Hikmah

Kisah Imam Ibnu al-Munkadir Mengeraskan Suara Dzikirnya

Rab, 22 Januari 2020 | 01:00 WIB

Kisah Imam Ibnu al-Munkadir Mengeraskan Suara Dzikirnya

Bagaimanakah cara kita mensyukuri nikmat Allah selama ini? (Foto ilustrasi: NU Online/Suwitno)

Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Imam Abu Na’im al-Ashbahânî (330-430 H), mencatat sebuah riwayat yang menceritakan Imam Ibnu al-Munkadir berdzikir dengan suara keras. Berikut riwayatnya:

 

حدثنا أبو محمد بن أحمد الجرجاني، ثنا عبد الله بن محمد بن عبد العزيز، ثنا محمد بن عباد، ثنا سفيان، حدثني المنكدر، قال: كان محمد يقوم من الليل فيتوضأ، ثم يدعو، فيحمد الله عز وجل ويثني عليه ويشكره، ثم يرفع صوته بالذكر، فقيل له: لِمَ ترفع صوتك؟ قال: إن لي جارًا يشتكي يرفع صوته بالوجع، وأنا أرفع صوتي بالنعمة

 

Abu Muhammad bin Ahmad al-Jurjani bercerita, Abdullah bin Muhammad bin Abdul Aziz bercerita, Muhammad bin ‘Ibad bercerita, Sufyan bercerita, al-Munkadir bercerita kepadaku, ia berkata:

 

“(Suatu ketika) Muhammad (bin al-Munkadir) bangun di malam hari, ia berwudhu lalu berdoa, memuji Allah Azza wa Jalla, memuliakan-Nya dan bersyukur kepada-Nya, kemudian mengeraskan suaranya dengan dzikir.”

 

Ia ditanya: “Kenapa kau mengeraskan suaramu?”

 

Ia menjawab: “Sesungguhnya aku memiliki tetangga yang (suka) mengeluh, ia mengeraskan suara (keluhan)nya sebab penderitaan, sedangkan aku mengeraskan suaraku sebab nikmat” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 427)

 

****

 

Sebelum menguraikan lebih jauh, kita perlu ingat terlebih dahulu, bahwa semua orang pasti pernah mengalami musibah, penderitaan, dan kekecewaan, siapapun dia, baik anak raja, maupun anak orang bisa. Tak terkecuali Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir (w. 130 H), seorang tabi’in yang mendengar hadits secara langsung dari Sayyidina Jabir bin Abdullah, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidina Abdullah bin Umar, Sayyidina Anas bin Malik, dan lain sebagainya. Ia juga pernah mengalami musibah dan ujian.

 

Perbedaannya adalah, Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir memandangnya sebagai nikmat, sedangkan kebanyakan kita memandangnya sebagai musibah. Itulah hikmah terpenting yang harus kita ambil dari kisah di atas. Bagi orang-orang tertentu, mereka akan bersyukur ketika diberi cobaan. Salah seorang sufi mengatakan, “wa in ashâbanâ syarrun syakarnâ(dan jika keburukan menimpa kami, maka kami akan mensyukurinya). (Syekh Mutawalli Sya’rawi, Tafsîr al-Sya’râwî, juz 16, h. 9729)

 

Melihat sikap Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir dan ulama-ulama lainnya, kita seperti digiring untuk memahami musibah sebagai madrasah, semacam pendidikan praktis dalam mengamalkan agama yang mendewasakan jiwa kita. Tanpa musibah dan cobaan, mungkin pemahaman kita terhadap kebaikan hanya sekedar teori. Kita tidak akan mengerti pentingnya berbagi tanpa pernah dalam kekurangan. Kita tidak akan memahami manfaat bersabar tanpa pernah dihadapkan dengan cobaan, dan begitu seterusnya.

 

Di sisi lain, kisah di atas mengajarkan kepada kita, bahwa berdzikir dengan suara keras sudah dilakukan sedari dulu oleh kalangan tabi’in, sebagai perwujudan syukur atas nikmat yang Allah berikan. Dalam riwayat lain, Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir mengatakan:

 

يرفع صوته بالبلاء وأرفع صوتي بالنعمة

 

“Ia (tetanggaku) mengeraskan suaranya sebab (mengeluhkan) musibah, sedangkan aku mengeraskan suaraku sebab (mensyukuri) nikmat.” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 427)

 

Penjelasan sederhananya adalah, daripada membuang-buang suara untuk mengeluhkan musibah (balâ) lebih baik menggunakannya untuk mensyukuri nikmat. Atau, jika musibah saja dikeluhkan dengan suara keras, kenapa nikmat tidak didzikirkan dengan suara keras.

 

Jadi, berdzikir dengan suara keras, jika niatnya baik, tidak lain adalah bentuk syukur kepada Allah, seperti yang dilakukan oleh sayyidul qurrâ (tuannya para ahli qira’ah), julukan yang diberikan Imam Malik bin Anas untuk Muhammad bin al-Munkadir (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 427).

 

Mensyukuri nikmat Allah dengan berdzikir merupakan langkah awal, karena Sayyidina Muhammad bin al-Munkadir tidak berhenti sampai di sini. Ia gemar mensyukuri nikmat Allah dengan memberi manfaat untuk sekitarnya. Imam Abu Ma’syar mengatakan, na sayyidân yuth’imuth tha’âm(ia seorang tuan yang gemar memberi makan) (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 429).

 

Pertanyaannya, bagaimanakah cara kita mensyukuri nikmat Tuhan selama ini?

 

Wallahu a’lam bish shawwab...

 

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen