Sirah Nabawiyah

Menyikapi Polarisasi Politik Antara Ali dan Muawiyah

Sab, 27 November 2021 | 11:15 WIB

Menyikapi Polarisasi Politik Antara Ali dan Muawiyah

Ilustrasi Sayidina Ali bin Abi Thalib. (Foto: NU Online)

Sebelum menjelaskan bagaimana suasana politik pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, terlebih dahulu penulis jelaskan bagaimana atmosfir politik pada masa Khalifah Utsman bin Affan (khalifah sebelum Ali). Karena bagaimana pun, instabilitas pemerintahan masa Utsman menjadi pekerjaan rumah besar bagi khalifah setelahnya.


Imam Suyuti dalam Tarikhu Khulafa menjelaskan dengan detail, Utsman bin Affan menjabat sebagai kepala negara selama dua belas tahun. Enam tahun pertama ia begitu cakap menjalankan amanah kekhalifahan. Pemerintahannya cukup stabil. Bahkan sifat Utsman yang lebih lembut dibanding khalifah sebelumnya (Umar bin Khattab) menjadi daya tarik tersendiri bagi rakyatnya, tidak ada satu pun yang menunjukkan ketidaksukaan terhadapnya.


Sungguh disayangkan, enam tahun terakhir masa kekhalifahannya tidak secakap dulu. Utsman dinilai lamban dan tidak tegas dalam menjalankan roda pemerintahannya. Seperti enggan memecat pejabat-pejabat negara yang tidak berkompeten bahkan lalim. Lebih parah lagi, ia melakukan praktik nepotisme atau mengangkat pejabat negara dari kalangan keluarga sendiri.


Ia juga memberikan harta Baitul Mal (kas negara) kepada kerabat-kerabatnya sendiri. Instabilitas politik begitu terasa di masa pemerintahannya. Sejak saat itu, beberapa sahabat mulai menunjukkan ketidakpuasan terhadap Utsman.


Ringkas kisah, Utsman dibunuh oleh dua pemberontak yang identitasnya masih belum jelas. Dalam catatan As-Suyuti, Utsman terbunuh pada Jumat, 18 Dzulhijjah tahun 35 H. Jenazahnya dikebumikan di Baqi’ pada malam Sabtu, antara waktu Maghrib dan Isya. Ialah orang pertama yang dimakamkan di area yang kelak banyak keluarga Nabi dimakamkan di tempat itu.


Pambaiatan Ali bin Abi Thalib

Kondisi politik yang carut marut membuat masyarakat harus segera mengangkat kepala negara demi menjaga stabilitas. Orang-orang pun meminta Ali bin Abi Thalib untuk bersedia dibaiat menjadi pengganti Utsman. Alasan para sahabat memilih Ali adalah karena ia termasuk sahabat yang terlebih dulu masuk Islam dan paling dekat dengan Rasulullah.


Dengan tawadhu, Ali merasa belum layak untuk menerima penawaran itu. “Jangan begitu, aku lebih pantas menjadi seorang menteri daripada seorang kepala negara,” komplain Ali keberatan.


Ali meminta saran terebih dahulu pada ketiga sahabat yang terlibat Perang Badar, yaitu Thalhah, Zubair bin Awwam, dan Sa’ad bin Abi Waqash. Ketiga sahabat itu setuju jika Ali maju menjadi khalifah. Mereka pun membaiat Ali. Berikutnya, sahabat-sahabat yang lainnya juga ikut berbaiat. 


Tapi ada beberapa sahabat yang tidak setuju dengan keputusan ini dan enggan untuk berbaiat, di antaranya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Syam (Suriah) yang juga masih keluarga Utsman.


Alasan Muawiyah enggan membaiat Ali adalah karena permintaan Muawiyah terhadap Ali untuk segera menuntut balas (qisash) atas pembunuh Utsman tidak terpenuhi.


Selain itu, Ali juga bermaksud mencopot jabatan Muawiyah selaku gubernur di Syam sebagai langkah sterilisasi negara dari aparatur lama yang tidak satu visi. Muawiyah tidak setuju dan berargumen, yang berhak menentukan jabatan pemerintah bukan orang Madinah saja, mengingat semakin luasnya kekuasaan politik Islam.


Sampai pada puncaknya, meletuslah pertempuran antara Ali dan Muawiyah yang disebut Perang Shiffin pada bulan Shafar tahun 37 H. Dari peristiwa ini, umat terpecah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang setia dengan Ali dan kemudian dinamakan sebagai Syi’ah. Kedua, kelompok yang setia kepada Muawiyah. Ketiga, kelompok sempalan dari tentara Ali yang kemudian dikenal dengan Khawarij.


Dari polarisasi politis segi tiga ini, berujung pada terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun kelima kekhalilfahannya oleh Ibnu Muljam, seorang pengikut Khawarij.


Utamakan prasangka baik

Melihat situasi politik yang cukup panas pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, hingga terjadi peperangan antara dua kubu Ali dan Muawiyah, tidak menuntut kemungkinan menyisakan tanda tanya besar. Dari dua kubu itu, siapa yang benar dan siapa pula yang salah? Mengapa sekelas sahabat Nabi bisa melakukan perang sesama Muslim? Apakah ini menodai citra sahabat yang digaungkan sebagai generasi terbaik?


Pada posisi seperti ini, sikap yang harus kita kedepankan adalah tetap berperasangka baik pada kedua kubu. Jangan sampai kita terburu-buru menyimpulkan sehingga mencela sahabat Nabi. Rasulullah saw sendiri pernah bersabda,


لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ


Artinya: "Janganlah kalian mencela para sahabatku, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekiranya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai (pahala) satu mud atau setengahnya sekalipun dari sedekah salah seorang dari mereka.” (HR Bukhari)


Mengacu pada hadits di atas, Lembaga Fatwa Mesir dalam salah satu fatwanya menegaskan, haram hukumnya mencela sahabat Nabi sebab kekeliruan ijtihad yang dilakukan oleh mereka. Jika pun ijtihad mereka keliru, dimaaafkan dan tetap memperoleh satu pahala.


Perkaranya menjadi jelas, kasus konflik Ali dan Muawiyah adalah perbedaan hasil ijtihad yang kemudian mengakibatkan tarik ulur untuk menuntut balas atas kematian Utsman. Pihak Muawiyah berpendapat bahwa Ali berkewajiban untuk segara menuntut balas (qisash). Jika tidak, hemat Muawiyah, maka Ali termasuk orang yang zalim dan belum layak dibaiat sebagai khalifah.


Di sisi lain, ijtihad Ali berbeda dan lebih bijak. Baginya, kondisi negara yang sedang carut marut tidak bisa gegabah mengambil tindakan cepat untuk mengeksekusi pembunuh Utsman. Butuh suasana kondusif dan satu suara dari berbagai pihak. Belum lagi identias pembunuh Utsman yang belum jelas. Atas pertimbangan ini, Ali memutuskan untuk tidak bersikap buru-buru.


Muawiyah menganggap sikapnya sudah tepat dan Ali salah. Demikian juga Ali, sikap Muawiyah salah dan dirinya yang benar. Sikap yang berhadap-hadapan ini kemudian memicu ketegangan yang pada puncaknya memicu peperangan. (Dr. Inas Husni al-Bahji, Tarikhud Daulah al-Umawiyah, h. 98)


Menyikapi peristiwa Perang Shiffin, Imam An-Nawawi berkomentar, pertumpahan darah yang terjadi antara sahabat tidak masuk dalam ancaman hadits Nabi yang mengatakan, “Ketika dua Muslim bertemu (untuk berperang) saling menghunus pedang, maka baik yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka.” (HR Bukhari). Mazhab Ahlusunnah mengedepankan untuk tetap berperasangka baik kepada para sahabat. 


Dalam mazhab Ahlusunnah, ijtihad yang benar berada di pihak Ali. Dengan begitu, sikap Muawiyahlah yang salah. Meski begitu, karena ini ijtihad, pelaku ijtihad yang salah dimaafkan dan tetap mendapat satu pahala, tidak mendapat dosa. Sementara Ali mendapat dua pahala karena ketepatan hasil ijtihadnya. (An-Nawawi, Syarah Muslim, juz XVIII, h. 11)


Muhamad Abror, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma’had Saidusshiddiqiyah Jakarta