Hikmah

Tebak-Tebakan Sayyidina Ali: Apa Ayat Qur’an yang Penuh Harapan dan Kebahagiaan?

NU Online  ·  Senin, 28 April 2025 | 11:00 WIB

Tebak-Tebakan Sayyidina Ali: Apa Ayat Qur’an yang Penuh Harapan dan Kebahagiaan?

Ilustrasi kuis. Sumber: Canva/NU Online.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib merupakan tokoh terkenal dalam dunia Islam. Dia pernah menjabat sebagai khalifah, bergelar sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad SAW dan salah satu sahabat yang paling pemberani di medan perang. Selain itu, ia juga masyhur sebagai sahabat Nabi yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata manusia pada zamannya.


Dalam keseharian, Sayyidina Ali dikenal sebagai pribadi yang baik, bijaksana dan penuh kasih sayang bersama kaum muslimin. Sehingga hal ini yang membuatnya selalu dikenang sepanjang masa. Salah satu kisah hidupnya yang penuh perjuangan dan tantangan ialah saat ia berani menggantikan posisi tidur Nabi Muhammad, ketika Nabi dikejar dan akan dibunuh oleh kafir Quraisy pada malam beliau hijrah ke Madinah.


Namun dari seluruh perjalanan hidup Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang pernah kita simak, ternyata terdapat satu kisah menarik yang perlu untuk kita ambil hikmahnya. Apa itu? Baca tulisan ini sampai selesai.


Tebak-Tebakan: Apa Ayat Qur’an yang Paling Memberi Harapan dan Kebahagiaan?

Jadi, dikisahkan pada suatu hari Sayyidina Ali datang kepada kaum Muslimin yang sedang berkerumun. Lantas setibanya di hadapan mereka, ia bertanya:


اَيُّ اٰيَةٍ فِى كِتَابِ اللّٰهِ اَرْجَى عِنْدَ كُمْ؟


Artinya: “Apa ayat Al-Qur’an yang paling memberikan harapan bagi kalian?


Maksud umum dari pertanyaan ini adalah, apa ayat yang mampu memberikan harapan, ketenangan dan kebahagiaan. Sebab ayat tersebut menjelaskan tentang cara supaya amal ibadah kita diterima, dosa terampuni dan mengakibatkan Allah menyayangi kita.


Sebagian kaum Muslimin menjawab, mereka membacakan Surat An-Nisa ayat 48:


اِنَّ اللّٰهَ لَا يَغْفِرُ اَنْ يُّشْرَكَ بِهٖ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذٰلِكَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۚ 


Artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.”


Mendengar jawaban itu, Sayyidina Ali menjawab, “Benar. Tapi bukan hanya itu.” Maksudnya adalah apa yang dibacakan oleh sebagian kaum muslimin tersebut, sudah benar. Akan tetapi bukan ayat itu yang dimaksud.


Selanjutnya, kaum Muslimin yang lain mencoba menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Sayyidina Ali, dengan membacakan Surat An-Nisa ayat 110:


وَمَنْ يَّعْمَلْ سُوْۤءًا اَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهٗ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللّٰهَ يَجِدِ اللّٰهَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا


Artinya: “Siapa yang berbuat kejahatan atau menganiaya dirinya, kemudian memohon ampunan kepada Allah, niscaya akan mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”


Mendengar hal tersebut, Sayyidina Ali menanggapi dengan jawaban sebelumnya, “Benar. Tapi bukan hanya itu.”. Sehingga kaum Muslimin yang lain juga mencoba menyampaikan jawaban yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini mereka membacakan Surat Az-Zumar ayat 53:


قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗ


Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya.’”


Dengan reaksi yang sama, Sayyidina Ali tetap menanggapi jawaban tersebut dengan mengatakan, “Jawaban kalian benar. Tapi bukan itu yang dimaksud.”  

 

Akhirnya sebagian kaum Muslimin yang lain, mencoba menebak lagi. Pada kesempatan kali ini, mereka mencoba membacakan Surat Ali Imran ayat 135:


وَالَّذِيْنَ اِذَا فَعَلُوْا فَاحِشَةً اَوْ ظَلَمُوْٓا اَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّٰهَ فَاسْتَغْفَرُوْا لِذُنُوْبِهِمْۗ وَمَنْ يَّغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلَّا اللّٰهُ 


Artinya, “Demikian (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka (segera) mengingat Allah lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya. Siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?


Belum ada yang cocok dengan apa yang dimaksud oleh Sayyidina Ali, pada akhirnya ia pun tetap melontarkan pernyataan yang sama atas semua jawaban dari kaum Muslimin, yaitu: “Jawaban kalian, benar. Tapi bukan itu yang dimaksud.”


Mendengar hal itu, kaum Muslimin pun diam dan menahan diri untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Melihat mereka diam, Sayyidina Ali bertanya lagi, “Apa yang sedang kalian pikirkan?” Merekan menjawab, “Tidak ada.”


Demikianlah, sebetulnya tebak-tebakan yang dilakukan oleh Sayyidina Ali ini bertujuan untuk menggairahkan dan memancing keingintahuan dari kaum Muslimin yang tengah hadir di hadapannya pada saat itu. Yakni agar mereka memusatkan perhatian dan mendengarkan apa yang akan ia sampaikan.


Setelah dirasa cukup memperhatikan, Sayyidina Ali berkata: 


سَمِعْتُ حَبِيْبِيْ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: اَرْجَى اٰيَةٍ فِى كِتَابِ اللّٰهِ هِيَ قَوْلُ الْحَقِّ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى: وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ الَّيْلِ ۗاِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّاٰتِۗ ذٰلِكَ ذِكْرٰى لِلذّٰكِرِيْنَ


Artinya, “Aku mendengar kekasihku, Rasulullah SAW, bersabda, ‘Ayat yang paling memberikan harapan di dalam Al-Qur’an adalah firman Allah SWT: “Dirikanlah salat pada kedua ujung hari (pagi dan petang) dan pada bagian-bagian malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik menghapus kesalahan-kesalahan. Itu adalah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat Allah.”’” (QS. Hud [11]:114)


Setelah membacakan surat yang dimaksud, Sayyidina Ali melanjutkan apa yang disampaikan oleh Nabi. Nabi bersabda: “Wahai Ali, jika salah seorang dari kalian bangun dan selesai dari wudhunya, maka akan berjatuhan semua dosanya. Apabila ia menghadap ke hadirat Allah dengan wajah (penuh perhatian) dan hati (perasaan) serta tidak terdistraksi, maka telah diampuni oleh Allah SWT segala dosa yang ia miliki, sehingga seakan-akan ia baru lahir dari rahim ibunya. Namun, Apabila ia melakukan dosa di antara dua shalat maka dosa itu (hanya dicatat) baginya (di waktu tersebut).”


Sebelum melanjutkan sabda Nabi, Sayyidina Ali menyela dengan berkata, “Maksud dari di antara dua shalat itu adalah: Antara shalat Subuh dengan Zhuhur, antara shalat Zhuhur dengan Ashar, antara shalat Ashar dengan Magrib, antara shalat Magib dengan Isya, dan antara shalat Isya dengan Subuh.


Selanjutnya, Sayyidina Ali melanjutkan, Nabi Muhammad bersabda, “Wahai Ali, sesungguhnya shalat lima waktu (Subuh, Zhuhur, Asar, Magrib dan Isya) bagi umatku bagaikan sungai yang mengalir di pintu rumah setiap orang di antara kalian, atau sekiranya pada tubuh salah seorang di antara kalian ada kotoran, lalu ia membasuhnya di lautan. Apakah akan tersisa kotoran tersebut di badannya? Sungguh shalat ini diperuntukkan bagi umatku,” (Lihat Qashashush Shahabah wash Shalihin karya Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi [Kairo: al-Maktabah at-Taufiqiyah, tt.], hlm. 341-343).


Hikmah yang Dapat Diambil

Dari kisah Tebak-Tebakan Sayyidina Ali bersama Kaum Muslimin, kita dapat mengambil hikmah, bahwa ibadah shalat merupakan ketetapan syariat yang sangat membahagiakan, sebab kaya akan manfaat. Salah satunya adalah dapat menghapus dosa yang telah kita lakukan.


Selain itu, shalat lima waktu juga merupakan ibadah yang istimewa. Karena apabila kita melihat pada ibadah yang lain, maka akan kita temukan bahwa semuanya memiliki tenggat periode. Misalkan, puasa wajib hanya berlaku di bulan Ramadhan. Berhaji, hanya boleh dilakukan pada bulan Dzulhijjah dan hanya wajib bagi orang yang mampu. Berzakat, hanya berlaku jika harta mencapai nishab dan kadarnya tetap selama setahun. Begitu pun ibadah lain. 


Berbeda dengan shalat, kewajiban shalat ini berlaku seumur hidup, dimulai ketika baligh sampai meninggal dunia. Hal inilah yang membuatnya istimewa di antara ibadah yang lain.


Sehingga dari kesimpulan tersebut, dalam ayat lain Allah SWT memotivasi hambaNya untuk bersabar dalam menjalani ibadah shalat ini. Sebagaimana firmanNya dalam Al-Qur’an:


وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ لَا نَسْـَٔلُكَ رِزْقًاۗ نَحْنُ نَرْزُقُكَۗ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوٰى


Artinya, “Perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan bersabarlah dengan sungguh-sungguh dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Kesudahan (yang baik di dunia dan akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha [20]: 132)


Demikianlah kisah menarik dari Sayyidina Ali dan Kaum Muslimin beserta hikmahnya. Semoga kita dapat mengambil pelajaran, sebagai motivasi menjalankan tanggung jawab hidup di dunia. Wallahu a’lam.


Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman