Kajian Hadits: Puasa Ramadhan dan Syafaat Al-Qur'an di Hari Kiamat
Rabu, 12 Maret 2025 | 17:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Puasa dan membaca Al-Qur'an merupakan dua amal ibadah yang memiliki keistimewaan luar biasa dalam Islam. Kedua amal ini tidak hanya menjadi penyejuk hati di dunia, tetapi juga menjadi penolong bagi pengamalnya di hari kiamat melalui syafaat yang diberikan.
Salah satu hadits masyhur yang menegaskan keutamaan membaca Al-Qur’an adalah riwayat dari Abu Umamah RA. Beliau berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:
اِقْرَؤُوْا القُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ شَفِيْعًا لِأَصْحَابِهِ
Artinya, “Bacalah Al-Qur'an, karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya (yang mengamalkannya).” (HR Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an berperan sebagai pemberi syafaat atau pertolongan bagi orang-orang yang membaca dan mengamalkannya. Al-Qurthubi menjelaskan bahwa syafaat ini terjadi karena karunia dan kemurahan-Nya (Lihat Al-Mufhim lima Asykala min Talkhis Kitab Muslim, [Beirut, Dar Ibn Katsir, 1996], jilid II, hlm. 430).
Selain hadits masyhur di atas, terdapat juga hadits yang menyatakan bahwa Al-Qur’an dan puasa dapat memberikan syafaat di hari kiamat kelak. Hadits ini menarik untuk dibahas, karena momentum Ramadhan, di mana kaum Muslimin memiliki motivasi yang segar untuk membaca kalam Allah. Hadits ini diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr RA. Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَيُشَفَّعَانِ
Artinya, “Puasa dan Al-Qur'an akan memberikan syafaat bagi seorang hamba. Puasa berkata, ‘Wahai Rabbku, aku telah mencegahnya dari makan dan syahwat di siang hari, maka izinkan aku memberi syafaat untuknya.’ Al-Qur'an berkata, ‘Aku telah mencegahnya dari tidur di malam hari, maka izinkan aku memberi syafaat untuknya.’ Maka keduanya diberi izin untuk memberi syafaat.” (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, [Beirut, Darul Ma’rifah, t.t.], jilid I, hlm. 554).
Hadits ini dinilai sahih dalam standar penilaian Imam Muslim, meskipun tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim secara langsung, sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hakim an-Naysaburi dalam Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain (jilid I, hlm. 554).
Hadits ini juga dinilai memiliki sanad yang hasan oleh Al-Haitsami karena ada perawi seperti Ibnu Lahi’ah, namun tetap dianggap kuat jalur periwayatannya oleh sebagian ulama (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1994], jilid XV, hlm. 122).
Penjabaran substansi hadits, tentang bagaimana puasa dan Al-Qur’an memberikan syafaat dapat ditemukan dalam berbagai syarah dan penjelasan hadits. Menurut Al-Munawi, puasa pada hadits di atas digambarkan sebagai amal yang mencegah seseorang dari kebutuhan dasar seperti makan dan syahwat di siang hari, sementara Al-Qur’an mencegah tidur di malam hari karena kebiasaan membaca atau menghafalnya.
Masih menurut Al-Munawi, syafaat pada hadits di atas bisa dipahami secara harfiah, di mana Allah memberikan kemampuan kepada puasa dan Al-Qur'an untuk “berbicara” sebagai wujud keajaiban hari kiamat, atau secara metaforis sebagai bentuk penghargaan atas ketaatan hamba (Faydhul Qadir, jilid XV, hlm. 122).
Sementara itu, Ath-Thayyibi dalam komentarnya yang dikutip dalam Lama’atut Tanqih menyatakan bahwa syafaat dari puasa dan Al-Qur’an bisa diterima apa adanya sesuai nash, tanpa perlu ditafsirkan berlebihan, karena keterbatasan akal manusia dalam memahami hakikat alam akhirat.
Namun, bagi yang menafsirkan, syafaat ini bisa dipahami sebagai bentuk simbolis untuk menghapus murka Allah dan meninggikan derajat hamba. Penegasan ini menunjukkan fleksibilitas dalam memahami hadits tanpa menyimpang dari esensi keimanan (Abdul Haq Ad-Dihlawi, Lama’atut Tanqih, [Damaskus, Darun Nawadir, 2014], jilid IV, hlm. 404).
Dalam At-Tanwir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir, Muhammad bin Ismail Ash-Shan’ani menjelaskan bahwa penggabungan antara puasa dan Al-Qur'an dalam hadits ini menunjukkan keterkaitan erat keduanya, terutama dalam konteks Ramadhan.
Puasa di siang hari mengacu pada ibadah wajib di bulan tersebut, sedangkan Al-Qur’an yang dibaca di malam hari mencerminkan qiyam Ramadhan. Keindahan gaya bahasa hadits terletak pada personifikasi puasa dan Al-Qur'an yang “berbicara” untuk membela pelakunya. Diksi kalimat dalam hadits ini menambah dimensi estetika sekaligus motivasi spiritual. (Ash-Shan’ani, At-Tanwir Syarhul -Jami’ Ash-Shaghir, [Riyadh, Darus Salam, 2011], jilid VII, hlm. 95).
Nilai Estetika dan Spiritual Hadits
Ali Ali Subh dalam At-Tashwirun Nabawi menguraikan keindahan gaya bahasa hadits ini lebih dalam. Puasa yang mampu “berkata” mencerminkan perjuangan melawan hawa nafsu di siang hari, sementara Al-Qur’an yang mampu “berbicara” kelak melambangkan pengorbanan seorang Muslim terhadap waktu tidur untuk ibadah di malam hari.
Keduanya menjadi pembela setia di hari kiamat, menyelamatkan pelakunya dari azab dan mengarahkan pengamalnya menuju surga. Penggambaran ini tidak hanya indah secara literatur, tetapi juga kaya akan nilai moral dan tasyri’i, seperti ketaatan, kesabaran, dan penghormatan terhadap Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup. Hadits ini juga menegaskan bahwa syafaat tidak hanya milik Nabi SAW, tetapi juga amal saleh seperti puasa dan Al-Qur’an. (Ali Ali Subh, At-Tashwir An-Nabawi, [Kairo, al-Maktabah al-Azhariyyah lit Turats, 2002], jilid I, hlm. 97-99).
Walhasil, puasa dan Al-Qur’an adalah dua pilar ibadah yang saling berkaitan erat, khususnya di bulan Ramadhan. Berdasarkan hadits syafaat di atas, keduanya menjanjikan pertolongan di hari kiamat bagi hamba yang melaksanakannya dengan penuh keimanan dan keikhlasan.
Keindahan penyampaian hadits ini tidak hanya terletak pada maknanya, tetapi juga pada gaya bahasa yang inspiratif, dan tentunya dapat mengajak umat Muslim untuk meningkatkan kualitas ibadah dan mendekatkan diri dengan Al-Qur'an. Semoga kita termasuk golongan yang mendapatkan syafaat dari puasa dan Al-Qur'an di hari kiamat kelak. Wallahu a’lam.
Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Kembali Suci dengan Ampunan Ilahi dan Silaturahmi
2
Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri, Istri, Anak, Keluarga, hingga Orang Lain, Dilengkapi Latin dan Terjemah
3
Habis RUU TNI Terbitlah RUU Polri, Gerakan Rakyat Diprediksi akan Makin Masif
4
Kultum Ramadhan: Mari Perbanyak Istighfar dan Memohon Ampun
5
Fatwa Larangan Buku Ahmet T. Kuru di Malaysia, Bukti Nyata Otoritarianisme Ulama-Negara?
6
Gus Dur Berhasil Perkuat Supremasi Sipil, Kini TNI/Polri Bebas di Ranah Sipil
Terkini
Lihat Semua