Hikmah

Tiga Nasihat Sayyidina Ali Zainal Abidin kepada Anaknya

Sel, 14 Januari 2020 | 05:00 WIB

Tiga Nasihat Sayyidina Ali Zainal Abidin kepada Anaknya

Yang menarik, bahasa yang digunakan bukan, “tetapilah hak-hakmu dan laksanakanlah keadilan,” tapi, “janganlah kau melanggar atau menghalangi.”

Dalam kitab Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Imam Abu Na’im al-Ashbahânî (330-430 H) mencatat sebuah riwayat tentang nasihat Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib kepada anaknya. Berikut riwayatnya:

 

حدّثنا سليمان بن أحمد، قال: ثنا يحي بن زكريا الغلابي، قال: ثنا العتبي، قال: حدثني أبي، قال: قال علي بن الحسين-وكان من أفضل بني هاشم-لابنه: يا بني، اصبر علي النوائب ولا تتعرض للحقوق، ولا تجب أخاك إلي الأمر الذي مضرته عليك أكثر من منفعته له

 

Sulaiman bin Ahmad bercerita, ia berkata: Yahya bin Zakariya al-Ghalabi bercerita, ia berkata: al-‘Utbi bercerita, ia berkata: ayahku bercerita kepadaku, ia berkata:

 

(Sayyidina) Ali bin al-Husein—ia adalah salah satu Bani Hasyim terbaik—berkata kepada anaknya:

 

“Wahai anakku, bersabarlah terhadap malapetaka. Janganlah kau melanggar hak-hak (atau menghalangi terlaksananya keadilan), dan jangan mendorong saudaramu kepada sesuatu yang (nilai) mudaratnya untukmu lebih banyak daripada (nilai) manfaatnya untuknya” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, Kairo: Dar al-Hadits, 2009, juz 2, h. 419).

 

****

 

Untuk mempermudah memahaminya, nasihat Sayyidina Ali Zainal Abidin kepada anaknya akan dijelaskan dalam tiga kategori. Pertama, sabar atas malapateka. Kedua, larangan melanggar hak dan keadilan. Dan, ketiga, mencegah kemudaratan harus didahulukan dari meraih kemanfaatan.

 

Pertama, Sayyidina Ali Zainal Abidin mengatakan, “Wahai anakku, bersabarlah terhadap malapetaka.” Nasihat ini penting karena tidak sedikit manusia yang terjerumus dalam kesalahan ketika musibah mendatanginya. Musibah atau malapetaka, seringkali menempatkan manusia dalam kemarahan, mencari kambing hitam dan penuh kebencian. Padahal, jika kita dalami kehidupan kita, kita akan dapati ketidak-adilan penilaian terhadap hidup kita sendiri.

 

Kita cenderung lupa akan banyaknya tawa yang kita nikmati, senyum yang kita sukai, kebahagiaan yang kita rasai, kenyamanan yang kita diami, ketika satu musibah terjadi. Tentu, ini sangat manusiawi. Sistem kejiwaan manusia memang berpeluang bergerak ke arah itu, tapi, di sisi lain, sistem kejiwaan manusia juga memiliki potensi ke arah yang lain. Artinya, manusia memiliki pilihan dalam mengarahkan potensi jiwanya.

 

Contoh yang paling mudah untuk menggambarkan ini adalah peristiwa yang menimpa Sayyidina Ali Zainal Abidin. Kita tahu, ia adalah satu-satunya anak laki-laki Sayyidina Husein yang selamat dari pembantaian Karbala. Ia menyaksikan ayah dan seluruh keluarganya dibantai dengan kejam. Kesedihan tentu ia rasakan, tapi tidak membuatnya menyalahkan Tuhan, dan menuntut balas dengan menumpahkan darah.

 

Dalam sebuah riwayat diceritakan, suatu hari ketika ia sedang mengajar, ia mendengar suara kesedihan dari rumahnya. Ia beranjak dari majlisnya dan masuk ke dalam rumahnya. Beberapa saat kemudian ia kembali ke majlisnya untuk meneruskan pelajaran. Seorang dari muridnya bertanya, “apakah itu kabar kematian?” Sayyidina Ali Zainal Abidin menjawab, “iya.” Orang-orang pun terkejut dan kagum atas kesabaran Sayyidina Ali Zainal Abidin. Di saat salah seorang anggota keluarganya meninggal, ia masih melanjutkan majlisnya seperti tidak terjadi apa-apa. Ia berkata:

 

إنا أهل بيت نطيع الله فيما نحب ونحمده فيما نكره

 

“Sesungguhnya kami (kalangan) ahlu bait mentaati Allah dalam hal yang kami sukai, dan memuji-Nya dalam hal yang kami tidak sukai” (Imam Abu Na’im al-Ashbahânî, Hilyah al-Auliyâ wa Thabaqat al-Ashfiyâ’, 2009, juz 2, h. 419).

 

Kedua, Sayyidina Ali Zainal Abidin mengatakan, “wahai anakku, janganlah kau melanggar hak atau menghalangi terlaksananya keadilan.” Hak di sini adalah pemenuhan tanggung jawab seorang hamba. Setiap hamba harus menetapi hak dan kewajibannya, baik kepada Allah, misalnya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, maupun kepada sesama manusia, seperti tidak menganggu tetangga, tidak mengambil barang milik orang lain, dan lain sebagainya.

 

Menariknya, bahasa yang digunakan bukan, “tetapilah hak-hakmu dan laksanakanlah keadilan,” tapi, “janganlah kau melanggar atau menghalangi.” Artinya, Sayyidina Ali Zainal Abidin sedang memberi batasan terendah bagi kita, karena menetapi semua hak secara sempurna bukan pekerjaan mudah bagi manusia. Dengan demikian, ia memberikan batasan terendah, yaitu selama kita tidak melanggar hak dan keadilan, kita sudah dipandang cukup baik sebagai manusia, apalagi jika kita mampu menetapi semuanya.

 

Ketiga, Sayyidina Ali Zainal Abidin mengatakan, “wahai anakku, jangan dorong saudaramu kepada sesuatu yang nilai mudaratnya untukmu lebih banyak daripada nilai manfaatnya untuknya.”

 

Nasihat ketiga ini, mengandung makna yang sangat dalam. Kata “mudarat” disandingkan langsung dengan kata “manfaat”. Kata mudarat ditujukan ke “wahai anakku”, sedangkan kata “manfaat” ditujukan ke “nya/saudara”, sehingga membangun susunan kalimat, “Jangan dorong saudaramu pada sesuatu yang nilai kemudaratannya untukmu lebih banyak dari nilai manfaatnya untuknya.”

 

Artinya, kita dilarang meminta sahabat kita atau manusia lainnya untuk melakukan sesuatu yang nilai mudaratnya lebih besar untuk kita daripada nilai kemanfaatan untuknya. Sebab, jika permintaan yang kita ajukan mengandung kemudaratan untuk kita, kita dan teman kita sama-sama berdosa. Bahkan mungkin dosa kita sebagai peminta lebih besar, karena membuat orang lain berdosa dan kita sendiri terkena kemudaratan itu.

 

Contohnya, misal kita mendorong sahabat kita untuk melakukan keburukan. Kita berada di kemudaratan yang lebih besar darinya karena berperan sebagai inisiator. Sahabat kita pun tidak mendapatkan manfaat karena ia terlibat dalam perbuatan buruk tersebut. Nasihat ketiga ini, sangat sesuai dengan kaidah, “dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbil mashâlih” (menolak kemudaratan [harus] didahulukan atas mendapatkan maslahat/manfaat).

 

Dengan demikian, kita harus tanamkan dalam diri kita, bahwa segala amal akan kembali kepada kita. Jika kebaikan yang kita sebarkan, kita akan mendapatkan percikan kebaikan. Jika keburukan yang kita sebarkan, kita akan mendapatkan kotoran keburukan. Maka, penting sekali menasihati diri sendiri sebelum menasihati orang lain; menjaga diri sendiri sebelum menjaga orang lain, agar saudara dan sahabat kita terselamatkan dari kecerobohan kita.

 

Wallahu a’lam bish shawwab....

 

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen