Hikmah

Lalla Zainab, Mursyid Perempuan yang Melawan Intervensi Prancis

Selasa, 21 Januari 2020 | 01:00 WIB

Lalla Zainab, Mursyid Perempuan yang Melawan Intervensi Prancis

Langkah Zainab mengusik kolonial Prancis. Untuk menjatuhkan pengaruhnya, mereka mendiskreditkan jenis kelaminnya (wanita).

Nama lengkapnya adalah Zainab binti Abu Abdillah Muhammad bin Abu al-Qasim al-Qasimi. Lahir di Hamil, Aljazair tahun 1850 dan wafat 19 Desember 1904. Oleh sebagian orang Aljazair, khususnya yang berasal dari Hamil, ia dipandang sebagai seorang wali, dan pewaris kemursyidan thariqah Rahmaniyyah ayahnya, Syekh Muhammad al-Qasimi (1824-1897 M).

 

“Lalla” atau “Maoulay” (tuan/puan) merupakan panggilan kehormatan untuk keturunan Nabi Muhammad atau bangsawan di wilayah Afrika Utara. Zainab al-Qasimi sendiri masih keturunan Rasulullah. Ia seorang syarifah yang sejak kecil dididik langsung oleh ayahnya secara intensif.

 

Dalam The Oxford Dictionary of Islam, Lalla Zainab binti Abu Abdillah Muhammad digambarkan dengan kalimat:

 

Algerian female saint and head of Rahmania Sufi zawiyah. Opposed to French colonial order. Took vow of celibacy, which gave her spiritual authority, freedom of movement, social empowerment, and the opportunity to devote herself completely to the care of the indigent, overseeing the zawiyah's social services, and promoting the mission of cultural redemption.”

 

“Wali perempuan Alzajair dan pemimpin Zawiyah Sufi Rahmaniyyah. Menentang pemerintah kolonial Prancis. Mengambil sumpah selibat (tidak menikah), yang memberinya otoritas spiritual, kebebasan pergerakan, pemberdayaan sosial, dan kesempatan untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk merawat orang-orang yang tidak mampu (fakir), mengurus layanan sosial zawiyah, dan mempromosikan misi penyelamatan budaya” (John L. Esposito (ed.,), The Oxford Dictionary of Islam, Oxford: Oxford University Press, 2003, h. 179).

 

Ketika ayahnya wafat, terjadi perebutan suksesi pemimpin Thariqah Rahmaniyyah, yang secara umum sering disebut Zawiyah al-Hamil. Pengaruh zawiyah ini sangat luar biasa di daerah Hamil, hampir seperti kerajaan lokal. Sepupunya yang bernama Muhammad bin al-Hajj, qadli Bu Sa’ada, menyatakan diri sebagai penerusnya. Muhammad memimpin beberapa pengikutnya dari Bu Sa’ad (12 km dari Hamil) menuju Zawiyah al-Hamil untuk menegaskan klaimnya. Lalla Zaynab menolak klaim sepupunya dengan keras, dan enggan mengakui otoritas spiritual dan moral sepupunya (Julia A. Calncy-Smith, Rebel and Saint: Muslim Notables, Populist Protest, Colonial Encounters; Algeria and Tunisia, 1800-1904, Berkeley: University of California Press, 1997, h. 236).

 

Penolakannya berdasarkan pada dua hal. Pertama, banyak orang yang menganggap sepupunya sebagai kurang layak dan terlalu duniawi, sehingga tidak pantas menggantikan ayahnya. Lalla Zainab khawatir ketertarikan berlebihan sepupunya ke hal-hal tersebut dapat membahayakan pelayanan sosial zawiyah dan misi budayanya. Kedua, Zainab menolak surat nominasi (pengangkatan) yang dinilainya tidak asli, sebab diambil oleh Kapten Crochard (Prancis) dari ayahnya sebelum kematiannya. (Julia A. Calncy-Smith, Rebel and Saint: Muslim Notables, Populist Protest, Colonial Encounters; Algeria and Tunisia, 1800-1904, 1997, h. 236)

 

Tindakan Zainab membuat pihak kolonial Prancis tidak nyaman. Dipimpin oleh Kapten Crochard, pemerintah kolonial berupaya untuk mencopotnya dari posisinya. Salah satu senjata yang digunakan adalah mendiskreditkan jenis kelaminnya (wanita) (Meena Sharify-Funk, William Rory Dickson, Merin Shobhana Xavier, Contemporary Sufis: Piety, Politics, and Popular Culture, Routladge, 2018). Julia A. Calncy-Smith menulis:

 

It was rather local colonial officials who argued most vehemently against Lalla Zaynab in 1897 solely because she was of the weaker sex.”

 

“Pejabat kolonial setempatlah yang paling ngotot menentang Lalla Zainab pada tahun 1897, hanya karena ia dari jenis kelamin yang lebih lemah (wanita)” (Julia A. Calncy-Smith, Rebel and Saint: Muslim Notables, Populist Protest, Colonial Encounters; Algeria and Tunisia, 1800-1904, 1997, h. 237).

 

Namun, penganut Thariqah Rahmaniyyah sebagian besar tidak mempersoalkan itu. Dari segi kualitas keilmuan dan spiritual, Zainab dipandang paling mendekati Syekh Abu Abdillah Muhammad.

 

Dan ternyata, Lalla Zainab menampakkan keberanian luar biasa. Dengan berani ia menyebut surat pengangkatan Muhammad bin al-Hajj Muhammad tidak asli, karena didapatkan dari Kapten Crochard (pejabat kolonial Prancis). Hal ini membuat pemerintah kolonial Prancis terkejut. Rencana intervensi Prancis terhadap kegiatan pendidikan Zawiyah menjadi sulit karena penolakan Lalla Zainab untuk mengakui otoritas sepupunya, Muhammad bin al-Hajj Muhammad. Karena jauh sebelum itu, pejabat kolonial Prancis memandang pendidikan Islam sebagai ancaman, bahkan mungkin bisa mengarah pada pembrontakan. Atas alasan ini, undang-undang yang mengatur sekolah swasta Islam diterapkan dari tahun 1880-an, dengan tujuan mengawasi secara ketat pendidikan Islam untuk menekan akar utama kebudayaan dan peradaban Afrika Utara, yaitu thariqah (Julia A. Calncy-Smith, 1997: 237).

 

Perlawanan Lalla Zainab juga membuat perwira militer dari Bu Sa’adah geram, karena mereka sebelumnya meyakini bahwa Muhammad bin al-Hajj Muhammad akan mengambil alih Zawiyah al-Hamil tanpa perlawanan. Rencana Prancis pun menjadi berantakan. Padahal sebelumnya, demi mendapatkan dukungan petinggi pemerintah kolonial Prancis, Kapten Crochard memuji-muji Muhammad bin al-Hajj Muhammad sebagai orang yang dapat dipercaya, jujur, dan berjuang untuk kesejahteraan zawiyah dan keamanan Prancis. Namun, pejabat Prancis lain menggambarkannya sebagai orang yang biasa saja kecerdasannya tapi sangat ambisius, sombong dan berlebihan. Orang-orang dari lingkaran Zawiyah al-Hamil sendiri banyak yang memandangnya rakus dan pelit (Julia A. Calncy-Smith, 1997: 238).

 

Sikap melawan Zainab yang tidak terduga membuat pusing para perwira militer setempat. Berhadapan dengan wanita yang berani melawan merupakan suatu yang baru ketika itu, hingga para pejabat di Affaires Indigenes (Urusan Adat/Pribumi) mempertimbangkan untuk mencopotnya secara paksa dari zawiyah. Namun, karena Zainab adalah figur sufi yang dihormati dan sangat populer, membuat mereka kesulitan untuk menerapkan rencana tersebut (Julia A. Calncy-Smith, 1997: 238-239).

 

Karena susahnya menyingkirkan Zainab dari kepemimpinan Zawiyah al-Hamil (Thariqah Rahmaniyyah), Kapten Crochard menyebut Zainab sebagai korban kebodohan dan intrik jahat dalam zawiyahnya. Ia membuat laporan:

 

“Among her associates, there are no good men; she is surrounded by untrustworthy people, capable of the worst excesses. . . . they know well that she can be manipulated.”

 

“Di antara rekan-rekannya, tidak ada orang yang baik; ia dikelilingi oleh orang-orang yang tidak dapat dipercaya, yang bisa menghadirkan ekses buruk..... mereka tahu dengan baik bahwa ia bisa dimanipulasi.” (Julia A. Calncy-Smith, 1997: 238-239)

 

Keberanian Zainab menghancurkan rencana intervensi pemerintah kolonial Prancis terhadap kemandirian zawiyahnya, menambah kebencian Kapten Crochard. Ia bahkan mengumpatnya dengan mengatakan:

 

"Passionate to the point of hatred, bold to the point of insolence and impudence, very haughty and eager for deferential treatment, she displays in the worst ways her father's qualities; her charity is nothing but extravagance; she does not hesitate to deceive or make false accusations to pursue the plan of action she has in mind."

 

“(Orang yang) penuh gairah sampai titik kebencian, berani sampai titik kurang ajar dan lancang, sangat sombong dan berhasat sekali untuk perlakuan hormat, ia menampilkan kualitas ayahnya dalam cara yang paling buruk; kedermawanannya tidak lain hanyalah pemborosan; ia tidak ragu-ragu untuk menipu atau membuat tuduhan palsu demi mencapai tujuan dari rencana yang ada di pikirannya” (Julia A. Calncy-Smith, 1997: 240).

 

Meskipun berani terang-terangan melawan intervensi Prancis, Lalla Zainab bukan orang bodoh yang hanya mendengar emosinya. Ia memiliki kecapakan diplomatik yang baik. Tentu, ia menyadari bahwa sekuat apapun pengaruhnya, sebesar apapun pengikutnya, menghadapi Prancis, bisa diprediksi pihaknya akan kalah jika harus berhadapan secara militer. Karena itu ia menggunakan sistem kolonial untuk memenangkan pertarungannya, dengan tujuan tetap merdeka dalam mengurus Zawiyah al-Hamil dan pengikutnya. Ia menulis surat kepada Affaires Indigenes dan otoritas kolonial setempat meminta bantuan mereka untuk membatasi tindakan tidak adil sepupunya dengan merujuk pada sistem hukum Prancis, yaitu kesetaraan dan keadilan (Julia A. Calncy-Smith, 1997: 242).

 

Argumentasi lainnya adalah, suksesinya merupakan pilihan yang lebih logis demi menjaga stabilitas untuk masa depan. Ia pun menyewa seorang pengacara untuk membantunya di pengadilan. Pada akhirnya, pemerintah kolonial menarik tentara Bu Sa’adah dan meminta sepupunya, Muhammad bin al-Hajj Muhammad untuk berhenti menuntut klaimnya. Ini menunjukkan kecerdasan Lalla Zainab dalam menghadapi intervensi Prancis dan berhasil terbebas dari itu.

 

Lalla Zainab meninggal pada 19 November 1904. Ia dimakamkan berdampingan dengan ayahnya, sampai sekarang makamnya masih dikunjungi banyak orang. Ia meninggalkan warisan dan kenangan yang mengakar kuat di hati orang-orang Hamil sampai sekarang.

 

Untuk mengakhiri sejarah singkat Lalla Zainab binti Syekh Muhammad al-Qasimi, ucapan Julia A. Clancy-Smith cukup menggambarkan lanskap sosial dan cara berjuang Lalla Zainab:

 

In a war of cultures, cultural weapons—and not militant opposition—proved the most formidable defense. And one of the most intrepid warriors in this bloodless battle was a woman, precisely because the colonial edifice was conceived of as an imperial man's world. While the colonial order had evolved a formidable arsenal of methods for containing unsubmissive Algerian men, it had few, if any, to repress rebellious females......... Thus, Zaynab's confrontation with French authorities indicates that women could be political agents as well as social actors even in a system of dual patriarchy.

 

“Dalam perang kebudayaan, senjata budaya—bukan perlawanan militan—terbukti sebagai pertahanan yang paling tangguh. Dan salah satu pejuang paling berani dalam pertempuran tak berdarah ini adalah seorang wanita, tepatnya karena bangunan kolonial dipahami sebagai dunia pemerintahan laki-laki. Saat tatanan kolonial telah mengembangkan metode persenjataan yang luar biasa untuk menguasai orang-orang Aljazair yang tak mau tunduk, sangat sedikit, jikapun ada, tindakan untuk menekan perempuan pembrontak........ Oleh karena itu, perlawanan Zainab terhadap otoritas Prancis menunjukkan bahwa wanita bisa menjadi agent politik sekaligus aktor sosial, bahkan dalam sistem dual patriarkhi sekalipun” (Julia A. Calncy-Smith, 1997: 216).

 

 

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen