Ilmu Hadits

Hadits Tidak Masuk Akal, Apakah Diterima?

Sel, 28 November 2023 | 12:00 WIB

Hadits Tidak Masuk Akal, Apakah Diterima?

Ilustrasi: Kitab Kuning (Suwitno - NU Online)

Banyak ungkapan bahwa para pengkaji hadits sedikit sekali menyentuh kritik matan hadits, sehingga terkadang pembaca hadits menemukan suatu hadits yang sanadnya dihukumi shahih, namun matannya sulit dicerna dengan akal.
 

Faktanya memang demikian, keshahihan suatu hadits sepanjang sejarah kodifikasi dan periwayatannya memang lebih didominasi dengan kritis sanad, dibanding kritik matan hadits. Meskipun demikian, perlu diketahui bahwa aktivitas kritik yang muncul dalam dunia Islam adalah kritik matan hadits, yaitu ketika para Sahabat Nabi menanyakan perihal keagamaan dan persoalan hidup yang berkaitan dengan hukum Islam dan Nabi pun menjawabnya. Itulah kritik matan hadits yang muncul pada masa Nabi dan bentuknya masih sederhana.
 

Imam As-Syafi’i pun mengakui bahwa kebanyakan hadits diterima riwayatnya karena faktor kejujuran (shidq) perawi yang menjadikan hadits diterima dan juga kebohongan (kidzb) perawi yang menjadikan hadits tidak diterima. Imam As-Syafi’i berkata dalam Ar-Risalah:
 

ولا يستدل على أكثر صدق الحديث وكذبه إلا بصدق المخبر وكذبه، في الخاص القليل من الحديث وذلك أن يستدل على الصدق والكذب فيه بأن يحدث المحدث ما لا يجوز أن يكون مثله أو ما يخالفه ما هو أثبت وأكثر دلالات بالصدق منه
 

Artinya, “Istidlal terhadap shahih dan tidaknya hadits kebanyakan didasarkan pada kejujuran dan ketidakjujuran penyampainya, kecuali dalam hadits khusus yang sedikit jumlahnya. Jumlah sedikit tersebut praktiknya adalah si perawi menyampaikan hadits yang tidak selayaknya disampaikan perawi lain, atau menyelisihi riwayat lain yang lebih kuat dan tetap kebenarannya.” (Imam As-Syafi’i, Ar-Risalah, [Mesir: Darul Wafa, 2001], 183).
 

Lantas mengapa kebanyakan hadits ditetapkan melalui proses periwayatan lisan dari satu rawi ke rawi lain dengan meninjau kredibilitas perawinya? 
 

Alasannya karena rumit untuk mematenkan kebenaran suatu hadits menggunakan akal, sebab ada potensi benar salah dalam akal yang bentuknya relatif, yang tidak didapatkan validitasnya kecuali melalui tinjauan kredibilitas setiap perawi di tiap tingkatan sanad.
 

Misal saja, hadits terkait Nabi saw makan dengan tangan kanannya, dan minum dengan tiga nafas. Jika wadah minuman didekati ke mulut beliau, beliau menyebut nama Allah Ta’ala. Jika selesai satu nafas, beliau bertahmid (memuji) Allah Ta’ala. Beliau lakukan seperti ini tiga kali, dan hadits-hadits sejenisnya.
 

Hadits-hadits terkait perkara di atas, jika dihukumi rasional atau irasionalnya, masuk akal atau tidaknya, maka dalam hal ini akal pun tidak dapat menyaring kebenarannya. Sebab apabila Nabi saw melakukan praktik-praktik seperti di atas, maka sah-sah saja. Begitu pun sebaliknya, jika tidak melakukan praktik di atas pun, tetap masuk akal.
 

Kendati demikian, diterima atau tidaknya suatu hadits tidak selalu berdasarkan keshahihan sanadnya saja, ahli hadits pun melibatkan akal ketika mengoreksi matan hadits, bahkan ada hadits yang secara sanad shahih namun matannya tidak masuk akal, maka haditsnya ditolak. Misalnya hadits:
 

  أكذب الناس الصباغون والصواغون 
 

Artinya, “Manusia paling pendusta adalah tukang celup dan tukang emas.” (Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra).
 

Secara akal, tidak mungkin pandai besi dan juga pengrajin logam mulia dicap sebagai orang yang paling suka berbohong, sebab di setiap profesi tentu ada orang-orang yang jujur, juga oknum-oknum yang berbohong dan cenderung melakukan penipuan.

Meski tidak dominan, dapat disimpulkan bahwa akal berperan dalam menyeleksi hadits-hadits Nabi. Hal ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Khathib Al-Baghdadi, bahwa khabar itu ada tiga macam: pertama yang diketahui keshahihannya, kedua yang diketahui rusaknya, dan yang ketiga tidak diketahui apakah shahih atau tidak.

Dalam mencerna jenis kedua, hadits yang diketahui rusak atau ketidakbenarannya, salah satu caranya adalah dengan menggunakan akal. Al-Khathib menyatakan:
 

وأما الضرب الثاني وهو ما يعلم فساده، فالطريق إلى معرفته أن يكون مما تدفع العقول صحته بموضوعها والأدلة المنصوصة فيها
 

Artinya, “Adapun jenis yang kedua, yaitu yang diketahui kerusakan haditsnya, maka cara mengetahuinya adalah dengan mendeteksi kecenderungan akal mengenai keshahihannya dan dalil-dalil yang tertulis pada teks hadits.” (Mushtafa Azami, Manhajun Naqd ‘indal Muhadditsin, [Maktabah al-Kautsar, 1990], hal. 85).
 

Kritik atas suatu hadits menggunakan akal juga dapat digunakan ketika melihat suatu hadits namun substansinya seolah tidak pernah terjadi sesuai realita pada masa Nabi saw, misalnya adalah hadits tentang aliran-aliran ilmu kalam seperti:
 

عن عبد الله بن عمر؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لكل أمة مجوس، ومجوس أمتي الذين يقولون: لا قدر. إن مرضوا فلا تعودوهم، وإن ماتوا فلا تشهدوهم
 

Artinya, “Dari Abdullah ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Bagi tiap-tiap umat ada Majusinya, dan Majusi umatku ialah orang-orang yang mengatakan tidak ada takdir, jika mereka sakit, jangan jangan kalian jenguk, dan jika mereka mati, jangan kalian saksikan (menghadiri jenazah mereka’.” (HR Abu Dawud).
 

Apabila menilik realita di masa Nabi saw hidup, aliran-aliran teologis belum lahir dan belum tampak di tengah-tengah Sahabat ketika itu, kecuali kelompok Khawarij yang sudah muncul pada masa Nabi dengan pembangkangan yang dilakukan salah satu oknum pasca perang terkait pembagian Ghanimah. 
 

Namun kelompok seperti Qadariyah, Jabbariyah, Rafidhah, Jahmiyyah, Murjiah dan lain-lain belum hadir secara spesifik kala itu, sehingga hadits di atas dapat dinyatakan lahir akibat perpecahan umat Islam kepada beberapa aliran teologis ketika perang politik bergema di masa fitnah.
 

Mengutip Musthafa Azami dalam Manhajun Naqd ‘Muhadditsin, Ibnul Qayyim pernah menyusun kriteria bagaimana cara mengetahui bahwa suatu hadits palsu, di antaranya adalah menggunakan akal sebagai penyeleksi dan penyaring kabar. Misalnya hadits yang menggunakan spekulasi dan tidak pernah dicontohkan Nabi saw, semisal hadits: 
 

من قال لا إله إلا الله خلق الله من تلك الكلمة طائرا له سبعون ألف لسان لكل لسان سبعون ألف لغة يستغفرون الله له
 

Artinya, “Siapa yang mengucapkan Laa ilaha illallah maka Allah, dari kalimat tersebut, akan menciptakan sebuah burung yang memiliki 70.000 lisan. Setiap lisan memiliki 70.000 bahasa yang meminta ampun kepada Allah untuknya.”
 

Misal lain adalah hadits yang berkaitan dengan khasiat suatu makanan secara spesifik beserta ganjaran dan keutamaannya, misalnya hadits:
 

الباذنجان لما أُكل له
 

Artinya, “Terong itu berkhasiat sesuai dengan niat orang yang memakannya.”
 

Selain itu, hadits-hadits yang tidak menyerupai kalam Nabi saw, misalnya hadits yang menyifati Allah dengan jelas, atau menunjukkan fanatik kesukuan, yaitu:
 

إن الله إذا غضب أنزل الوحي بالعربية وإذا رضى أنزل الوحي بالفارسية
 

Artinya, “Sesungguhnya Allah apabila marah, maka Dia menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Apabila reda marahnya, maka Dia menurunkan wahyu dalam bahasa Persia.”
 

Kesimpulannya, akal berperan penting dalam keshahihan hadits, meski validitasnya tidak selalu ditentukan dengan kebenaran akal, namun oleh kredibiltas perawi dan ketersambungan sanad. Matan yang tidak masuk akal dan tidak selaras dengan syariat serta gaya kalam Nabi saw pun sewajarnya masuk dalam kategori dha’if. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Ilmu Hadits Darus-Sunnah