Hikmah

Kisah Nabi Ayub dan Kesabarannya

Sel, 28 Januari 2020 | 16:00 WIB

Kisah Nabi Ayub dan Kesabarannya

Kisah Nabi Ayub adalah cerita tentang kesabaran menghadapi ujian panjang berupa penyakit, harta, istri, anak, orang-orang terkasih.

Nabi Ayub ‘alaihissalam adalah seorang hamba yang saleh sekaligus nabi yang terkenal kesabarannya. Kisahnya banyak dimuat sebagai penghibur, pelipur, dan pembakar semangat orang-orang yang sedang ditimpa ujian.

 

Mulanya Nabi Ayub ‘alaihissalam seorang yang sehat walafiat tak kurang suatu apa pun. Namun kemudian Allah menurunkan ujian penyakit kepadanya. Beliau juga seorang yang kaya raya. Kemudian Allah mengujinya dengan kefakiran. Beliau memiliki keluarga dan banyak keturunan. Kemudian Allah mengambil semuanya kecuali istri dan dua orang saudaranya. Meski melewati sederet ujian panjang, beliau tetap bersabar, tetap tegar, tak pernah mengeluh, tak pernah resah dan gelisah, apalagi gundah dan marah, hingga Allah kembali memberikan jalan kesembuhan atas penyakit yang dideritanya, mengembalikan semua harta dan anak-anaknya, dan mengeluarkannya dari berbagai kemelut serta keterpurukan.

 

Berapa lamakah Nabi Ayub ‘alaihissalam bersabar menghadapi ujian? Salah satu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik, sebagaimana disebutkan Abu Ya‘la dan Abu Nu‘aim, mengisahkan:

 

إِنَّ نَبِيَّ اللهِ أَيُّوبَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِثَ فِي بَلائِهِ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ سَنَةً فَرَفَضَهُ الْقَرِيبُ وَالْبَعِيدُ إلاَّ رَجُلَيْنِ مِنْ إِخْوَانِهِ كَانَا مِنْ أَخَصِّ إِخْوَانِهِ كَانَا يَغْدُوَانِ إِلَيْهِ وَيَرُوحَانِ

 

Artinya, “Sesungguhnya Nabiyullah Ayub alaihissalam berada dalam ujiannya selama delapan belas tahun. Baik keluarga dekat maupun keluarga jauh menolaknya kecuali dua orang laki-laki dari saudara-saudaranya. Kedua saudara itulah yang selalu memberinya makan dan menemuinya.”

 

Allah berkehendak menurunkan ujian kepada hamba-Nya. Dia mendatangkan ujian penyakit dan menarik karunia harta dan keturunan yang telah diberikan pada Ayub ‘alaihissalam. Lenyaplah berbagai kenikmatan yang semula diterimanya. Menjauhlah semua keluarganya, baik yang jauh maupun yang dekat. Yang tersisa hanya istri dan dua orang saudara terdekatnya. Merekalah yang selalu menemui dan mengirimi makanan.

 

 

Bila hendak buang hajat, Nabi Ayub selalu dituntun sang istri karena badannya yang terlalu lemah. Setelahnya, sang istri kembali menuntun dan menempatkannya ke tempat semula.

 

Pernah suatu ketika, istri Ayub ‘alaihissalam terlambat pulang dan membuat sang suami marah. Sebagian riwayat menyebutkan, ada perbuatan lain dari istrinya yang membuat Ayub kesal dan tak berkenan. Akhirnya, Nabi Ayub bernazar. Nazarnya adalah, jika sudah sembuh, dirinya akan mencambuk sang istri sebanyak seratus kali. Namun begitu sembuh, Nabi ‘alaihissalam tak kuasa memukul sang istri yang telah setia dan bersabar merawat serta mengurus dirinya.

 

Walau demikian, hati Sang Nabi tetap merasa berat karena belum memenuhi nazarnya. Maka Allah memberikan kemudahan dan jalan keluar kepadanya. Dia memerintahkan untuk mengambil seikat jerami gandum atau jewawut, lalu dipukulkan satu kali kepada istrinya. Dengan begitu, Ayub ‘alaihissalam dianggap sudah memenuhi nazarnya, sekaligus tidak membahayakan istrinya. Kisah nazar Ayub ‘alaihissalam tersebut diabadikan dalam Al-Quran, “Dan ambillah dengan tanganmu seikat (jerami), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya), (Q.S. Shâd [38]: 44).

 

Berdasarkan ayat di atas, Imam Ahmad membolehkan untuk menjatuhkan hukuman cambuk seperti kepada orang yang zina bukan muhshan atau orang yang menuduh zina, dengan cambukan seperti yang dilakukan Nabi Ayub ‘alaihissalam, terlebih jika orang yang dicambuknya sedang sakit dan dikhawatirkan akan meninggal. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah memerintah para sahabatnya untuk mencambuk seorang lelaki yang sakit dan berzina, dengan pelepah kurma yang memiliki seratus lidi, sebanyak satu kali cambukan. (Ibnu al-Qayyim, Ighâtsah al-Lahfân, jilid 2, hal. 98).

 

Pada hari Nabi Ayub berdoa kepada Allah, sang istri kembali terlambat pulang. Di saat yang sama, Allah menurunkan wahyu untuk menghentakkan kakinya yang lemah ke tanah. Tiba-tiba dari tempat kakinya, muncullah sumur air. Kemudian, Allah memerintahnya mandi dan meminum air tersebut. Kisah kesembuhannya itu dilansir dalam Al-Quran, Dan ingatlah kepada hamba Kami Ayyub ketika menyeru Tuhan-nya, “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (Allah berfirman), “Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum.” Dan Kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran, (Q.S. Shâd [38]: 41-43).

 

Pada ayat lain, Al-Quran mengisahkan, Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah, (Q.S. al-Anbiyâ’ [21]: 83-84).

 

Saat itu pula berbagai penyakit yang meletak di tubuhnya hilang. Kehidupan dan kesembuhannya kembali kepadanya. Kesehatan dan keselamatannya datang seperti sedia kala.

 

Kali ini Nabi Ayub ditemui istrinya dalam keadaan sehat walafiat. Seakan-akan beliau tak pernah sakit lama. Bahkan sang istri nyaris tidak mengenalinya. Ia benar-benar tidak menduga suaminya sehat dalam waktu yang begitu singkat. Tak terbayangkan bagaimana senang dan bahagianya perasaan sang istri saat mengetahui bahwa Allah mengembalikan nikmat dan kesembuhan kepada suaminya.

 

Selain mengembalikan kesembuhan kepada Ayub ‘alaihissalam, Allah juga mengembalikan kekayaannya yang pernah hilang, mengganti anak-anaknya, dan mengirimkan dua awan. Kedua awan itu kemudian turun kepada Ayub. Yang satu menaungi gundukan gandum, yang satu lagi menaungi gundukan jewawut. Tiba-tiba, dari awan yang menutupi gundukan gandum keluarlah emas, sedangkan dari awan yang menutupi gundukan jewawut keluarlah perak.

 

]Dalam hadits riwayat al-Bukhari dan al-Nasa’i dari Abu Hurairah, konon pengganti kekayaan Nabi Ayub ‘alaihissalam datang dari segerombolan belalang emas. hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tatkala Ayub mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba datang segerombolan belalang dari emas. Dia lalu mengumpulkannya dalam pakaian. Terdengar Allah menyeru kepadanya, ‘Wahai Ayub, bukankah Aku telah mencukupkanmu dari apa yang engkau lihat?’ Ayub menjawab, ‘Benar, tetapi aku tidak pernah puas dari limpahan berkah-Mu.’” (Lihat: Jâmi‘ al-Ushûl, jilid 8, hal. 251).

 

Dari kisah di atas, dapat dipetik beberapa pelajaran, di antaranya:

 

  1. Kisah di atas menunjukkan keutamaan Nabi Ayub ‘alaihissalam, terutama dalam kesabarannya menghadapi ujian panjang berupa penyakit, harta, istri, anak, orang-orang terkasih.
  2. Allah mahakuasa atas segala sesuatu, termasuk menyembuhkan penyakit, memberikan kekayaan, memberikan rezeki dari jalan yang tak terbayangkan pikiran manusia.
  3. Kesabaran selalu membuahkan kebaikan yang tak terkira, baik di dunia maupun di akhirat.
  4. Selalu ada kemudahan bagi hamba Allah yang bertakwa dan bersabar. Contohnya kemudahan bagi Nabi Ayub ‘alaihissalam dalam menunaikan nazar.
  5. Saat menghadapi ujian atau kesulitan seseorang diperbolehkan bernazar. Namun, dengan nazar yang tidak keluar dari ketentuan syariat.

 

Demikian serpihan kisah Nabi Ayub ‘alaihissalam, imam orang-orang yang bersabar, yang disarikan dari kitab Shahih al-Qashash al-Nabawi yang disusun Umar Sulaiman al-Asyqar (Oman: Darun Nafais, 1997, Cetakan Pertama, hal. 157). Wallahu a’lam.

 

 

Penulis: M. Tatam Wijaya

Editor: Mahbib