Sirah Nabawiyah

Perang Nahrawan, Pertempuran Ali dengan Khawarij di Bulan Sya’ban

Jum, 18 Maret 2022 | 12:00 WIB

Perang Nahrawan, Pertempuran Ali dengan Khawarij di Bulan Sya’ban

Ilustrasi. (Foto: wikipedia)

Saat umat Muslim sedang ditimpa perang saudara yang mengakibatkan kematian ratusan ribu jiwa pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, muncul kelompok Khawarij yang selain menebar teror kepada seluruh penduduk juga melakukan perlawanan kepada pemerintah yang sah. Hingga akhirnya meletuslah Perang Nahrawan antara Ali dan Khawarij di bulan Sya’ban 38 H.


Perang Shiffin

Masa pemerintahan Khalifah Ali bin Thalib merupakan fase ujian berat bagi umat Muslim. Pasalnya, ratusan ribu jiwa terenggut akibat perang saudara. Salah satunya adalah pertempuran antara kelompok Ali yang menjabat sebagai khalifah dengan Muawiyah yang menjabat sebagai gubernur Syam (Siria). Pertempuran ini dikenal dengan Perang Shiffin.


Mulanya Muawiyah meminta kepada sang khalifah untuk menuntut balas atas pembunuh Utsman bin Affan (khalifah sebelumnya). Sebelum Ali mengabulkan permintaannya, Muawiyah bersama seluruh penduduk Syam tidak akan membaiat Ali sebagai khalifah.


Sebenarnya tidak ada masalah dengan keengganan Muawiyah untuk membaiat Ali, hal itu tidak akan mengurangi legalitasnya sebagai khalifah yang sah, mengingat persetujuan mayoritas sahabat baik dari kalangan Anshar dan Muhajirin sudah cukup untuk mengangkat Ali sebagai khalifah umat Islam.


Jadi, di satu sisi Muawiyah tidak mau berbaiat sebelum Ali menuntut balas pembunuh Utsman, sementara di sisi lain Ali menilai ketidakpatuhan Muawiyah untuk berbaiat dinilai sebagai pembangkangan kepada pemerintah yang sah. Kedua belah pihak tidak mau berkompromi dan ngotot dengan pendapatnya masing-masing hingga akhirnya meletus perang Shiffin.


Pada peperangan ini pasukan Ali berjumlah kurang lebih 120.000 tentara, sementara pasukan Muawiyah sebesar 90.000 tentara. Peristiwa ini terjadi pada 657 M dan berlangsung selama tiga hari berturut-turut, dari mulai Rabu, Kamis, dan Jumat. Korban yang tewas mencapai 70.000 orang: 45.000 dari pasukan Syam (Muawiyah) dan 25.000 dari pasukan Iralk (Ali).


Guru besar sejarah Islam di Universitas Al-Azhar Mesir Abdussyafi Muhammad Abdul Latif dalam kitabnya Al-‘Alâmul Islâmi fil ‘Ashril Umawi Diraâsah Siyâsiyyah mengatakan, pertempuran ini merupakan malapetaka besar bagi Umat Islam. Pasalnya, kurang dari satu tahun saja (dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin), umat Islam sudah kehilangan seratus ribu jiwa.


Tahkim

Menyadari banyaknya korban dalam perang semasa Muslim ini, muncullah gagasan untuk mengangkat mushaf dan memutuskan hukum sesuai Kitabullah (Al-Qur’an). Harapannya, perang bisa segera disudahi sehingga tidak ada korban berjatuhan lagi. Gagasan cemerlang ini diusulkan oleh Amr bin Ash yang kemudian dikenal dengan Tahkim atau arbitrase.


Sebenarnya gagasan ini bukan yang pertama kali.. Saat Perang Jamal antara kelompok Ali dengan Sayyidah Aisyah juga pernah dilakukan.


Masing-masing kedua belah pihak Ali dan Muawiyah mengutus perwakilan untuk berunding dan melakukan putusan berdasarkan Kitabullah. Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ari dan Muawiyah mengutus Amr bin ‘Ash. Kedua perwakilan ini disumpah agar benar-benar amanah atas tugas tersebut. 


Sungguh disayangkan, praktik Tahkim ternyata tidak maksimal. Ketentuannya yang masih bias membuat hasilnya tidak menyelesaikan masalah. Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin ‘Ash akhirnya kurang tepat mengambil keputusan, mereka hanya membahas soal kekhalifahan dengan keputusan untuk mencopot Ali dari kursi kekhalifahan dan menurunkan Muawiyah dari jabatan gubernur Syam.


Tampaknya Ali tidak setuju dengan keputusan itu, bahkan ia menganggap dirinya hanya sebagai korban dari keputusan mengecewakan ini. Walhasil, konflik tidak mereda dan Ali kembali menginstruksikan pasukannya untuk memerangi Muawiyah. Namun sayang, sepertinya pasukannya sudah bosan dengan peperangan ini sehingga mengabaikan begitu saja instruksi sang khalifah.


Perang Nahrawan

Usia Peristiwa Tahkim, solidaritas penduduk Irak mulai retak. Sebagian orang menyetujui praktik Tahkim sebagai langkah yang bijak, namun sebagian yang lain justru menilainya sebagai aib yang fatal karena dianggap telah mengambil keputusan dari selain Allah. Kelompok yang tidak setuju ini kemudian dinamakan sebagai Khawarij.


Khawarij bukan saja tidak setuju dengan Tahkim, tetapi juga mengkafirkan seluruh umat Muslim yang tidak sependapat dengan mereka, termasuk Ali dan Muawiyah.

 

Lebih jauh, mereka kemudian mendeklarasikan pembangkangan terhadap pemerintah yang sah dan mendirikan pemerintahan sendiri dengan Syabts bin Rib’i at-Taimi sebagai panglima perangnya dan Abdullah bin al-Kawa al-Yasykuri sebagai imam shalatnya.


Kelompok Khawarij yang totalnya sebanyak lebih dari 12.000 orang ini melakukan pemberontakan, menyatakan permusuhan terhadap umat Islam, dan menyebar ketakutan ke seluruh penduduk. Bahkan mereka tak segan membunuh Abdullah bin Khabbab bin al-Aratt dengan menyembelihnya dan istrinya yang sedang mengandung.


Sementara itu Ali dengan pasukan Muslim yang setia dengannya berada di Kufah untuk melanjutkan peperangan melawan Muawiyah. Menyadari kekacauan sedang terjadi, Ali memutuskan untuk menghabisi kelompok Khawarij terlebih dulu.

 

Selanjutnya, terjadilah pertempuran antara kelompok Ali dan Khawarij yang dinamakan Perang Nahrawan pada bulan Sya’ban 38 H. Pendapat lain mengatakan terjadi pada bulan Shafar di tahun yang sama.


Dalam pertempuran ini banyak kelompok Khawarij yang tewas terbunuh, yang tersisa hanya segelintir orang. Konon hanya tinggal 10 orang yang masih hidup. Meski begitu, jumlah yang sedikit itu masih menjadi ancaman bagi umat Muslim. Mereka terus melakukan gerakan bawah tanah hingga di era Bani Umayyah pun banyak melakukan keonaran dan pemberontakan.


Referensi:

Syamsuddin adz-Dzahabi, Tarîkhul Islâm, (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiah, 2006), juz II, halaman 209.


Abdussyafi Muhammad Abdul Lathif, Al-‘Alâmul Islâmi fil ‘Ashril Umawi Diraâsah Siyâsiyyah, (Kairo: Darusalam, 2008), halaman 77-88.


Fawaz bin Farhan asy-Syamari, Shaḫîhu Akhbâri Shiffîn wan Nahrawan wa ‘Ami Jama’ah, (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiah, 2019), juz II, halman 664.


Penulis: Muhamad Abror

Editor: Fathoni Ahmad