Benarkah Kekayaan Bisa Menjamin Kesejahteraan? Ini Pandangan Ibnu Khaldun
NU Online · Selasa, 17 Juni 2025 | 21:00 WIB
Mishbah Khoiruddin Zuhri
Kolomnis
Pada 30 April 2025, Indonesia meraih peringkat tertinggi dalam indeksasi global sebagai negara yang sejahtera secara menyeluruh (flourishing). Flourishing adalah kondisi hidup yang utuh dan sejahtera, mencakup kebahagiaan, kesehatan, makna hidup, karakter, hubungan sosial, dan stabilitas finansial dalam konteks lingkungan yang mendukung. Indonesia meraih skor tertinggi dengan 8,47.
Skor ini mengungguli negara-negara kaya seperti Amerika Serikat (7,18), Jepang (5,93), Jerman (7,10), Australia (7,02), dan Swedia (7,04). Bahkan negara-negara dengan standar hidup tinggi seperti Inggris (6,88) dan Hong Kong (7,17) tidak mampu menandingi skor Indonesia. Temuan ini memperkuat bahwa kesejahteraan sejati tidak semata-mata ditentukan oleh kekayaan materi, tetapi oleh kualitas hidup secara utuh dan bermakna.
Temuan ini membantah anggapan lama bahwa kekayaan materi adalah indikator kesejahteraan. Studi ini memberikan pandangan baru bahwa makna hidup, hubungan sosial, dan partisipasi dalam komunitas agama memiliki pengaruh kuat terhadap kesejahteraan. Pertanyaanya: bagaimana Ulama klasik mendefisikan kesejahteraan dalam konteks masyarakat muslim? Sehingga kita bisa melihat temuan studi ini relevan dengan nilai dan ajaran agama yang membentuk masyarakat Indonesia saat ini.
Ketika Kaya Tak Lagi Menjamin Sejahtera
Temuan di atas merupakan hasil studi dari Global Flourishing Study (GFS). Pertanyaan utama studi ini adalah apa yang membuat hidup seseorang bermakna dan sejahtera secara holistik? Empat institusi bereputasi terlibat dalam studi ini. Antara lain Harvard University, Baylor University, Gallup dan Center for Open Science. Studi ini melibatkan lebih dari 207.000 peserta dari 22 negara selama lima tahun.
Studi GFS menilai kesejahteraan berdasarkan enam aspek: kebahagiaan, kesehatan, makna hidup, karakter, hubungan sosial, dan stabilitas keuangan. Negara berpendapatan menengah seperti Indonesia (8,47), Meksiko (8,19), dan Filipina (8,11) menduduki tiga posisi teratas. Sementara itu, negara-negara berpendapatan tinggi seperti Jepang (5,93), Turki (6,59), dan Inggris Raya (6,88) justru mencatat skor terendah. Faktor utama di negara-negara berkembang adalah hubungan sosial yang baik, rasa memiliki makna hidup, dan aktif terlibat dalam komunitas agama.
Di Indonesia, mereka yang hadir rutin dalam kegiatan komunitas agama memiliki skor kesejahteraan tinggi, dengan capaian 0,28. Sedangkan yang tidak pernah hadir hanya 0,17. Hal ini menunjukkan hubungan positif antara partisipasi dalam kegiatan keagamaan dan kesejahteraan. Meskipun, di Indonesia, selisihnya adalah 0,11 poin. Tidak terlalu besar. Hal yang menarik, di Filipina, selisihnya cukup tinggi, mencapai 0,69 poin. Mereka yang hadir rutin dalam kegiatan agama punya skor kesejahteraan 0,86. Kesejahteraan mereka lebih tinggi daripada yang tidak hadir, hanya 0,17.
Kesejahteraan: Harmoni Sosial dan Spiritualitas
Baca Juga
Doa Sejahtera dan Mandiri usai Jumatan
Menurut Ibnu Khaldun, kesejahteraan merupakan harmoni sosial dan spiritualitas. Ia menyebutnya dengan istilah umran, yang berarti peradaban. Umran adalah kehidupan bersama yang terjalin atas dasar kerja sama (ta‘awun) dan keadilan (‘adl). Keduanya menjadi syarat kelangsungan hidup manusia. Ibnu Khaldun menjelaskan:
وإذا كان التعاون حصل له القوت للغذاء والسلاح للمدافعة، وتمّت حكمة الله في بقائه وحفظ نوعه، فإذن هذا الاجتماع ضروريّ للنّوع الإنسانيّ، وإلّا لم يكمل وجودهم وما أراده الله من اعتمار العالم بهم واستخلافه إيّاهم. وهذا هو معنى العمران الّذي جعلناه موضوعًا لهذا العلم
Artinya, “... dengan kerja sama, manusia memperoleh makanan untuk kelangsungan hidupnya dan senjata untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, sempurnalah hikmah Allah dalam menjaga keberlangsungan hidupnya dan kelestarian jenis manusia. Maka, kehidupan bersama ini merupakan kebutuhan mutlak bagi manusia. Tanpa itu, eksistensi mereka tidak akan sempurna dan tidak akan tercapai maksud Allah untuk membangun dunia melalui mereka dan menjadikan mereka sebagai khalifah. Inilah makna umran yang kami jadikan sebagai pokok bahasan ilmu ini.” (Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, [Beirut, Dar al-Fikr, 1981], jilid I, hlm. 55)
Ibnu Khaldun menggarisbawahi, manusia tidak mampu hidup sendiri. Ia perlu kerja sama untuk memperoleh makanan, senjata, dan perlindungan. Kerja sama ini bertujuan untuk membangun peradaban yang aman, teratur, dan sejahtera. Dalam konteks masyarakat modern, kesejahteraan sosial mencakup terpenuhinya kebutuhan dasar, seperti makanan, keamanan, kesehatan, sistem sosial yang adil dan harmonis. Tanpa kesejahteraan sosial, tujuan Allah dalam menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardh tidak akan terwujud.
Ibnu Khaldun mengutip pandangan Aristoteles tentang kesejahteraan. Aristoteles mengibaratkan kesejahteraan di dunia seperti metafora kebun. Kesejahteraan hanya bisa terwujud bila negara, pemimpin, rakyat, dan keadilan saling menopang. Ia mengutip pandangan Aristoteles dalam bukunya:
العالم بستان سياجه الدّولة، الدّولة سلطان تحيا به السّنّة، السّنّة سياسة يسوسها الملك، الملك نظام يعضده الجند، الجند أعوان يكفلهم المال، المال رزق تجمعه الرّعيّة، الرّعيّة عبيد يكنفهم العدل، العدل مألوف وبه قوام العالم، العالم بستان.
Artinya, “Dunia ini bagaikan kebun, yang pagar pelindungnya adalah negara. Negara adalah kekuasaan yang menghidupkan syariat. Syariat adalah kebijakan yang dijalankan oleh sang raja. Raja adalah sistem yang didukung oleh tentara. Tentara adalah para pembantu yang dijamin kehidupannya oleh harta. Harta adalah rezeki yang dikumpulkan oleh rakyat. Rakyat adalah para hamba yang dilindungi oleh keadilan. Keadilan adalah hal yang akrab dan dengannya dunia menjadi tegak. Dan dunia ini kembali menjadi kebun.” (Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, [Beirut, Dar al-Fikr, 1981], jilid I, hlm. 51)
Kebun menjadi metafora kesejahteraan yang harus dirawat. Negara menjadi pagar yang melindungi kebun itu dari gangguan. Baik dari dalam, maupun luar. Pemimpin merupakan pengatur yang memastikan aturan dijalankan dengan adil.
Tentara menjadi penjaga stabilitas sosial dan keamanan. Hidupnya dijamin oleh harta yang dikumpulkan dari rakyat. Rakyat sendiri menjadi sumber kesejahteraan negara. Karena dari usaha dan kerja mereka, negara mendapat sumber pendanaan.
Namun, kesejahteraan akan tercapai jika dilandasi oleh keadilan. Keadilan menjadi pilar yang menjaga harmoni, keamanan, dan dukungan rakyat, pemimpin, dan negara. Kesejahteraan sosial menjadi capaian kolektif dari kerja sama dan keadilan yang merawat kebun kehidupan ini.
Sementara itu, Al-Mawardi, menggunakan metafora kesuburan (al-khishb) sebagai simbol kesejahteraan. Menurutnya, kesejahteraan bukan hanya kemakmuran material, tetapi juga suasana yang menenangkan dan menumbuhkan solidaritas sosial. Ia menulis dalam Adabud Dunya wad Din:
وَأَمَّا الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ: فَهِيَ خِصْبُ دَارٍ تَتَّسِعُ النُّفُوسُ بِهِ فِي الْأَحْوَالِ وَتَشْتَرِكُ فِيهِ ذُو الْإِكْثَارِ وَالْإِقْلَالِ، فَيَقِلُّ فِي النَّاسِ الْحَسَدُ، وَيَنْتَفِي عَنْهُمْ تَبَاغُضُ الْعَدَمِ، وَتَتَّسِعُ النُّفُوسُ فِي التَّوَسُّعِ، وَتُكْثِرُ الْمُوَاسَاةَ وَالتَّوَاصُلَ، وَذَلِكَ مِنْ أَقْوَى الدَّوَاعِي لِصَلَاحِ الدُّنْيَا وَانْتِظَامِ أَحْوَالِهَا، وَلِأَنَّ الْخِصْبَ يَئُولُ إلَى الْغِنَى وَالْغِنَى يُورِثُ الْأَمَانَةَ وَالسَّخَاءَ.
Artinya, “Adapun kaidah kelima: yaitu kesuburan (kesejahteraan) suatu negeri yang membuat jiwa-jiwa menjadi lapang dalam berbagai keadaan, di mana yang banyak memiliki maupun yang sedikit sama-sama memperoleh bagiannya. Maka, kedengkian pun berkurang di antara manusia, kebencian karena kekurangan lenyap, jiwa-jiwa menjadi lebih lapang untuk berbagi, dan semakin banyak sikap saling membantu serta hubungan sosial yang erat. Hal ini termasuk salah satu pendorong terbesar bagi kebaikan dunia dan keteraturan urusannya. Karena kesejahteraan akan berujung pada kekayaan, dan kekayaan akan melahirkan amanah dan kemurahan hati.” (Al-Mawardi, Adabud Dunya wad Din, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1978], hlm. 120–121)
Al-Mawardi menunjukkan bahwa kesejahteraan dalam suatu masyarakat bukan sekadar tentang kemakmuran ekonomi, tapi juga bagaimana orang saling terhubung dan merasa nyaman. Kalau semua orang, tanpa memandang kaya atau miskin, bisa merasakan manfaat kesejahteraan bersama, maka ketimpangan sosial akan menurun. Orang jadi lebih terbuka dan lebih peduli terhadap orang lain.
Kondisi ini akan membangun harmoni sosial. Kebersamaan dan kerja sama menjadi pilarnya. Setiap orang merasa aman untuk saling mendukung. Kesejahteraan akhirnya menjadi fondasi untuk hubungan sosial yang kuat. Kesejahteraan berperan penting dalam menciptakan masyarakat yang rukun, adil, dan saling menguatkan satu sama lain.
Islam Membangun Kesejahteraan
Lantas, bagaimana nilai dan ajaran Islam di atas berperan dalam membentuk kesejahteraan masyarakat Indonesia? Apakah nilai-nilai tersebut sekadar ajaran normatif, atau menjadi praktik sehari-hari?
Pertama, nilai kerja sama (ta‘awun). Nilai ini menanamkan semangat gotong royong yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Nilai ini membuat orang peduli, mau saling membantu, dan merasa nyaman hidup bersama. Masyarakat hidup secara kolektif, bukan individualis.
Kedua, Islam menekankan pentingnya keadilan (‘adl) dan saling menghargai. Prinsip ini mendorong orang untuk tidak hanya mengejar keuntungan pribadi, tetapi juga menjaga kepentingan bersama. Al-Mawardi menekankan kesejahteraan sebagai “kesuburan” yang menenangkan jiwa dan menumbuhkan solidaritas. Prinsip keadilan ini menjadi fondasi yang menjaga keseimbangan dan harmoni sosial.
Ketiga, makna hidup yang kuat. Ajaran Islam yang menekankan tujuan hidup dan rasa syukur membantu orang merasa hidupnya lebih berarti. Seperti ditunjukkan oleh data GFS, masyarakat Indonesia yang aktif dalam komunitas agama cenderung merasa lebih sejahtera. Kesejahteraan yang mendamaikan itu tidak selalu bersifat duniawi, tapi hidup yang dibangun atas semangat memperoleh keberkahan duniawi dan ukhrawi. Bukan sekedar kaya, tapi kaya yang menjadikan hidup lebih bermakna: lahir dan batin.
Mishbah Khoiruddin Zuhri, Alumni Kelas Menulis Keislaman NU Online 2025 dan Mahasiswa Fakultas Studi Islam, Universitas Islam Internasional Indonesia.
Terpopuler
1
40 Hari Wafat Gus Alam, KH Said Aqil Siroj: Pesantren Harus Tetap Hidup!
2
Mendaki Puncak Jabal Nur, Napak Tilas Kanjeng Nabi di Gua Hira
3
Waktu Terbaik untuk Resepsi Pernikahan menurut Islam
4
Mulai Agustus, PBNU dan BGN Realisasikan Program MBG di Pesantren
5
Terima Dubes Afghanistan, PBNU Siap Beri Beasiswa bagi Mahasiswa yang Ingin Studi di Indonesia
6
Eskalasi Konflik Iran-Israel, Saling Serang Titik Vital di Berbagai Wilayah
Terkini
Lihat Semua