Amien Nurhakim
Penulis
Beberapa hari lalu kebakaran hebat melanda Los Angeles, California, Amerika Serikat. Kebakaran ini menghanguskan ribuan hektar lahan dan merembet ke kawasan permukiman, termasuk Hollywood Hills.
Kebakaran ini disebut-sebut sebagai salah satu badai api terparah dalam sejarah Los Angeles, menyoroti betapa rentannya wilayah tersebut terhadap bencana kebakaran hutan.
Tragedi kebakaran yang baru saja terjadi di Los Angeles mengingatkan kita akan pentingnya kewaspadaan terhadap bahaya api, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw dalam berbagai haditsnya.
Pada masanya, Rasulullah saw memberikan panduan praktis untuk mencegah kebakaran untuk para sahabat, seperti memadamkan api sebelum tidur, menutup pintu, dan memastikan sumber-sumber api terkendali.
Meskipun kita panduan yang diberikan Nabi saw di masa tersebut ternilai cukup sederhana, namun relevansinya masih dapat diaplikasikan di masa kini, yang mana risiko kebakaran sering kali meningkat akibat penggunaan listrik dan teknologi lainnya.
Nabi Muhammad saw memberikan panduan untuk menjaga keselamatan dan mencegah bahaya, termasuk risiko kebakaran. Berikut adalah beberapa hadits tentang hal tersebut, dilengkapi dengan teks Arab, terjemahan, dan penjelasan ringan:
1. Jangan Tinggalkan Api saat Tidur
لَا تَتْرُكُوا النَّارَ فِي بُيُوتِكُمْ حِينَ تَنَامُونَ؛ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya, “Jangan tinggalkan api di rumah kalian ketika tidur.” (Muttafaqun ‘alaih).
Hadits anjuran memadamkan api sebelum tidur memiliki makna yang perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dalam penjelasan An-Nawawi, perintah dalam hadits di atas mencakup segala jenis sumber api, termasuk lentera, lilin, atau lampu minyak.
Namun, jika api atau lampu dianggap aman dari risiko kebakaran, seperti lampu gantung di masjid yang biasanya tidak membahayakan, maka hukum larangan tersebut tidak berlaku. Hal ini didasarkan pada kaidah bahwa larangan dalam syariat sering kali bergantung pada adanya sebab atau alasan tertentu. (Syarh Shahih Muslim, [Beirut: Darul Kitab al-‘Arabi, 1987], jilid V, halaman 193).
Dalam konteks masa kini, tindakan preventif terhadap kebakaran dapat disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan situasi modern. Sebagaimana perintah dalam hadits di atas yang bertujuan untuk mencegah risiko kebakaran, tindakan serupa dapat diimplementasikan dengan memastikan penggunaan peralatan listrik yang aman, memeriksa instalasi listrik secara berkala, serta menggunakan alat pendeteksi asap atau alarm kebakaran di rumah dan tempat umum.
2. Api sebagai Musuh
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: احْتَرَقَ بَيْتٌ بِالْمَدِينَةِ عَلَى أَهْلِهِ مِنَ اللَّيْلِ، فَحَدَّثَ بِشَأْنِهِمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِنَّ هَذِهِ النَّارَ إِنَّمَا هِيَ عَدُوٌّ لَكُمْ، فَإِذَا نِمْتُمْ فَأَطْفِئُوهَا عَنْكُمْ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ
Artinya, "Dari Abu Musa ra, ia berkata: 'Sebuah rumah di Madinah terbakar pada malam hari yang merugikan keluarga penghuninya.' Nabi saw mengomentari peristiwa tersebut: 'Sesungguhnya api ini adalah musuh kalian. Jika kalian hendak tidur, matikanlah api!'.” (HR Al-Bukhari).
Bagaimana mungkin api, yang bersifat netral dan dapat digunakan baik untuk hal yang bermanfaat maupun berbahaya, disebut sebagai ‘musuh’ oleh Nabi saw? Dari sini perlu kita lacak kembali, apa makna hadits di atas.
Jika merujuk pada penjelasan Ibnu ‘Arabi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar, ia mengatakan:
“Api disebut sebagai musuh karena sifatnya yang dapat merusak tubuh dan harta, seperti halnya musuh yang membawa bahaya. Meski api bermanfaat, manfaatnya hanya bisa diperoleh dengan pengendalian yang tepat. Karena itu, api dianggap sebagai musuh karena potensi bahayanya. Wallahu a'lam.” (Fathul Bari, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1379], jilid XI, halaman 86).
Sebab itulah, Nabi saw mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan api, karena potensi bahayanya lebih besar jika tidak diawasi. Walhasil, api disebut sebagai musuh untuk menekankan pentingnya kewaspadaan saat menggunakannya.
3. Memadamkan Kebakaran dengan Takbir
إِذَا رَأَيْتُمُ الْحَرِيقَ فَكَبِّرُوا؛ فَإِنَّ التَّكْبِيرَ يُطْفِئُهُ
Artinya, “Jika kalian melihat kebakaran, bertakbirlah; karena takbir dapat memadamkannya.” (HR At-Thabarani dalam Ad-Du’a, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: 1413], jilid I, halaman 307).
Hadits memadamkan kebakaran dengan mengucap takbir seringkali menimbulkan pertanyaan tentang relevansi dan aplikasinya dalam konteks kita sekarang. Secara logis, api yang sedang melalap sebuah bangunan tentu membutuhkan tindakan nyata, seperti memanggil petugas pemadam kebakaran atau menggunakan alat pemadam api. Mengandalkan takbir saja tanpa tindakan fisik mungkin tampak tidak efektif di mata banyak orang. Bahkan mungkin menimbulkan keheranan.
Namun, hadits ini tidak dapat dipahami secara harfiah saja. Al-Hafizh Al-Munawi menyebutkan bahwa takbir adalah bentuk ungkapan ikhtiar spiritual yang menyatakan keyakinan pada kekuatan Allah. Dengan kuasanya, Allah dapat menghidupkan serta memadamkan api. (Faidhul Qadir, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: 1994], jilid VI, halaman 418).
Karena itu, takbir di sini dipahami sebagai ungkapan pengakuan bahwa Allah memiliki kuasa atas segala sesuatu, termasuk api. Dengan kata lain, takbir berfungsi sebagai pelengkap spiritual, sedangkan tindakan nyata, seperti memadamkan api secara langsung, tetap menjadi kewajiban.
Dengan demikian, hadits ini seharusnya dipahami sebagai pengingat akan pentingnya menggabungkan usaha fisik dengan kekuatan doa dalam menghadapi bencana.
Di sisi lain, boleh jadi, perintah bertakbir dalam hadits tersebut muncul dari keyakinan pada masa itu bahwa api adalah simbol atau cerminan dari setan, yang diciptakan dari api dan erat kaitannya dengan tindakan kerusakan. (Al-Munawi, VI/419).
Kebakaran, yang mencerminkan tindakan destruktif setan, dapat dipadamkan dengan takbir sebagai perwujudan kebesaran Allah yang mampu mengalahkan pengaruh setan. Menurut hemat kami, hadits ini juga dapat dimaknai secara metaforis, yang mana api menggambarkan kesombongan yang cenderung mencari keunggulan dan menyebabkan kerusakan.
Dengan membesarkan nama Allah melalui takbir, kesombongan tersebut dapat diredam dan dihancurkan oleh kebesaran-Nya, sehingga segala bentuk kerusakan dan kehancuran yang disimbolkan oleh api dapat dipadamkan.
Perlu diingat, status hadits satu ini diperdebatkan keshahihannya di kalangan kritikus hadits. Salah satunya Ibnu Hajar al-‘Asqallani dalam Al-Mathalibul ‘Aliyah (2000: XIV/134), yang menghukumi hadits ini sebagai mursal dan hasan.
Mursal sendiri merupakan hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tanpa melalui sahabat sebagai perantara antara Rasulullah saw dengan tabi’in tersebut, sedangkan hasan merupakan derajat validitas hadits yang lebih rendah dari shahih.
Hadits-hadits Nabi Muhammad saw di atas memberikan pelajaran dalam menghadapi bahaya api dan kebakaran dengan langkah-langkah preventif. Pesan-pesan tersebut, meskipun berasal dari masa lalu, tetap relevan di era kita saat ini, dengan berbagai tantangan baru, termasuk risiko kebakaran akibat teknologi yang manusia ciptakan sendiri. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta
Terpopuler
1
Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora
2
Khutbah Jumat: Cara Meraih Ketenangan Hidup
3
Munas NU 2025 Putuskan 3 Hal tentang Penyembelihan dan Distribusi Dam Haji Tamattu
4
Gus Baha: Jangan Berkecil Hati Jadi Umat Islam Indonesia
5
Khutbah Jumat: Etika Saat Melihat Orang yang Terkena Musibah
6
Munas NU 2025: Hukum Kekerasan di Lembaga Pendidikan adalah Haram
Terkini
Lihat Semua