Hikmah

Pendapat-pendapat Sayyidina Umar yang Diabadikan dalam Al-Qur’an

Kam, 30 November 2017 | 12:30 WIB

Berbicara terkait kepemimpinan Muslim, berabad-abad yang lalu ada seorang Muslim yang memiliki karakter kuat dalam memimpin. Sikapnya yang tegas dan otaknya yang cerdas sering kali melahirkan ide-ide dan pendapat brilian, bahkan sebelum ia didapuk menjadi pemimpin. 

Umar bin Khattab salah satunya. Ia merupakan khalifah kedua, pengganti Abu Bakar yang memiliki karakter tegas. Bahkan sebelum menjadi khalifah, ia sudah dipercaya menjadi penasihat khusus Abu Bakar. Selain itu, ketika Rasulullah masih hidup, pendapat-pendapatnya sering kali menjadi acuan Rasul dalam menentukan beberapa keputusan. 

Beberapa pendapat Umar bahkan dipercaya sebagai faktor kronologi turunnya beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Pendapat-pendapat tersebut akhirnya disebut sebagai muwâfaqatu ‘umar, yakni pendapat-pendapat Umar yang disepakati atau diafirmasi oleh Al-Qur’an.

As-Suyuthi dalam karyanya yang berjudul Târîkh al-Khulafâ, memuat satu bab khusus yang menjelaskan tentang muwâfaqatu ‘umar ini.

Imam Mujahid, salah satu tabiin murid Ibnu Abbas pernah menjelaskan bahwa ketika Umar berpendapat, Al-Qur’an turun untuk mendukung pendapat tersebut. Bahkan Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa Al-Qur’an memuat sebagian pendapat Umar. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat-pendapat Umar sering menjadi pijakan kronologis turunnya sebuah ayat.

Muwâfaqatu ‘umar ini diungkapkan oleh Umar sendiri dalam sebuah riwayat Bukhari-Muslim yang dikutip oleh as-Suyuthi dalam Tarikh Khulafa’-nya.

Pertama, menjadikan maqam ibrahim sebagai tempat shalat. Saat itu umar berkata kepada Nabi untuk menjadikan maqam ibrahim sebagai tempat shalat. Kemudian turunlah ayat “wattakhidzû min maqâmi ibrâhîma mushallâ (… Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat…)” (QS al-Baqarah: 125). 

Kedua, hijab untuk para istri Nabi. Umar berkata kepada Nabi: “Wahai Rasul, ada hal bagus dan jelek yang menimpa istri-istrimu. Mungkin lebih baik engkau memerintahkan mereka untuk berhijab.” Selanjutnya turunlah ayat: “wal yadlribna bi khumurihinna ala juyûbihinna” (…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya…)” (QS an-Nur:31).

Ketiga, ketika istri-istri nabi saling cemburu, termasuk putri Umar yang bernama Hafsah. Melihat hal itu, akhirnya Umar memberikan nasihat kepada Hafsah untuk tidak berlaku demikian. Karena bisa jadi Nabi akan menceraikannya dan diberikan ganti oleh Allah dengan istri yang lebih baik darinya. Setelah Umar menasihati putrinya, turunlah ayat Al-Qur’an dengan kalimat yang sama seperti diucapkan Umar kepada putrinya: “`Asâ rabbuhu in thallaqakunna an yubdilahu azwâjan khairan minkunna (Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu…)” (QS at-Tharim: %).

Keempat, tentang tawanan badar. Sayyidina Umar saat itu mengusulkan agar para tawanan badar dari pihak kafir Quraisy tersebut dibunuh. Karena jika nanti dibiarkan hidup mereka akan membocorkan informasi dan menyiapkan pembalasan kepada pihak Muslim. Namun, saat itu Rasul lebih memilih pendapat Abu Bakar untuk tidak membunuhnya dan memberikan hukuman lain kepada mereka. Akhirnya Al-Qur’an menegur Nabi dan menyetujui pendapat Umar.

Kelima, tentang keharaman khamr. Sebelum turun ayat Khamr, umar berkata: “Allâhumma bayyin lanâ fil khamri bayânan syâfiyan”. Kemudian turunlah ayat “yas`alûnaka `anil khamri wal maysir”. Setelah turun ayat tersebut, Umar masih belum puas dan berdoa kembali dengan doa yang sama. Kemudian turunlah ayat dari surat al-Maidah: “innama al-khamru wal maisiru...”. Umar pun masih belum puas dan berdoa dengan doa yang sama. Kemudian turunlah al-Maidah: 91, “fa hal antum muntahun”. Lalu umar berkata: “intahaina”.

Keenam, ketika turun ayat “wa laqad khalaqnal insana min tsulalatin min tin”, umar berkata: “fa tabarakallahu ahsanal khaliqin”. Kemudian turunlah akhir surat al-Mu’minun ayat 19 sebagaimana diucapkan Umar: “fa tabarakallahu ahsanal khaliqin”.

Keenam hal yang tersebut di atas adalah sebagian muwâfaqatu ‘umar yang disebutkan oleh as-Suyuthi. Beberapa ulama lain seperti Abu Abdillah asy-Syaibani menambahkan 14 hal lagi. Sehingga jumlahnya sebanyak 20. Wallahu A’lam(M Alvin Nur Choironi)