Ilmu Al-Qur'an

30 Juz Diselesaikan Berjamaah, Dapatkah Keutamaan Khataman Al-Qur’an?

Sel, 23 Juni 2020 | 08:00 WIB

30 Juz Diselesaikan Berjamaah, Dapatkah Keutamaan Khataman Al-Qur’an?

Tradisi mengkhatamkan Al-Qur’an via online layak kita dukung dalam rangka menjadikan media sosial sebagai sarana yang positif. (Ilustrasi: NU Online/Mahbib)

Kesadaran masyarakat akan pentingnya memanfaatkan media sosial untuk hal-hal yang positif rupanya betul-betul dirasakan saat ini. Kita dapat melihat di berbagai platform media sosial begitu banyak konten-konten keagamaan yang dibagikan para netizen, seperti ceramah keagamaan, majelis dzikir, dan berbagai aktivitas lain yang membuat media sosial bisa memberi manfaat dan bernuansa religius.


Realitas demikian tak lain disebabkan animo masyarakat untuk menjadikan media sosial sebagai ladang ibadah. Salah satu di antara ikhtiar tersebut adalah dengan mengagendakan khataman Al-Qur’an secara daring atau online. Hal ini biasanya dilakukan di grup-grup Whatsapp, di mana masing-masing anggota grup ditugaskan untuk membaca satu atau dua juz, hingga jika dijumlah semuanya mencapai 30 juz Al-Qur’an.


Apakah tradisi khataman Al-Qur’an dengan model demikian mendapatkan fadhilah (keutamaan) khatmil Qur’an? Pahala apa saja yang didapatkan dengan melakukan khataman Al-Qur’an via online ini?


Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan salah satu ibadah yang besar nilai pahala dan barakahnya. Salah satu fadhilahnya secara tegas dijelaskan dalam hadits:


إِذَا خَتَمَ الْعَبْدُ القُرْآنَ صَلَّى عَلَيْهِ عِنْدَ خَتْمِهِ سِتُّوْنَ أَلـْفِ مَلَكٍ 


“Apabila seseorang mengkhatamkan Al-Qur’an, maka 60.000 malaikat memohonkan rahmat untuknya pada saat khatamannya” (HR Ad-Dailami).


Dalam memaknai hadits di atas, para ulama cenderung mengartikan fadhilah tersebut didapatkan secara perseorangan, bukan bersifat kolektif. Sehingga fadhilah mengkhatamkan Al-Qur’an hanya diperuntukkan bagi orang yang membaca Al-Qur’an mulai dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat An-Nas secara sempurna. Pemaknaan ini salah satunya seperti yang disebutkan dalam kitab as-Siraj al-Munir Syarh al-Jami’ as-Shagir:


 ـ(إذا ختم العبد القرآن) أي كلّما قرأه من أوّله إلى آخره (صلى عليه عند ختمه ستون ألف ملك) أي استغفروا له. قال المناوي يحتمل أنّ هذا العدد يحضرون عند ختمه والظاهر أنّ المراد بالعدد التكثير لا التحديد


“Ketika seseorang mengkhatamkan Al-Qur’an, maksudnya ketika ia membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir, maka 60.000 malaikat memohonkan rahmat untuknya, maksudnya memintakan ampun untuknya. Imam al-Munawi berkata: ‘Maksud dari jumlah malaikat yang hadir saat khatam Al-Qur’an, secara jelas hanya sebatas menunjukkan arti banyak, bukan bilangan tertentu” (Syekh Ali bin Ahmad al-Azizi, as-Siraj al-Munir Syarh al-Jami’ as-Shagir, juz 1, Hal. 111)


Pemaknaan tersebut tak lain berdasarkan kandungan ‘urf dari lafadz dalam hadits yang hanya terkhusus pada perseorangan yang menyempurnakan membaca Al-Qur’an dari awal sampai akhir. Dalam kitab at-Tanwir Syarh Jami’ as-Shagir disebutkan:


ـ (ومن ختم القرآن) أي تمّه إلى آخره إذ هو عرف هذا اللفظ 


“Barang siapa yang mengkhatamkan Al-Qur’an, maksudnya menyepurnakan membaca Al-Qur’an sampai akhir/khatam, sebab makna ini merupakan ‘urf dari lafadz hadits tersebut” (Muhammad bin Isma’il al-Hasani, at-Tanwir Syarh Jami’ as-Shagir, juz 10, hal. 295)


Maka dapat disimpulkan bahwa tradisi khataman Al-Qur’an secara daring tidak termasuk kategori mengkhatamkan Al-Qur’an yang dimaksud dalam beberapa hadits, sehingga tidak betul jika dipahami bahwa khataman via online mendapatkan fadhilah khatmil Qur’an. 


Meski tidak mendapatkan fadhilah khatmil Qur’an, mengkhatamkan Al-Qur’an secara berjamaah via online bukan berarti tak bermanfaat dan tak berpahala sama sekali. Di zaman ini, cara khataman daring bisa memotivasi orang lain untuk membaca atau mendengarkan Al-Qur’an, serta mendapatkan fadhilah berkumpul dalam majelis Al-Qur’an.


Mengenai fadhilah berkumpul dalam majelis Al-Qur’an, salah satunya disebutkan dalam hadits:


وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ، وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ، إِلَّا نَزَلَتْ عَلَيْهِمْ السَّكِينَةُ، وَغَشِيَتْهُمْ الرَّحْمَةُ، وَحَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِيمَنْ عِنْدَهُ رواه أحمد


“Tidak berkumpul suatu kaum di rumah dari rumah-rumah Allah (masjid) sembari melantunkan Al-Qur’an dan saling mempelajari Al-Qur’an di antara mereka, kecuali turun pada mereka ketenangan, rahmat Allah menaungi mereka, malaikat mengelilingi mereka dan Allah menyebut mereka dalam golongan orang yang ada di sisi-Nya” (HR Ahmad).


Maksud dari redaksi “rumah Allah” dalam hadits di atas adalah masjid. Namun, para ulama berpandangan bahwa penyebutan kata “rumah Allah” yang berarti masjid dalam hadits di atas bukanlah sebuah pengkhususan, sebab fadhilah berkumpul dalam majelis Al-Qur’an juga didapatkan bagi orang yang berkumpul di tempat-tempat yang lain, termasuk via Online. Pandangan ini seperti yang dijelaskan Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh an-Nawawi li al-Muslim:


ويلحق بالمسجد في تحصيل هذه الفضيلة الاجتماع فى مدرسة ورباط ونحوهما إن شاء الله تعالى ويدل عليه الحديث الذي بعده فإنه مطلق يتناول جميع المواضع ويكون التقييد في الحديث الأول خرج على الغالب لا سيما في ذلك الزمان فلا يكون له مفهوم يعمل به


“Disamakan dengan masjid dalam hasilnya fadhilah yaitu berkumpul di madrasah, pondok dan tempat-tempat sesamanya, Insya Allah. Hal ini ditunjukkan dengan hadits setelahnya yang berlafalkan mutlak, sehingga mencakup semua tempat. Maka memberi batasan makna dalam hadits pertama keluar dari pemahaman umum, terlebih pada zaman tersebut. Maka tidak ada mafhum yang dapat diamalkan” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarh an-Nawawi li al-Muslim, juz 17, hal. 22)


Dengan demikian, tradisi mengkhatamkan Al-Qur’an via online layak kita dukung dan apresiasi setinggi-tingginya dalam rangka menjadikan media sosial sebagai sarana yang positif, sebab dalam tradisi ini terdapat pahala yang amat besar, seperti membiasakan diri kita membaca Al-Qur’an, mendorong orang lain membaca Al-Qur’an dan berkumpul dalam majelis Al-Qur’an. Namun meski begitu, tradisi ini tidak perlu dipromosikan dengan iming-iming yang terlalu berlebihan dan tidak benar menurut pandangan para ulama salafus shalih, seperti menganggap tradisi ini mendapatkan fadhilah khatmil Qur’an, sehingga dianggap sama dengan mengkhatamkan Al-Qur’an secara keseluruhan yang dilakukan oleh satu orang. Dengan memberikan pemahaman yang benar tentang tradisi ini, masyarakat akhirnya dapat lebih ikhlas dalam beramal dan lebih mengerti tentang batasan fadhilah yang didapatkan dalam tradisi khataman via online ini. Wallahu a’lam


Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pon. Pes. Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember