Hikmah

Larangan Penyalahgunaan Wewenang Keagamaan dalam Islam

NU Online  ·  Jumat, 18 April 2025 | 06:00 WIB

Larangan Penyalahgunaan Wewenang Keagamaan dalam Islam

Poster series Bidaah Malaysia. Sumber: Viu Malaysia

Walid Muhammad Ilman Al-Mahdi, salah satu figur fiktif dari serial drama negara Jiran yang berjudul Bidaah, dihadirkan sebagai seorang tokoh agama dari tarekat sesat yang menyalahgunakan atas wewenang keagamaan. Karena pembawaan karakter yang kontroversial, sosok tersebut menjadi perbincangan di jagat maya. Bahkan menjadi tema diskusi di berbagai pertemuan.


Bidaah, sesuai judulnya, menggambarkan fenomena sosial-agama yang ada di tengah-tengah masyarakat. Fenomena tersebut adalah berdirinya tarekat ilegal yang memanipulasi agama sebagai alat kontrol mutlak terhadap masyarakat. Adapun sekte yang diangkat dalam serial Bidaah adalah sekte fiktif bernama Jihad Umamah yang dipimpin oleh Walid.


Inti dari cerita ini berpusat pada kesewenang-wenangan otoritas keagamaan dalam melaksanakan wewenangnya. Arahan dan perintah yang seharusnya disesuaikan dengan syariat agama Islam, justru bertolak belakang, bahkan cenderung sebagai sarana dalam memenuhi hasrat dan keinginan pribadi. Salah satu yang cukup fenomenal dari serial ini adalah munculnya istilah baru dalam proses akad pernikahan yang disebut, “Nikah Batin”.


Tentu, jika persoalan penyalahgunaan atas wewenang keagamaan ditarik pada pemahaman Islam, menjadi topik pembahasan yang cukup menarik. Sepintas tindakan penyalahgunaan terhadap wewenang apa pun secara objektif sangat ditentang. Terlebih lagi, Islam sangat mengecam tindakan-tindakan amoral. Apalagi mengatasnamakan agama Islam itu sendiri. 


Pada ayat 86 surat Al-Baqarah, Allah menyinggung pihak-pihak yang yang menjalin transaksi pembelian kehidupan dunia dengan menggunakan mata uang akhirat, akan mendapatkan siksaan yang amat pedih. Sama halnya dengan penyalahgunaan atas wewenang keagamaan. Seorang imam, tokoh, figur menggunakan jubah keulamaannya sebagai alat untuk mendapatkan kepatuhan mutlak, pemenuhan hasrat pribadi, eksploitasi para pengikutnya. Ayat tersebut berbunyi:


اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا بِالْاٰخِرَةِۖ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُوْنَࣖ


Artinya, “Mereka itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Maka, azabnya tidak akan diringankan dan mereka tidak akan ditolong”.


Imam besar masjid dan Syekh besar Al-Azhar, dalam tafsirnya memberikan penjelasan yang dimaksud dari ‘mereka’ adalah kaum Yahudi yang mendikotomikan hukum-hukum Allah. Mereka kaum Yahudi juga membeli kehidupan dunia dengan menggunakan agama mereka. Atas dasar itulah, mereka berhak mendapat murka dari Allah serta siksa yang pedih kelak di hari kiamat (Muhammad Sayyid Thanthawi, Tafsir Al-Wasith, [Kairo, Darul Ma’arif: 1997], juz I, halaman 194).


Karena peringatan yang serius, para pemuka agama yang oleh Allah diberikan amanat untuk merawat masyarakat dari berbagai kalangan, harus ekstra hati-hati serta senantiasa mawas diri. Sebisa mungkin untuk menjauhi keinginan-keinginan yang berpotensi melanggar syariat. Entah tindakan atau instruksinya disengaja atau tidak terencana.


Persis dengan penggunaan otoritas keagamaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tokoh agama yang demikian termasuk dalam kategori ulama su’, yang oleh Nabi Muhammad disebutkan lebih buruk daripada Dajjal. Para ulama dengan perangai buruk ini memiliki pengetahuan yang luas akan retorika, namun rendah atas keluasan hati dan peribadatan. Sebagaimana definisi ulama su’ yang disampaikan Syekh Nawawi Al-Bantani sebagai berikut:


وَهُوَ كُلُّ مُنَافِقٍ كَثِيْرٍ عِلْمُ اللِّسَانِ جَاهِلُ الْقَلْبِ وَالْعَمَلِ اِتَّخَذَ العِلْمَ حِرْفَةً يَتَأَكَّلُ بِهَا، وَأُبَّهَةٌ يَتَعَزَّزُ بِهَا، يَدْعُوْ النَّاسَ إلَى اللّٰهِ وَيَفِرُّ


Artinya, “(Ulama su’) adalah seorang munafik dengan kapasitas keilmuan retorika yang bagus, namun bodoh dalam persoalan hati dan peribadatan, yang mana mereka mengambil pundi-pundi keuntungan dengan menggunakan pengetahuan yang dimiliki serta menikmatinya, menggunakan pengetahuannya sebagai ajang pamer, mereka juga menyerukan kebaikan terhadap masyarakat, akan tetapi mereka tidak melakukannya,” (Syekh Nawawi al-Jawi, Maraqil Ubudiyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah], halaman 18)


Kapasitas ilmu keagamaan, yang seharusnya menjadi bekal untuk kehidupan akhirat kelak, oleh ulama dengan perangai buruk dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Mereka lebih mengedepankan materi-materi duniawi, dan melupakan esensi keilmuan yang mereka miliki. Sebagaimana yang digambarkan pada tokoh fiktif Walid.


Sudah pasti, ulama yang seperti ini tidak mengamalkan ilmunya.  Terlihat dari perilaku yang tidak mencerminkan kewibawaan ilmu, justru menjatuhkan derajat ilmu itu sendiri. Allah memberikan konsekuensi yang berat bagi seseorang yang yang tidak memberikan kebermanfaatan atas ilmunya, sebagaimana sabda Nabi:


إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ القِيَامَةِ عَالِمٌ لَمْ يَنْفَعْهُ اللَّهُ بِعِلْمِهِ


Artinya, “Sesungguhnya manusia yang paling berat azabnya pada Hari Kiamat adalah seorang alim yang ilmunya tidak memberi manfaat kepadanya,” (HR. Imam Baihaqi).


Tak jarang pula ulama su’ tidak memiliki kredibilitas yang dipercaya untuk diambil keilmuannya. Mereka hanya menghiasi tubuhnya dengan jubah dengan ukuran besar, menutupi bagian atas kepalanya dengan imamah, dengan memenuhi lehernya dengan sorban.

 

Mereka menggunakan aksesoris yang begitu heboh dengan harapan mendapatkan hormat dari orang lain. Pun mendapatkan atensi dari kawula muda, para hamba, serta gadis-gadis belia.


Imam Al-Ghazali mengelompokkan ulama dengan perangai buruk yang menyalahgunakan otoritasnya untuk mendapatkan kepentingan hasrat pribadi, menjadi bagian orang munafik yang sangat dibenci Allah. Merekalah yang menyalahgunakan ketaatan sebagai tangga menuju maksiat kepada-Nya, dan mereka menjadikannya sebagai alat, transaksi, dan komoditas untuk kefasikan mereka (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, [Beirut, Darul Ma'rifah: 1982], Juz III, halaman 304)


Dengan demikian, seorang imam, tokoh agama, ulama, figur yang memiliki otoritas atau wewenang keagamaan, benar-benar harus menjauhi tindakan penyalahgunaan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, adanya transaksi dengan menggunakan urusan akhirat untuk mendapatkan kehidupan dunia, akan mendapatkan siksa yang amat pedih. Nabi juga secara tegas, mewanti-wanti umat Islam untuk menjauhi ulama su’ yang terus mengambil pundi-pundi keuntungan bak pengusaha kapitalis yang rakus.


وَيْلٌ لِأُمَّتِي مِنْ عُلَمَاء السُّوْءِ يَتَّخَذُوُنَ هَذَا الْعِلْمَ تِجَارَةً يُبَيِّعُوْنَهَا مِنْ أُمَرَاءِ زَمَانِهِمْ رِبْحًا لأَنْفُسِهِمْ لَا أَرْبَحَ اللّٰهُ تِجَارَتَهُمْ


Sebuah kebinasaan bagi umatku, yakni golong ulama su’ yang mana mereka menggunakan pengetahuan yang dimiliki sebagai alat untuk mengambil keuntungan pribadi dengan bertransaksi bersama para rezim penguasa untuk. Akan tetapi Allah tidak memberikan keuntungan kepada mereka,” (HR. Ad-Dailami).

 

Walhasil, bukannya memperoleh keuntungan, Allah Ta’ala tidak akan memberikan keberkahan kepada ulama yang menyalahgunakan wewenang keagamaan. Wallahu A’lam.

 

Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Kampus Ainul Yaqin.