Hikmah

Makna Hari Arafah: Refleksi Spiritual untuk Membangun Bangsa yang Adil, Damai, dan Bermartabat

NU Online  ·  Kamis, 5 Juni 2025 | 20:00 WIB

Makna Hari Arafah: Refleksi Spiritual untuk Membangun Bangsa yang Adil, Damai, dan Bermartabat

Refleksi Kebangsaan Hari Arafah (freepik)

Hari Arafah, yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah dalam kalender Hijriah, merupakan salah satu hari paling agung dalam tradisi Islam. Jutaan jamaah haji berkumpul di Padang Arafah untuk melaksanakan puncak ibadah haji, yaitu wukuf. Namun, makna Arafah tidak hanya terbatas pada ritualitas haji atau keutamaan ukhrawi (akhirat) semata. Jika dipahami lebih dalam, hari Arafah mengandung pesan besar bagi peradaban dan kemanusiaan, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
 

Makna Arafah

Secara etimologis, kata Arafah berasal dari akar kata Arab “‘arafa – ya‘rifu – ma‘rifah” yang berarti mengetahui, mengenal, atau menyadari. Beberapa ulama menafsirkan bahwa dinamakan Arafah karena:

  1. Tempat pertemuan dan saling mengenal. Menurut riwayat, di sinilah Nabi Adam dan Hawa saling bertemu kembali dan ta‘arafa (saling mengenal) setelah diturunkan dari surga.
  2. Tempat pengakuan dan kesadaran: Di sinilah manusia diajak menyadari hakikat dirinya, bertobat, dan mengenali kembali misinya sebagai khalifah di bumi.
  3. Tempat dikenalkannya agama. Beberapa mufassir menyebut bahwa Arafah adalah tempat Nabi Ibrahim menerima pelajaran dan bimbingan dari Allah dalam mengenali hakikat agama.


 

Secara terminologis, Hari Arafah adalah waktu disyariatkannya ibadah wukuf yang merupakan rukun utama dalam ibadah haji. Wukuf berarti berhenti sejenak untuk merenung, mengingat, memohon ampun, dan memperbaharui tekad hidup serta pengakuan penghambaan diri secara total di hadapan Allah swt.
 

Keutamaan Hari Arafah

Hari Arafah memiliki banyak keutamaan spiritual, di antaranya:

  1. Dosa diampuni. Rasulullah ﷺ bersabda, “Puasa Arafah dapat menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR Muslim).
  2. Hari pembebasan dari neraka. Tidak ada hari yang lebih banyak hamba dibebaskan dari neraka selain Hari Arafah. (HR Muslim).
  3. Hari penyempurnaan agama. Pada hari Arafah turun ayat, “Hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu…” (QS Al-Ma’idah: 3).



Namun pertanyaannya. apakah keutamaan-keutamaan ini hanya untuk kehidupan akhirat? Ataukah mengandung pelajaran duniawi yang bisa membentuk dan masyarakat madani
 

Relevansi Duniawi: Hari Arafah sebagai Refleksi Sosial dan Kebangsaan

Dalam perspektif sosial-politik dan kebangsaan, Hari Arafah bisa menjadi ruang kontemplatif kolektif yang penting bagi umat dan bangsa.


1. Kesadaran Kolektif (Collective Awareness)

Sebagaimana etimologi “Arafah” berarti “menyadari” atau “mengenali”, bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenali jati dirinya. Senada dengan itu, Founding Father, Bung Karno pernah mengatakan: “Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”.

Arafah mengajak bangsa Indonesia untuk mengenali sejarahnya, kekuatan, dan kelemahan dirinya. Tanpa kesadaran ini, maka bangsa akan mudah terombang-ambing oleh propaganda, perpecahan identitas, dan penjajahan ideologis.
 

2. Kesetaraan dan Persatuan

Wukuf di Arafah mengajarkan prinsip egalitarianisme. Raja dan rakyat, pejabat dan petani, semuanya mengenakan pakaian yang sama, berdiri sejajar dalam ibadah. Ini adalah cerminan nilai demokrasi dan keadilan sosial. Dalam konteks kebangsaan, Hari Arafah menjadi pengingat bahwa tak ada superioritas ras, suku, atau status. Yang paling mulia hanyalah yang paling bertakwa dan yang paling berkontribusi bagi kemaslahatan. (QS Al-Hujurat: 13).
 

3. Momentum Perubahan

Arafah adalah titik balik (turning point) spiritual. Manusia diajak memohon ampun dan bertekad memperbaiki diri. Dalam konteks bernegara, ini bisa ditafsirkan sebagai momentum ijtihad kebangsaan — refleksi kolektif atas arah pembangunan, tata kelola pemerintahan, dan peran rakyat dan Pemerintah dalam menjaga moralitas sosial.
 

Hal ini, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ushulun Nidzhamil Ijtima’ fil Islam (Pondasi-Pondasi Dasar Sistem Sosial dalam Islam) karya Syekh Muhammad At-Thahir bin ‘Asyur, kemajuan peradaban suatu bangsa berawal dari reformasi individu. Jika individu baik, maka keluarga akan baik. Jika suatu keluarga yang baik, akan menciptakan lingkungan masyarakat yang baik.

Selanjutnya, jika lingkungan masyarakat sudah baik, kemudian dipimpin oleh orang-orang baik, maka secara otomatis negara itu akan memiliki sistem sosial yang baik, yang akan mewujudkan kesejahteraan dan keadilan serta kemakmuran bagi rakyat. 
 

Dengan demikian, maka hari Arafah menjadi momentum refleksi diri, dan pencarian identitas jati diri. Dalam konteks  berbangsa dan bernegara, hal ini menjadi momentum untuk menyadari pentingnya arti persatuan dan solidaritas sesama anak bangsa.
 

Menurut Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah, solidaritas sosial ('ashabiyah) dan konsep perubahan sosial yang siklis, mulai dari masyarakat nomaden (badawa) hingga masyarakat perkotaan (hadara), saling bahu-membahu menciptakan peradaban yang maju.
 

4. Diplomasi Spiritual

Ribuan bangsa berkumpul di Arafah dalam damai dan penuh pengharapan. Ini bukan hanya ibadah, tetapi juga diplomasi spiritual yang melebihi konferensi internasional manapun. Jika semangat Arafah diinternalisasi, bangsa Indonesia — yang majemuk dan religius — dapat mengedepankan soft power dalam membangun hubungan global yang berlandaskan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan universal.
 

Arafah untuk Indonesia

Hari Arafah adalah panggilan untuk mengenali jati diri, mengakui kesalahan, dan memperbaiki arah. Bukan hanya sebagai pribadi Muslim, tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa. Arafah adalah hari ta’aruf, yaitu saling mengenal, saling mendengar, dan saling memperbaiki dengan tujuan saling bergotong royong sesama anak bangsa demi terwujudnya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur, negara yang damai, adil dan sejahtera sehingga rahmat Tuhan tercurahkan untuk bangsa Indonesia.
 

Sebagaimana Nabi Ibrahim membangun peradaban dengan landasan keimanan dan pengorbanan, maka bangsa Indonesia pun bisa membangun masa depannya jika mampu merenung seperti Ibrahim, berhenti sejenak seperti wukuf, dan bergerak dengan niat yang bersih demi kemaslahatan umat manusia terkhusus bangsa Indonesia. Wallahu a'lam.

 

Dr. H. Ahmad Shaleh Amin, Lc., M.A., Dai Go Global PBNU 2025