Kajian Hadits: Anjuran Segera Menikah bagi Pemuda Mapan
Sabtu, 9 November 2024 | 21:00 WIB
Muhaimin Yasin
Kolomnis
Pengaruh perkembangan zaman yang semakin kompleks kerap membuat pemuda terjebak dalam zona nyaman. Tuntutan hidup yang semakin tinggi dan harapan yang tidak sesuai dengan realita menjadikan mereka sulit untuk menentukan arah kebijakan di masa mendatang. Terlebih dalam urusan pernikahan, banyak dari pemuda menunda pernikahannya karena sibuk mengejar karir dan pencapaian tertentu.
Bahkan kini di Indonesia, jumlah pemuda yang melangsungkan pernikahan kian hari semakin berkurang. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun waktu 6 tahun terakhir, angka pernikahan di Indonesia yang tercatat terus mengalami penurunan yang signifikan.
Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ibadah panjang yang harus disegerakan. Apabila seorang pemuda telah mapan dan dianggap mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga, maka tidak ada alasan untuk menunda-nunda pernikahan. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: “Dari Abdullah, dia berkata: bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, siapa saja yang telah mampu di antara kalian maka hendaklah ia menikah. Sebab nikah itu merupakan hal yang paling bisa menundukkan pandangan dan pemelihara kemaluan. Namun, siapa saja yang belum mampu, maka berpuasalah. Karena puasa adalah sebagai perisainya.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim menjelaskan, menurut ahli bahasa bahwa kata ‘الْمَعْشَرُ’ dalam hadits tersebut berarti kelompok yang memiliki sifat umum tertentu. Maka dalam redaksinya bisa diartikan sebagai sekelompok orang. Kemudian lebih dirinci lagi dengan kata setelahnya, bahwa lafadz ‘الشَّابُّ/ الشَّبَابِ’ yakni orang yang baligh dan usianya belum melebihi 30 tahun.
Sedangkan makna lafaz ‘الْبَاءَةَ’ secara bahasa mempunyai arti bersetubuh, diambil dari kata ‘الْمَبَاءَةِ’ yang berarti tempat tinggal. Lalu penggunaan kata tersebut dalam konteks ikatan pernikahan ialah pada dasarnya laki-laki yang akan menikahi perempuan, harus menyediakan tempat tinggal untuknya.
Selanjutnya, para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kata ‘الْبَاءَةَ’. Ada yang mengartikannya dengan bersetubuh sehingga apabila diartikan secara keseluruhan, “siapa saja yang telah sanggup di antara kalian untuk bersetubuh (menyetubuhi wanita)”, dalam artian selanjutnya adalah kapasitas kesanggupannya dalam menafkahi, maka menikahlah. Namun, siapa saja yang tidak mampu (lemah) maka hendaklah orang tersebut berpuasa untuk mengatasi gejolak syahwat dan memutus kemungkinan-kemungkinan buruk karenanya, sebagaimana fungsi perisai.
Pendapat yang kedua, kata ‘الْبَاءَةَ’ memiliki makna nafkah (materi). Dengan demikian, apabila hadits tersebut diterjemahkan secara umum, “siapa saja yang telah sanggup di antara kalian untuk menafkahi, maka hendaklah menikah” siapa yang tidak mampu, maka berpuasalah.
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ الْأَمْرُ بِالنِّكَاحِ لِمَنِ اسْتَطَاعَهُ وَتَاقَتْ إِلَيْهِ نَفْسُهُ وَهَذَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ لَكِنَّهُ عِنْدَنَا وَعِنْدَ الْعُلَمَاءِ كَافَّةً أَمْرُ نَدْبٍ لَا إِيجَابَ فَلَا يَلْزَمُ التَّزَوُّجُ وَلَا التَّسَرِّي سَوَاءٌ خَافَ الْعَنَتَ أَمْ لَا هَذَا مَذْهَبُ الْعُلَمَاءِ كَافَّةً
Artinya: “Dalam hadits ini menjelaskan tentang perintah (wajib) nikah bagi siapa saja yang sanggup untuk melaksanakannya dan untuk orang yang memiliki hasrat tinggi. Ini merupakan kesepakatan (sebagian ulama). Namun di kalangan kami dan mayoritas ulama, bahwa hadits ini hanya bersifat anjuran. Tidak ada kewajiban, keharusan dan pembebanan untuk menikah. Sama saja, entah itu dikhawatirkan zina atau tidak. Ini menurut mazhab kami.” (Imam Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim, [Beirut: Darul Ihya At-Turats, 1972] jilid IX, halaman 173)
Selanjutnya, Syekh Isma’il al-Anshari dalam kitab Al-Ilmam bi Syarh Umdatil Ahkam, menjelaskan bahwa terdapat beberapa poin penting dari penyampaian hadits ini, yaitu:
- Menganjurkan orang yang sanggup menikah, apabila dirinya sudah memiliki hasrat,
- Mengarahkan orang yang tidak mampu (lemah) dalam memenuhi nafkah untuk berpuasa,
- Menikah dalam konteks hadits tersebut adalah bersetubuh, oleh karena itu dijelaskan tentang kesanggupan laki-laki.
- Anjuran menjaga pandangan dan memelihara kemaluan di manapun berada.
- Tidak ada paksaan terhadap orang yang tidak mampu menikah. (Syekh Isma’il al-Anshari, Al-Ilmam bi Syarh Umdatul Ahkam, [Mesir: Mathba’ah As-Sa’adah, 1982] jilid 2, halaman 58)
Selain itu, Muhammad al-Amin al-Harari dalam Al-Kaukabul Wahaj Syarh Shahih Muslim, menjelaskan alasan pemuda yang disinggung dalam hadits tersebut. Sebab secara umum, ketertarikan untuk menikah itu hanya ada atau lebih tinggi pada diri pemuda, berbeda dengan orang tua.
Sedangkan maksud dari ‘siapa saja di antara kalian yang sanggup’ dalam hadits tersebut yaitu bagi siapa saja yang telah mapan dan siap untuk nikah. Yakni, mampu menyiapkan hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, seperti mahar dan nafkah setiap hari. (Muhammad al-Amin al-Harari, Al-Kaukabul Wahaj Syarh Shahih Muslim, [Saudi: Darul Minhaj, 2009] jilid 15, halaman 200)
Terakhir, Syekh Muhammad bin Ali al-Athyubi dalam Al-Bahrul Muhith, memberikan penjelasannya mengenai hadits anjuran menikah bagi pemuda mapan tersebut. Dijelaskannya, suatu hari Abdurrahman bin Yazid bersama saudaranya Al-Aswad bin Yazid masuk ke rumah Abdullah Ibnu Mas’ud. Ketika mereka bertemu, Abdullah Ibnu Mas’ud membacakan hadits ini. Oleh karena itu, Abdurrahman bin Yazid menduga dan menyimpulkan bahwa hadits yang baru saja disampaikan kepadanya ini, memang ditujukan kepada Ibnu Mas’ud sendiri sebab pada saat itu ia masih muda.
Hal ini mengisyaratkan kepada Ibnu Mas’ud untuk menikah apabila ia telah mapan. Namun jika belum, maka dia harus berpuasa. Pasalnya, pemuda adalah tempat gejolak syahwat sehingga dikhawatirkan akan terjadi dan melakukan hal-hal yang terlarang. (Muhammad bin Ali al-Athyubi, Al-Bahrul Muhith ats-Tsajaj fii Syarh Shahih al-Imam Muslim, [Riyadh: Darul Ibnu Jauzi, 2014] jilid 25, halaman 32)
Mengingat hal tersebut, para pemuda yang sudah mapan dan memiliki hasrat untuk menikah, sangat dianjurkan untuk segera menikah. Berdasarkan imbauan yang sudah disampaikan oleh Rasulullah saw dan dirincikan oleh para ulama. Namun, jika belum sanggup, maka sebaiknya berpuasa terlebih dahulu. Wallahu a’lam
Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman
Terpopuler
1
Ketum PBNU dan Kepala BGN akan Tanda Tangani Nota Kesepahaman soal MBG pada 31 Januari 2025
2
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
3
Rahasia Mendidik Anak Seperti yang Diajarkan Rasulullah
4
Pemerintah Keluarkan Surat Edaran Pembelajaran Siswa Selama Ramadhan 2025
5
5 Masalah Bakal Dibahas Komisi Maudhu'iyah di Munas NU 2025, Berikut Alasannya
6
Larangan Justifikasi Kebakaran California sebagai Azab
Terkini
Lihat Semua