Hikmah

Negara Utama Menurut Pandangan Islam

Kam, 10 Maret 2022 | 21:45 WIB

Negara Utama Menurut Pandangan Islam

Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Relasi harmonis Islam dan negara telah menjadi pemikiran para kiai pesantren, jauh sebelum Indonensia merdeka. Catatan sejarah Muktamar NU 1936 di Banjarmasin menjelaskan betapa ulama negeri ini telah jeli melihat masa depan negeri ini.


Para kiai bersepakat dalam Muktamar tersebut, bahwa konsep kebangsaan kita bergerak pada arus utama, darul Islam yang diartikan sebagai wilayah Islam yang saat itu dalam kondisi terjajah sehingga membela negara merupakan kewajiban setiap Muslim untuk menciptakan darus salam (negara kedamaian).


Inilah rumusan kebangsaan-kenegaraan yang berpijak pada konsepsi kebinekaan. Karena saat ini negara dalam kondisi damai dan normal tak terjajah, negara damai (darus salam) merupakan konsep bernegara yang tepat. Artinya, hal ini menjadi sebuah konteks untuk membangun peradaban Indonesia yang lebih maju dari seluruh elemen bangsa.


Namun, pada dekade ini, terlihat gelombang pengusung khilafah di Indonesia semakin menguat ideologisasinya meskipun berhasil dibubarkan pemerintah Indonesia pada Mei 2017 lalu. Bagaimana memahami ini?


Guru Besar UIN Syarif Hidyatullah Jakarta Komaruddin Hidayat, dalam pengantar buku Kontroversi Khilafah: Islam, Negara dan Pancasila (2014), menjelaskan pertanyan mengapa di negara yang mengajarkan Pancasila sebagai dasar berbangsa, terdapat gerakan untuk menganjurkan khilafah? 


Terdapat banyak kemungkinan jawaban dari pertanyaan ini: Pertama, hal ini merupakan implikasi logis-psikologis dari iklim kebebasan yang demikian terbuka dan longgar. Kelompok kecil yang selama ini merasa terpinggirkan oleh kekuasaan, mendapat kesempatan untuk tampil di ruang publik. 


Kedua, ketika berbagai instrumen dan rasionalitas sekuler untuk membangkitkan emosi massa dianggap kurang efektif, maka perlu adanya slogan dan idiom keagamaan sebagai instrumen politik.


Ketiga, cara pandang Islam dan dunia Barat, terhadap hubungan agama dan negara sangat berbeda. Pada sejarah kenabian, umat Muslim masih terngiang dengan ingatan kolektif bahwa Nabi Muhammad mewariskan konsepsi Negara Madinah sebagai konsepsi politik.


Keempat, sejarah dan agenda kekhalifahan merupakan pembauran antara semangat kesukuan, persaingan perebutan sumber ekonomi, dan promosi madzhab keagamaan, yang semua ini tipikal sejarah Arab. 


Kelima, dalam sejarahnya, konsep khilafah berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Semangat tribalisme semakin menonjol, pada periode yang semakin jauh dengan masa Rasulullah, dibandingkan dengan semangat keislaman. Keenam, sebagian besar masyarakat muslim sulit membedakan antara Islamisme dan Arabisme, maka setiap gerakan muslim yang menggunakan istilah Arab, dianggap sebagai gerakan Islam. 


Gambaran ini memberi ruang bagi diskusi tentang khilafah yang pernah membayangi Republik ini. Gagasan tentang khilafah, menjadi jargon yang diusung oleh mereka yang selama ini terpinggirkan oleh kekuasaan, yang mendapatkan momentum dalam terbukanya ruang informasi. 


Menurut pandangan Filsuf Politik Islam Al-Farabi (870-950 M), ada tiga golongan manusia, dalam kapasitas memimpin, yakni kapasitas membimbing dan menasihati. Pertama, penguasa tertinggi atau penguasa mutlak. Kedua, penguasa subordinat yang memimpin dan sekaligus dipimpin.


Ketiga, yang dikuasai sepenuhnya. Penguasa tertinggi, adalah Nabi atau Imam yang merupakan pemberi hukum. Mereka menggariskan pendapat atau tindakan untuk masyarakatnya melalui wahyu Tuhan.


Dalam konteks ini, merekalah pemimpin yang memiliki keahlian paripurna, yang sempurna fisik, mental dan jiwanya, serta memiliki keahlian dalam kearifan teoretis dan praktis, yakni keahlian memerintah.


Negara yang dipimpin  oleh pemimpin seperti yang dijelaskan di atas, disebut sebagai negara Bajik atau Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah). Negara utama merupakan lawan dari Negara Jahil, yang di dalamnya termasuk Negara Kebutuhan Dasar (al-Madinah Dharuriyyah), Negara Jahat (al-Madinah al-Nadzalah), Negara Rendah (al-Madinah al-Khassah), Negara Despotik (al-Madinah al-Taghallub), dan negara demokratik (al-Madinah al-Jama’iyyah). 


Lebih lanjut, Negara Demokratik dipandang Al-Farabi sebagai konsepsi bernegara yang mendekati Negara Utama. Meski ada resiko timbulnya chaos, namun konsepsi Negara Demokratik memiliki peluang paling besar untuk melahirkan Negara Utama. Tidak berlebihan, jika Al-Farabi mengkonsepsikan bahwa kota demokratik menjadi perantara lahirnya Negara Utama. 


Dengan demikian, yang perlu diusung bukan jargon tentang khilafah atau sistem politik, melainkan mencari pemimpin yang mampu menggerakkan perangkat politik menuju konsepsi Negara Utama. (Fathoni)