Syariah

Kisah Kematian Tragis Menantu dan Cucu Tercinta Rasulullah

Ahad, 23 Juli 2023 | 12:00 WIB

Kisah Kematian Tragis Menantu dan Cucu Tercinta Rasulullah

Hari Asyura. (Foto: NU Online/Freepik)

Dalam sejarah Islam, ada tokoh yang sangat penting dan dikenal sebagai pahlawan yang penuh dengan keberanian dan kesetiaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Ia mengikuti agama yang dibawa baginda Nabi Muhammad sejak masih kanak-kanak. Sehingga termasuk dari sahabat yang mendapatkan jaminan masuk surga. Rasulullah sangat mencintainya, pun sebaliknya, ia sangat menyayangi utusan Allah itu. Nabi sering memanggilnya dengan nama Abu Turab. Nama yang diberikan Rasulullah itu sangat dia sukai. 


Namun, di balik keberaniannya, dia juga mengalami kisah tragis yang menyedihkan. Ia mati dibunuh, oleh seorang Muktazilah yang fanatik. Sosok itu adalah Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi. Nama aslinya, seperti kata Imam Suyuthi dalam kitab Tarikh Al Khulafa, Ali bin Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hisyam bin Abdul Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihrin bin malik bin Nadhir bin Kinanah. Ia adalah sosok yang memiliki peran krusial dalam perkembangan Islam. Pun sosok yang kisah kematiannya membekas dalam relung sejarah. 


Kisah tragis yang menimpa Ali bin Abi Thalib, dimulai ketika ia dibaiat menjadi khalifah menggantikan Utsman bin Affan di Madinah. Ia dilantik, sehari setelah Utsman wafat. Namun, dibalik pelantikannya terdapat beberapa orang sahabat yang tidak menyetujuinya, antara lain Thalhah dan Zubeir, kendatipun keduanya ikut membaiat tetapi itu karena terpaksa, bukan karena sukarela.


Sementara itu, di tengah situasi politik yang kian memanas antara Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah dan Muawiyah, yang pada akhirnya melahirkan tahkim [abitrase]. Hal ini adalah strategi dari Amar bin Ash agar Ali mau berdamai. Sebagian kelompok Ali tidak setuju dengan abitrase ini dan memisahkan diri yang kemudian dikenal dengan nama Khawarij. Imam Suyuthi dalam kitab Tarikh Al Khulafa, mengisahkan ada tiga pentolan Khawarij yang sangat tidak suka keputusan Ali itu. Selanjutnya mereka rapat di Makkah untuk mengatur strategi guna membunuh Ali. Ketiga orang Muktazilah itu adalah Abdurrahman bin Muljam, Barak bin Abdullah at Tamimi, dan Amar bin Bakir at Tamimi. 


Ibnu Muljam berkata; “Aku yang akan membunuh Ali bin Abi Thalib,”. Ibnu Muljam berangkat menuju Kufah. Ia meminta orang yang mengetahui rencananya untuk tidak membocorkannya hingga tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Imam Thabari melukiskan persekongkolan itu sebagai berikut;


فَقَالَ ابن ملجم: أنا أكفيكم عَلِيّ بن أبي طالب- وَكَانَ من أهل مصر- وَقَالَ البرك بن عَبْدِ اللَّهِ: أنا أكفيكم مُعَاوِيَة بن أَبِي سُفْيَانَ، وَقَالَ عَمْرو بن بكر: أنا أكفيكم عَمْرو بن الْعَاصِ فتعاهدوا وتواثقوا بِاللَّهِ لا ينكص رجل منا عن صاحبه الَّذِي توجه إِلَيْهِ حَتَّى يقتله أو يموت دونه فأخذوا أسيافهم، فسموها، واتعدوا لسبع عشرة تخلو من رمضان أن يثب كل واحد مِنْهُمْ عَلَى صاحبه الَّذِي توجه إِلَيْهِ، 


Artinya; "Kemudian Ibnu Maljam berkata, 'Saya akan membunuh Ali bin Abi Thalib,' (yang berarti dia berbicara tentang dirinya sendiri). Al-Barak bin Abdullah berkata, 'Saya akan membunuh Muawiyah bin Abi Sufyan,' dan Amr bin Bakr berkata, 'Saya akan membunuh Amr bin Al-Ash.' Maka mereka berjanji dengan Allah, saling berpegangan, bahwa tidak ada seorang pun dari mereka akan menarik diri dari niat mereka untuk membunuh orang yang menjadi sasaran mereka sampai mereka membunuhnya atau mati dalam usaha itu. Lalu mereka mengambil pedang mereka, menyebutkannya, dan setuju bahwa pada bulan Ramadhan berikutnya.” [Imam Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk, [Mesir, Dar Maarif, 1967], hal. 144


Saat Ali hendak shalat Subuh, datanglah Muljam dan segera menebasnya dengan sabetan pedang. Tebasan pedang itu mengenai muka dan kening Ali, hingga kena juga ke bagian otaknya. Dia tersungkur bersimpah darah. Dalam sejarah, dari peristiwa itu Ali sempat bertahan selama dua hari, Jumat dan Sabtu. Lalu di malam ketiga, Ahad ia wafat. Mayatnya dimandikan Hasan, Husein, dan Abdullah bin Ja’far. Putra sulungnya, Hasan kemudian yang jadi Imam shalat jenazah. Sahabat agung itu dimakamkan di Darul Imarah di Kufah. 


Kematian Hasan bin Ali, Diracun Istri Sendiri

Layaknya ayahnya, kematian Hasan bin Ali, merupakan tragedi yang mengguncang umat Muslim di seluruh dunia. Sebagai cucu Rasulullah Muhammad SAW dan putra dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad, Hasan bin Ali memiliki tempat istimewa dalam hati umat Muslim. Namun, takdir tragisnya berubah ketika dia menjadi korban pembunuhan dengan diracuni oleh istri sendiri, Ja’sudah binti Asyats bin Qais. 


Pada suatu hari, sang istri menyuguhkan hidangan yang lezat dan menarik perhatian Hasan bin Ali untuk mencicipinya. Tanpa curiga, Hasan bin Ali menikmati hidangan tersebut, tanpa mengetahui bahwa di balik cita rasa manis terdapat racun mematikan yang telah disuntikkan ke dalam makanan itu.


Beberapa saat setelah mengonsumsi hidangan tersebut, Hasan bin Ali merasakan gejala yang mengkhawatirkan. Ia mengalami mual, pusing, dan kesakitan yang tak tertahankan. Kesadarannya semakin melemah, dan keluarga dan pengikutnya berduka karena menyaksikan nasib tragis tokoh terhormat mereka.


Al Hafiz Ibnu Hajar Asqallani dalam kitabnya menukilkan kisah Hasan bin Ali yang diracun tersebut, ia menuliskan dalam al-Ishabah fi Tamyizi al-Shahabah, jilid II, halaman 73;


يقال إنه مات مسموما ، قال ابن سعد : أخبرنا إسماعيل بن إبراهيم أخبرنا ابن عون عن عمير بن إسحاق قال : دخلت أنا وصاحب لي على الحسن بن علي فقال: لقد لفظت طائفة من كبدي وإني قد سقيت السم مرارا فلم أسق مثل هذا ، فأتاه الحسين بن علي فسأله من سقاك ؟ فأبى أن يخبره رحمه الله تعالى


Artinya; "Dikatakan bahwa dia meninggal karena keracunan. Ibnu Sa'ad berkata: Ismail bin Ibrahim memberi tahu kami dari Ibnu 'Aun dari 'Amir bin Ishaq, dia berkata: Aku masuk bersama seorang teman ke rumah Hasan bin Ali. Hasan berkata: “Aku telah mengeluarkan sebagian hatiku (muntah) dan aku telah diberi minum racun berulang kali, namun aku tidak pernah minum yang seburuk ini sebelumnya.' Lalu Husain bin Ali mendatanginya dan bertanya: 'Siapa yang memberimu minum?' Namun dia menolak untuk memberitahunya, semoga Allah merahmatinya.”


Imam Suyuthi dalam Tarikh Khulafa, menyebutkan bahwa Hasan bin Ali wafat pada tahun 49 H. Ada juga yang mengatakan 50 atau 51 H. Hasan dikuburkan di Baqi. Bersebelahan dengan kuburan ibundanya, Fatimah bin Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib.


Adapun motif istrinya, Jadah meracuni Hasan karena tergoda rayuan dari Yazid bin Muawiyah yang berjanji akan menikahi jika ia berhasil membunuh Hasan bin Ali. Meskipun pada akhirnya, ia batal dikawini Yazid dan berkata, ”Kami tidak senang Hasan memiliki istri seperti mu, apakah kami akan senang jika punya istri seperti mu,”. [Imam Jalaluddin Suyuthi, Tarikh Khulafa, [Makkah, Maktabah Nizar Musthafa Al Baz, 2004], hal.140


Kematian Tragis Husein, Cucu Rasulullah di Karbala  

Kisah tragis kematian Husein bin Ali, cucu Rasulullah Muhammad SAW, merupakan salah satu peristiwa paling bersejarah dan menyedihkan dalam sejarah Islam. Kisah ini dikenal sebagai Tragedi Karbala, yang terjadi pada tanggal 10 Muharram tahun 61 Hijriah (10 Oktober 680 Masehi).


Husein bin Ali adalah putra dari Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad, cucu Nabi Muhammad SAW. Setelah khalifah ketiga, Utsman bin Affan dibunuh dan keadaan politik di Kekhalifahan Islamiyah semakin memanas, Husein diundang oleh sebagian penduduk Kufah (di wilayah Irak saat ini) untuk datang ke sana dan menjadi pemimpin perlawanan terhadap pemerintahan Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah yang korup dan otoriter.


Husein akhirnya berangkat dari Makkah menuju Kufah bersama keluarganya dan sekelompok pengikutnya yang setia. Tetapi saat tiba di Karbala, perjalanan mereka terhenti karena pasukan Yazid yang jauh lebih besar telah mengepung mereka. Husein dan pasukannya yang kecil terisolasi dan kelaparan di gurun Karbala selama berhari-hari tanpa air atau makanan.


Pada tanggal 10 Muharram, pasukan Yazid menyerang kamp Husein dengan kejam. Pasukan Husein berusaha bertahan dengan gigih, tetapi mereka sangat terbatas dalam hal persediaan dan jumlah pasukan. Pertempuran itu akhirnya mencapai puncaknya, dan Husein beserta saudara-saudaranya dan sejumlah besar pengikutnya tewas dalam pertempuran tersebut.


Husein sendiri mengalami kematian yang sangat tragis. Ia dikelilingi oleh pasukan musuh yang jauh lebih besar, dan akhirnya terkena panah yang mengenai tengkuknya. Ia kemudian terjatuh dari kuda dan akhirnya dibunuh di atas tanah Karbala. Peristiwa ini merupakan titik penting dalam sejarah. Tragedi Karbala selalu diingat sebagai lambang kesetiaan, keberanian, dan pengorbanan Husein bin Ali dan para pengikutnya dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. 


Imam Suyuthi dalam kitab Tarikh Khulafa melukiskan kepedihan mengingat kisah tragis ini. Dengan penuh cinta dan kesedihan, ia menulis narasi ini;


وكان قتله بكربلاء، وفي قتله قصة فيها طول لا يحتمل القلب ذكرها، فإنا لله وإنا إليه راجعون، وقتل معه ستة عشر رجلًا من أهل بيته. ولما قتل الحسين مكثت الدنيا سبعة أيام والشمس على الحيطان كالملاحف المعصفرة، والكواكب يضرب بعضها بعضًا، وكان قتله يوم عاشوراء، وكسفت الشمس ذلك اليوم، واحمرت آفاق السماء ستة أشهر بعد قتله، ثم لازالت الحمرة ترى فيها بعد ذلك اليوم ولم تكن ترى فيها قبلها.


Artinya; "Husein dibunuh di Karbala. Ada kisah memilukan tentang pembunuhannya. Hati tidak akan sanggup menanggung beban kesedihan. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Sebanyak 26 orang lainnya terbunuh dalam pembantaian Karbala tersebut. Ketika Husein terbunuh, dunia seakan berhenti selama tujuh hari. Matahari seolah mendekat ke bumi, kilau cahayanya laksana kain yang menguning. Bintang-bintang seperti bertabrakan. Dia dibunuh tanggal 10 Muharram. Pada hari itu terjadi Gerhana Matahari. Ufuk langit menjadi merah selama enam bulan secara terus menerus, padahal hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya".[ Imam Jalaluddin Suyuthi, Tarikh Khulafa, [Makkah, Maktabah Nizar Musthafa Al Baz, 2004], hal. 157


Setelah Husein bin Ali dibunuh, kepalanya dikirim kepada Yazid bin Muawiyah. Menerima kepala tersebut ia sangat senang. Dia bergembira atas kematian Husein bin Ali. Artinya, saingannya dalam perebutan kekuasaan telah ditumpas. Kekuasaan memang sangat kejam dan tragis. 


Mengambil Pelajaran bagi Generasi Hari Ini

Seyogianya kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah yang berharga dari pelbagai kejadian kejam yang menimpa menantu dan cucu Rasulullah. Imam Al Ghazali mengingatkan kita, dalam mengenang kisah tragis Karbala kita dianjurkan untuk mengucapkan istirja' (ucapan “innā lillāhi wa innā ilayhi rāji‘un”). Semoga yang jadi korban senantiasa mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. 


Lebih lanjut, Imam Al-Ghazali juga menegaskan, agar kita di generasi setelahnya menjauhi cara bid'ah dalam mengenang peristiwa Karbala. Seyogianya kita menjauhi cara meratap, menangis, atau bahkan melukai diri karena itu bukan akhlak orang yang beriman. Seandainya cara-cara itu disyariatkan, niscaya hari kematian Rasulullah saw lebih layak diperingati demikian. 


Tak kalah penting , peristiwa yang menimpa keluarga Rasulullah itu sebagai pelajaran tentang pentingnya persatuan umat. Konflik di antara umat Islam pada masa itu menyebabkan kehancuran yang besar. Pelajaran dari peristiwa ini harus menjadikan umat Islam bersatu untuk mengatasi tantangan dan permasalahan yang dihadapi Islam secara keseluruhan.


Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam, Tinggal di Ciputat