Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis

Ahad, 19 Januari 2025 | 20:00 WIB

Kajian Hadits: Berjabat Tangan dengan Lawan Jenis

Ilustrasi jabat tangan. (Foto: NU Online/Canva)

Beberapa waktu terakhir, media internasional ramai memberitakan insiden diplomatik yang melibatkan pejabat Suriah. Menteri Luar Negeri Suriah menarik perhatian setelah menolak berjabat tangan dengan rekan sejawatnya dari Jerman, Annalena Baerbock, dalam pertemuan resmi.

 

Insiden serupa juga mengemuka saat diskusi antara pejabat Suriah dan Perancis. Pejabat Suriah tersebut menjelaskan bahwa keputusannya didasarkan pada keyakinan Islam, yang melarang kontak fisik dengan lawan jenis kecuali dalam batasan tertentu.

 

Kejadian ini memicu perdebatan global mengenai batasan interaksi antar-gender dalam perspektif Islam, terutama dalam konteks budaya dan hukum internasional. Reaksi yang beragam bermunculan, mulai dari kritik tajam terhadap sikap tersebut, hingga dukungan atas komitmen terhadap prinsip-prinsip agama yang dianut.

 

Islam memandang interaksi antara laki-laki dan perempuan dengan serius, termasuk soal berjabat tangan. Dalam konteks ini, salah satu ayat yang sering dikaitkan adalah Surah Al-Mumtahanah (60:12):

 

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ اِذَا جَاۤءَكَ الْمُؤْمِنٰتُ يُبَايِعْنَكَ عَلٰٓى اَنْ لَّا يُشْرِكْنَ بِاللّٰهِ شَيْـًٔا وَّلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِيْنَ وَلَا يَقْتُلْنَ اَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِيْنَ بِبُهْتَانٍ يَّفْتَرِيْنَهٗ بَيْنَ اَيْدِيْهِنَّ وَاَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِيْنَكَ فِيْ مَعْرُوْفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ۝١٢

 

Artinya, “Wahai Nabi, apabila perempuan-perempuan mukmin datang kepadamu untuk mengadakan baiat (janji setia) bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, terimalah baiat mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

 

Ayat di atas menjelaskan soal baiat para sahabat perempuan kepada Nabi Muhammad, yang merupakan bentuk janji setia untuk menaati ajaran Islam dan meninggalkan perbuatan dosa. Baiat ini mencakup komitmen untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak, tidak berdusta, dan tidak mendurhakai Nabi dalam perkara kebaikan.

 

Berdasarkan ayat di atas, muncul pertanyaan tentang bagaimana cara Nabi membaiat para perempuan tersebut. Apakah beliau melakukannya dengan berjabat tangan atau tidak? Riwayat-riwayat yang menjelaskan tata cara baiat ini menjadi landasan penting dalam pandangan hukum Islam terkait berjabat tangan dengan lawan jenis.

 

Salah satu hadits yang mendeskripsikan kondisi pembaiatan tersebut adalah riwayat dari Ummu ‘Aiman binti Ruqaiqah RA, yang berkata:

 

أتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم في نسوة يبايعنه فقلن: نبايعك يا رسول الله على أن لا نشرك بالله شيئا ولا نسرق ولا نزني ولا نقتل أولادنا ولا نأتي ببهتان نفتريه بين أيدينا وأرجلنا ولا نعصيك في معروف فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (فيما استطعتن وأطقتن) قالت : فقلت : الله ورسوله أرحم بنا من أنفسنا هلم نبايعك يا رسول الله فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إني لا أصافح النساء إنما قولي لمئة امرأة كقولي لامرأة واحدة أو مثل قولي لامرأة واحدة)

 

Artinya, “Aku mendatangi Rasulullah SAW bersama beberapa perempuan lainnya untuk berbaiat kepada beliau. Kami berkata, ‘Kami berbaiat kepadamu, wahai Rasulullah, untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak membuat kebohongan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki kami, dan tidak mendurhakaimu dalam hal yang baik.’ Rasulullah SAW kemudian bersabda, ‘(Baiatlah) sejauh kemampuan dan kekuatan kalian.’ Aku berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengasihi kami daripada diri kami sendiri. Mari kami berbaiat kepadamu, wahai Rasulullah.’ Rasulullah menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan perempuan. Perkataanku kepada seratus perempuan sama dengan perkataanku kepada satu perempuan, atau [dalam riwayat lain] seperti perkataanku kepada satu perempuan’.” (HR Ibnu Hibban).

 

Hadits di atas menegaskan bahwa Rasulullah tidak berjabat tangan dengan perempuan dalam proses baiat, meskipun baiat tersebut adalah bentuk janji kesetiaan yang serius kepada Islam. Sebagai gantinya, beliau menggunakan kata-kata untuk menyatakan penerimaan baiat, yang menunjukkan bahwa komunikasi verbal lebih dari cukup untuk menyampaikan komitmen tersebut.

 

Dalam hadits lain, riwayat ath-Thabrani, lebih detail lagi disebutkan bahwa Asma binti Yazid mencoba bersalaman dengan Nabi ketika proses baiat, namun Nabi menarik kembali tangannya. Berikut haditsnya:

 

شهر بن حوشب أنه لقي أسماء بنت يزيد قال : فحدثتني: أنها بايعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يوم بايع النساء فمدت يدها لتبايعه فقبض يده وقال: إني لا أصافح النساء ولكن إنما آخذ عليهن بالقول

 

Artinya, “Syahr bin Hausyab berkata bahwa ia bertemu dengan Asma binti Yazid. Ia berkata kepadaku: ‘Aku berbaiat kepada Rasulullah SAW pada hari baiat perempuan. Maka aku mengulurkan tanganku untuk berbaiat kepada beliau, tetapi beliau menarik tangannya dan bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan perempuan, tetapi aku hanya mengambil baiat mereka dengan ucapan”.’” (HR Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).

 

Hadits selanjutnya adalah riwayat Ath-Thabrani dengan redaksi yang sedikit berbeda, yaitu ketika Ummu ‘Aiman binti Ruqaiqah bertanya mengapa Rasulullah tidak menjabat tangannya saat proses baiat. Haditsnya adalah:

 

أميمة بنت رقيقة قالت: أتيت النبي صلى الله عليه وسلم في نسوة أبايعه، فاشترط علينا ما في القرآن: {ولا يسرقن ولا يزنين ولا يقتلن أولادهن ولا يأتين ببهتان يفترينه}. ثم قال لنا: فيما استطعتن وأطقتن. قلنا: الله ورسوله أرحم بنا من أنفسنا. قلنا: يا رسول الله ألا تصافحنا؟ قال: إني لا أصافح النساء، إنما قولي لامرأة كقولي لمائة امرأة

Artinya, “Ummu ‘Aiman binti Ruqaiqah berkata: “Aku mendatangi Nabi Muhammad bersama beberapa perempuan lainnya untuk berbaiat kepada beliau. Beliau mensyaratkan kepada kami apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an: ‘Dan mereka tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka, dan tidak membuat kebohongan yang mereka ada-adakan.’ Kemudian beliau berkata kepada kami, ‘Baiatlah sejauh yang kalian mampu dan kuat.’ Kami berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengasihi kami daripada diri kami sendiri.’ Lalu kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak berjabat tangan dengan kami?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan perempuan. Perkataanku kepada seorang perempuan sama seperti perkataanku kepada seratus perempuan’.” (HR Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).

 

Di samping riwayat-riwayat di atas, para ahli tafsir memiliki beberapa riwayat yang sedikit berbeda mengenai praktik baiat yang melibatkan interaksi Rasulullah dengan para sahabat perempuan. Misalnya, Al-Alusi mengutip sebuah riwayat bahwa Rasulullah membaiat mereka dengan kain katun yang berada di antara tangan beliau dan tangan mereka. Berikut haditsnya:

 

وأخرج سعيد بن منصور وابن سعد عن الشعبي قال: كان رسول اللّه صلّى اللّه تعالى عليه وسلم إذا بايع النساء وضع على يده ثوبا

 

Artinya, “Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Sa’d dari Asy-Sya'bi, yang berkata: “Rasulullah SAW ketika membaiat perempuan meletakkan kain di tangannya.” (Al-Alusi, Ruhul Ma’ani, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1415], jilid XIV, hlm. 274).

 

Al-Alusi juga menjelaskan, dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW membaiat mereka (kaum wanita) sementara di antara tangan beliau dan tangan mereka terdapat selembar kain katun sebagai pembatas (hlm. 274).

 

Menurutnya, orang yang mendukung pendapat tersebut mengatakan adanya jabat tangan saat proses baiat, namun pendapat yang paling masyhur dan diandalkan adalah bahwa tidak ada jabat tangan dalam proses tersebut (hlm. 274).

 

Selain riwayat yang menjelaskan kain katun sebagai pembatas dalam proses baiat seperti di atas, Al-Alusi juga mengutip riwayat lain yang menjelaskan cara yang unik dalam baiat, meskipun riwayatnya masih perlu ditelusuri kesahihannya. Dikutip dari riwayat Ibnu Sa’d dan Ibnu Marduwaih dari ‘Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya:

 

إذا بايع النساء دعا بقدح من ماء فغمس يده فيه ثم يغمس أيديهن فيه

Artinya, “Ketika Nabi SAW membaiat kaum wanita, beliau meminta sebuah wadah berisi air, lalu mencelupkan tangan beliau ke dalamnya, kemudian kaum wanita mencelupkan tangan mereka ke dalam air tersebut.” (hlm. 264).

 

Pandangan tentang Rasulullah yang tidak pernah berjabat tangan dengan lawan jenis, atau menyentuh seorang perempuan pun diperkuat oleh riwayat yang disampaikan oleh ‘Aisyah RA:

 

والله ما مست يده يد امرأة قط في المبايعة وما بايعهن إلا بقوله

 

Artinya, “Demi Allah, tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun dalam proses baiat, dan beliau hanya membaiat mereka dengan perkataan.” (HR Al-Bukhari).

 

Kendati demikian, jika melacak lebih luas lagi, terdapat indikasi bahwa pernah terjadi persentuhan antara Rasulullah dengan sebagian perempuan, entah dalam konteks khusus atau bukan, atau memang terjadi pengecualian atas peristiwa tersebut. Misalnya, riwayat berikut ini:

 

عن أنس بن ملك قال إن كانت الأمة من أهل المدينة لتأخد بيد رسول الله صلى الله عليه و سلم فما ينزع يده من يدها حتى تذهب به حيث شاءت من المدينة في حاجتها

 

Artinya, “Dari Anas bin Malik, ia berkata, ‘Seorang budak wanita dari penduduk Madinah biasa memegang tangan Rasulullah SAW, dan beliau tidak menarik tangannya dari tangannya hingga wanita itu membawanya ke mana pun yang ia kehendaki di Madinah untuk memenuhi kebutuhannya’.” (HR Ibnu Majah).

 

Secara tekstual, hadits di atas menyebutkan adanya kontak antara tangan Rasulullah dengan tangan wanita tersebut. Namun, para ulama menafsirkan bahwa makna frasa “tidak menarik tangannya dari tangannya" dapat diartikan sebagai Rasulullah mengikuti perempuan tersebut ke mana pun ia pergi, bukan merujuk pada kontak fisik secara langsung.

 

Ibnu Majah sendiri memberi komentar bahwa dalam sanadnya terdapat ‘Ali bin Zaid bin Jad’an, dan periwayat tersebut merupakan sosok yang dha’if (Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid II, hlm. 1398).

 

Kendati demikian, terdapat hadits lain yang dianggap mendukung hadits tersebut. Riwayat ini dicantumkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya, namun tanpa menyebutkan secara rinci adanya persentuhan tangan. Hadits tersebut berbunyi:

 

عن أنس أن امرأة كان في عقلها شيء فقالت يا رسول الله إن لي إليك حاجة فقال يا أم فلان انظري أي السكك شئت حتى أقضي لك حاجتك فخلا معها في بعض الطرق حتى فرغت من حاجتها

 

Artinya, “Dari Anas bin Malik bahwasanya seorang wanita yang pemikirannya agak terganggu berkata kepada Nabi SAW, ‘Wahai Rasulullah, saya punya ada perlu denganmu,’ maka Rasulullah SAW berkata kepadanya, ‘Wahai Ummu fulan, lihatlah kepada jalan mana saja yang engkau mau hingga aku penuhi keperluanmu.’ Maka Nabi SAW pun berkhalwat dengan wanita tersebut di sebuah jalan hingga wanita tersebut selesai dari keperluannya.” (HR. Muslim).

 

Kemudian, dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, terdapat riwayat yang menyebutkan adanya kontak fisik Rasulullah dengan seorang wanita, sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik:

 

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يدخل على أم حرام بنت ملحان فتطعمه وكانت أم حرام تحت عبادة بن الصامت فدخل عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم فأطعمته وجعلت تفلي رأسه

Artinya, “Rasulullah SAW biasa masuk ke rumah Ummu Haram binti Milhan, lalu Ummu Haram menyajikan makanan untuk beliau. Ummu Haram adalah istri Ubadah bin Shamit. Suatu ketika, Rasulullah masuk ke rumahnya, lalu Ummu Haram menyajikan makanan untuk beliau dan mulai memeriksa rambut beliau dari kutu.” (HR Al-Bukhari).

 

Sebagian besar ulama klasik cenderung melarang berjabat tangan antara lawan jenis sebagai langkah kehati-hatian untuk menjaga batasan dalam interaksi sosial. Namun, ada pula pandangan yang lebih fleksibel, yang membolehkan berjabat tangan dalam situasi tertentu. Beberapa pendapat yang membolehkan ini sering kali mengacu pada riwayat yang dinukil oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya:

 

لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، جَمَعَ بَيْنَ نِسَاءِ الأَنْصَارِ فِي بَيْتٍ ، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيْنَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، فَقَامَ عَلَى الْبَابِ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا ، فَرَدَدْنَ ، أَوْ فَرَدَدْنَا عَلَيْهِ ، ثُمَّ قَالَ : أَنَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْكُنَّ. قَالَتْ : فَقُلْنَا: مَرْحَبًا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِرَسُولِ رَسُولِ اللَّهِ ، فَقَالَ : تُبَايِعْنَ عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلاَ تَسْرِقْنَ، وَلاَ تَزْنِينَ، قَالَتْ: قُلْنَا نَعَمْ؛ قَالَ: فَمَدَّ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَابِ أَوِ الْبَيْتِ، وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ

 

Artinya, “Ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mengumpulkan para wanita Anshar di sebuah rumah. Kemudian beliau mengutus Umar bin Khattab kepada kami. Umar berdiri di depan pintu, mengucapkan salam kepada kami, dan kami menjawab salamnya. Lalu ia berkata, ‘Aku adalah utusan Rasulullah kepada kalian.’ Kami berkata, ‘Selamat datang kepada Rasulullah dan utusan Rasulullah.’

 

Kemudian Umar berkata, ‘Apakah kalian bersedia berbaiat untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, dan tidak berzina?’ Kami menjawab, ‘Ya.’ Lalu Umar mengulurkan tangannya dari luar pintu atau rumah, dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah (untuk berbaiat).” (Ath-Thabari, Jami’ul Bayan, [T.Tp, Dar Hijr, t.t.], jilid XXII, hlm. 601)

 

Berdasarkan riwayat tersebut, Syekh ‘Ali Jum’ah menyampaikan pandangan yang membolehkan berjabat tangan dengan lawan jenis dalam kondisi tertentu, yaitu jika tidak ada syahwat atau perasaan tertentu yang dapat menimbulkan ketertarikan. Contohnya adalah dalam situasi profesional seperti di tempat kerja, pertemuan formal antara pejabat, atau acara-acara resmi lainnya.

 

Pandangan ini dilandasi oleh pertimbangan bahwa dalam konteks tersebut, jabat tangan dilakukan semata-mata sebagai bentuk kesopanan atau profesionalisme, bukan dengan niat yang melanggar norma-norma agama. Dalam fatwa Darul Ifta, Syekh Ali Jumah menyebutkan:

 

مصافحة الرجل للمرأة الأجنبية محل خلاف في الفقه الإسلامي؛ فيرى جمهور العلماء حرمة ذلك، وأجاز الحنفية والحنابلة مصافحة العجوز التي لا تُشتهى، بينما يرى جماعة من العلماء جواز ذلك؛ لما ثبت أن عمر بن الخطاب رضي الله تعالى عنه صافح النساء لمَّا امتنع النبي صلى الله عليه وآله وسلم عن مصافحتهن عند مبايعتهن له، فيكون الامتناع عن المصافحة من خصائص النبي صلى الله عليه وآله وسلم، ولا حرج في تقليد هذا الرأي عند الحاجة

 

Artinya, “Berjabat tangan antara pria dan wanita yang bukan mahram menjadi bahan perbedaan pendapat dalam fiqih Islam. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut haram, sedangkan mazhab Hanafi dan Hanbali membolehkan berjabat tangan dengan wanita tua yang tidak menimbulkan syahwat. Sementara itu, sekelompok ulama membolehkan berjabat tangan tersebut dengan alasan bahwa Umar bin Khattab RA pernah berjabat tangan dengan para wanita ketika Nabi tidak melakukannya saat menerima baiat mereka. Oleh karena itu, tidak berjabat tangan dianggap sebagai kekhususan Nabi, dan tidak ada dosa mengikuti pendapat yang membolehkan berjabat tangan jika diperlukan.”

 

Beliau juga menjelaskan bahwa mereka yang mendukung pandangan berbeda dari mayoritas ulama, yang mengharamkan berjabat tangan dengan lawan jenis, memberikan tanggapan bahwa dalil yang digunakan oleh mayoritas dianggap lemah. Dalil yang dimaksud adalah:

 

لَأَنْ يَعْمِدَ أَحَدُكُمْ إِلَى مِخْيَطٍ فَيَغْرِزُ بِهِ فِي رَأْسِي، أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ تَغْسِلَ رَأْسِيَ امْرَأَةٌ لَيْسَتْ مِنِّي ذَاتَ مَحْرَمٍ

Artinya, “Jika salah seorang dari kalian lebih memilih menusukkan jarum ke kepalaku, itu lebih aku sukai daripada seorang wanita yang bukan mahramku mencuci kepalaku.” (HR Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf).

 

Syekh ‘Ali Jum’ah menjelaskan, hadits di atas diriwayatkan oleh Ma’qil bin Yasar dan dinilai dha’if. Hal ini disebabkan ke-dha’if-an perawinya, yaitu Syaddad bin Sa’id, yang menyampaikan hadits tersebut secara marfu’ (disandarkan kepada Nabi).

 

Hadits di atas sebenarnya dapat diterima jika tidak ada perawi lain yang menyelisihinya. Namun, ia diselisihi oleh Basyir bin ‘Uqbah, seorang perawi tepercaya dari kalangan perawi Bukhari dan Muslim. Basyir bin ‘Uqbah meriwayatkannya dari Abu Al-‘Ala, dari Ma'qil, secara mauquf (disandarkan hanya pada sahabat).

 

Kesimpulannya menurut Syekh ‘Ali Jum’ah, bagi siapa saja yang menghadapi situasi semacam ini, diperbolehkan baginya untuk mengikuti pendapat ulama yang membolehkan hal tersebut. Namun, keluar dari perbedaan pendapat (dengan memilih pendapat yang lebih hati-hati) tetaplah dianjurkan.

 

Di era sekarang, kondisi sosial dan profesionalisme sering kali menuntut bentuk formalitas seperti berjabat tangan, khususnya dalam dunia kerja, diplomasi, dan interaksi antarbudaya. Dalam situasi tertentu, menolak berjabat tangan dapat dianggap tidak sopan atau bahkan menimbulkan kesalahpahaman.

 

Hal ini menciptakan tantangan bagi sebagian individu yang berusaha menjaga komitmen terhadap prinsip-prinsip agama mereka. Oleh karena itu, beberapa ulama kontemporer membolehkan berjabat tangan dalam konteks profesional, asalkan tidak disertai niat yang melanggar etika agama, tidak menimbulkan fitnah, dan dilakukan dengan menjaga adab serta kesopanan. Pendekatan ini memberikan fleksibilitas untuk beradaptasi dengan tuntutan zaman, tanpa mengabaikan nilai-nilai agama yang mendasarinya. Wallahu a’lam

​​​​​​​

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.