilmu yang memiliki karomah: setiap doanya dikabulkan. Konon, hal ini disebabkan karena ia mengetahui Ismul A’dzam, nama agung Allah yang apabila digunakan dalam doa akan mengundang ijabah secara langsung. (Fakhruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, [Beirut: Dar Ihyaut Turats ‘Arabi, 1420 H.], juz XV, hal. 403).

 

Syahdan, setelah Nabi Musa a.s. berhasil menyelamatkan Bani Israil dari kejaran Firaun, Allah memerintahkannya untuk menuju wilayah yang dihuni oleh Bani Kan’an, sebuah kaum kafir yang zalim dan tirani. Musa bersama kaumnya ditugaskan untuk memerangi kejahatan dan kemungkaran di negeri tersebut. (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1419 H.], juz III, hal. 457).

 

Di sinilah titik balik kejatuhan Bal’am dimulai. Ketika berita kedatangan Nabi Musa menyebar, para pembesar negeri menjadi gentar. Mereka lalu meminta Bal’am agar mendoakan keburukan atas Musa dan Bani Israil, dengan alasan bahwa jika kaum Musa menguasai negeri mereka, maka penduduk asli akan terusir dan tertindas.

 

"Wahai Bal’am," kata mereka, "Musa bin Imran tengah menuju ke mari bersama kaumnya. Mereka pasti akan membunuh kami, mengusir kami dari rumah-rumah kami, dan menjajah negeri ini!"

 

Bal’am menolak dengan tegas. Ia menjawab, "Celakalah kalian! Musa adalah utusan Allah. Di belakangnya ada malaikat dan orang-orang beriman. Bagaimana mungkin aku mendoakan keburukan terhadapnya?"

 

Namun para pembesar itu tidak menyerah. Mereka terus membujuk Bal’am dengan berbagai rayuan dan janji-janji duniawi. Awalnya Bal’am tetap teguh, sadar bahwa Musa adalah nabi Allah. Tapi setelah digoda dengan harta, kedudukan, dan kekuasaan, akhirnya ia goyah.

 

Singkat cerita, Bal’am naik ke atas bukit dengan niat untuk mendoakan kebinasaan Nabi Musa dan Bani Israil. Namun anehnya, setiap kali hendak melaknat Musa, lidahnya justru berbalik memuji. Bahkan doanya malah berbalik menimpa kaumnya sendiri. Ia berusaha mengubah isi doanya, tetapi tidak mampu.

 

Gagal dengan cara itu, Bal’am mengambil jalan licik. Ia tahu bahwa Allah Swt. membenci perbuatan maksiat, dan menyadari bahwa Bani Israil akan terkena murka jika terjerumus ke dalam dosa. Maka ia pun merancang siasat jahat: menjerumuskan mereka ke dalam perzinaan.

 

Ia meminta kaumnya mengirim seorang wanita cantik yang telah dirias agar tampil memikat. Untuk menutupi niatnya, wanita itu dikirim dengan dalih berdagang.


Rencana itu berhasil. Seorang tokoh Bani Israil bernama Zamra bin Syalum terpikat dan tergoda. Ia melanggar larangan Nabi Musa a.s. dan jatuh ke dalam perangkap dosa yang telah dirancang Bal’am.


Akibat perbuatan itu, Allah menurunkan bencana kepada Bani Israil. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa merekalah yang kemudian ditimpa wabah penyakit Tha’un. Dalam riwayat lain, dikisahkan bahwa Bani Israil tersesat di padang pasir selama 40 tahun. Semua itu diyakini sebagai konsekuensi dari dosa besar yang dimulai oleh kelicikan Bal’am bin Ba’ura. (Muhammad ibnu Jarir at-Thabari, Tarikh at-Thabari, [Beirut, Darut Turats, 1387 H.], juz I, hal. 437–439)


Kisah tentang Bal’am bin Ba’ura banyak ditemukan dalam kitab-kitab tafsir dan sirah. Meski cukup masyhur di kalangan ulama, namun secara keseluruhan kisah ini termasuk ke dalam kategori israiliyat, yaitu kisah-kisah umat terdahulu yang bersumber dari kitab-kitab Bani Israil. Oleh karena itu, kebenaran detail ceritanya tidak bisa dipastikan secara mutlak. Dalam hal ini, Nabi Muhammad Saw. telah memberikan pedoman:


«لا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الكِتَابِ وَلا تُكَذِّبُوهُمْ» وَقُولُوا: {آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا}


Artinya: “Janganlah kalian mempercayai ahli kitab dan jangan pula kalian dustakan, tetapi katakanlah: ‘Kami beriman kepada Allah dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada kami.’” (HR. Bukhari)


Dalam Kitab al-Tafsir wal Mufassirun, Syaikh Muhammad Husain adz-Dzahabi membagi kisah israiliyat ke dalam tiga kategori:

  1. Kisah yang dapat diterima karena didukung oleh dalil syar’i yang sahih.
  2. Kisah yang tertolak karena bertentangan dengan ajaran Islam dan akal sehat.
  3. Kisah yang tidak dapat dipastikan kebenarannya maupun kebatilannya, kisah-kisah semacam inilah yang sering kali dinukil oleh para mufassir klasik sebagai pelengkap penafsiran. (Muhammad Husain adz-Dzahabi, At-Tafsir wal Mufassirun, [Kairo, Maktabah Wahbah, t.th], juz I, hal. 130)


Relevansi Kisah Bal’am bin Ba’ura di Zaman Sekarang

Meskipun detail kisah Bal’am bin Ba’ura tergolong sebagai bagian dari riwayat israiliyat, yang kebenarannya belum dapat dipastikan secara mutlak, namun nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya menyimpan pelajaran penting bagi siapa saja, terutama bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia ilmu, agama, dan dakwah.


Kisah ini mengajarkan bahwa ukuran kemuliaan seseorang bukan terletak pada banyaknya ilmu yang dimiliki, melainkan pada sejauh mana ilmu itu membentuk akhlak, menjaga lisan, dan membimbing hati untuk tetap teguh di atas jalan yang lurus. Ilmu yang tidak dibarengi dengan integritas batin, justru bisa menjadi sebab kehancuran diri.


Di tengah derasnya arus informasi dan kemudahan mengakses pengetahuan agama hari ini, kisah Bal’am tampil sebagai cermin yang sangat relevan. Banyak orang mampu mengutip ayat dan hadis dengan mudah, bahkan menyebarkannya kepada khalayak. Namun, tidak sedikit pula yang akhirnya tergelincir, menjadikan ilmu sebagai alat untuk memuaskan ambisi pribadi, mendulang pengaruh, atau bahkan memecah belah umat.


Karena itu, yang perlu terus dipupuk dalam jiwa bukan hanya semangat belajar, tetapi juga semangat menjaga hati. Hawa nafsu kerap menyusup secara halus—melalui pujian, kekuasaan, atau rasa ingin dipandang—hingga tanpa sadar menodai niat dan menyesatkan langkah.


Kita patut bersyukur atas nikmat ilmu yang Allah karuniakan. Namun lebih dari itu, kita juga harus senantiasa waspada. Sebab ilmu bisa menjadi cahaya yang menerangi perjalanan menuju Allah, namun bisa pula berubah menjadi batu sandungan jika tidak dibarengi dengan keikhlasan, kerendahan hati, dan pengendalian nafsu.


Jangan sampai kita mengulang tragedi Bal’am bin Ba’ura: seorang alim yang pernah begitu dekat dengan Allah, namun akhirnya jatuh terhina karena tunduk pada bisikan hawa nafsu. “Ya Allah, jadikanlah ilmu yang kami pelajari sebagai cahaya yang menuntun kami kepada-Mu, bukan sebagai hijab yang menjauhkan kami dari-Mu. Aamiin.”


Ustadz Muhammad Zainul Mujahid, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.