Kenapa Berbuat Baik pada Manusia adalah Kunci Keimanan Sejati? Perspektif Kajian Hadits
NU Online · Jumat, 14 Maret 2025 | 11:00 WIB
Amien Nurhakim
Penulis
Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap individu dihadapkan pada berbagai latar belakang yang berbeda, antara lain agama, suku, budaya, dan status sosial. Namun, di atas semua perbedaan tersebut, ada satu nilai yang menyatukan manusia, yaitu kebaikan.
Kebaikan tidak mengenal sekat-sekat identitas, sebab yang lebih utama bukan dari mana seseorang berasal, melainkan sejauh mana ia dapat memberikan manfaat bagi sesama. Seperti yang diungkapkan oleh Gus Dur:
“Tidak penting apa latar belakangmu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang lebih baik untuk semua orang. Orang tidak akan tanya apa agamamu, apa sukumu, dan apa latar belakangmu.”
Qoute ini menegaskan bahwa esensi keberagamaan dan moralitas tidak hanya terletak pada keyakinan yang dianut, tetapi juga dalam sikap dan perbuatan yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam Islam, keimanan yang sempurna bukan hanya ditandai dengan keyakinan kepada Allah semata, tetapi juga dengan bagaimana seseorang memperlakukan sesama manusia. Terdapat satu riwayat yang menyatakan perihal ini:
رَأْسُ الْعَقْلِ بَعْدَ الإِيمَانِ بِاللَّهِ التَّوَدُّدُ إِلَى النَّاسِ
Artinya, “Pokok utama akal setelah beriman kepada Allah Ta'ala adalah berbuat baik dan menjalin kasih sayang kepada sesama manusia.” (HR Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kabir).
Riwayat ini menegaskan bahwa setelah seseorang beriman kepada Allah, tanda utama dari kecerdasan dan kebijaksanaan adalah kemampuannya untuk menjalin hubungan baik dengan sesama manusia. Iman yang sejati tidak hanya tercermin dalam keyakinan dan ibadah kepada Allah, tetapi juga dalam perilaku sosial yang penuh kasih sayang, kepedulian, dan kebaikan.
Dalam riwayat serupa disebutkan:
أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ بَعْدَ الإِيمَانِ بِاللَّهِ التَّوَدُّدُ إِلَى النَّاسِ
Artinya, “Amalan terbaik setelah beriman kepada Allah adalah berbuat baik dan menjalin kasih sayang kepada sesama manusia.” (HR Al-Kharaithi dalam Makarimul Akhlaq).
Riwayat di atas secara literal bukan berasal Rasulullah saw, melainkan dari beberapa sahabat. At-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath menyebutkan, di antara sumbernya berasal dari Ali ra.
Ibnu Abid Dunya dalam kitab Al-Ikhwan dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman menyebutnya berasal dari Abu Hurairah ra, meskipun Al-Baihaqi menilai riwayat ini lemah penisbatannya kepada Abu Hurairah.
Sementara Ibnu ‘Asakir menyebutnya berasal dari Anas ra. Selain itu, Al-Kharaithi menyebutnya secara mursal dari Sa’id bin Al-Musayyab dalam Makarimul Akhlaq. (As-Suyuthi, Jami’ul Ahadits, jilid XIII, halaman 57).
Ad-Dihlawi menjelaskan, kesempurnaan akal dalam menjalani hidup terletak pada usaha mencari nafkah, memanfaatkan peluang yang ada, dan membangun hubungan baik dengan sesama manusia.
Menunjukkan kasih sayang dan saling mendukung dengan orang lain adalah bagian penting dari kehidupan bermasyarakat, sehingga ini menjadi setengah dari akal sehat itu sendiri. Namun, ini berlaku selama tidak melanggar nilai agama dan ketakwaan.
Jika ternyata melanggar, maka yang dilakukan hanyalah sikap toleransi yang masih sesuai dengan batasan syariat. (Lama’atut Tanqih, [Suriah, Darun Nawadir: 2014], jilid VIII, halaman 320).
Al-Munawi memperluas cakupan berbuat baik tidak hanya kepada orang-orang tertentu, tidak hanya kepada orang yang dinilai ‘baik’ moralnya, saleh, taat beragama, atau semacamnya. Menurutnya, kebaikan harus ditebarkan kepada siapapun, tidak memandang latar belakang kehidupan mereka. Ia mengutip sebuah perkataan orang-orang bijak:
اتَّسَعَتْ دَارُ مَن يُدَارِي وَضَاقَتْ أَسْبَابُ مَن يُمَارِي
Artinya, “Rumah orang yang bersikap toleran akan luas, sedangkan sebab-sebab kehidupan orang yang suka berdebat akan menyempit.” (Faidhul Qadir, [Mesir, Al-Maktabah At-Tijariyah: 1356], jilid III, halaman 575).
Seseorang yang berbuat baik kepada orang lain akan dicintai oleh mereka. Hanya saja, menurut Al-Munawi, seharusnya ia tidak melakukan itu untuk mencari cinta atau pujian dari manusia. Namun, kebaikan tersebut dilakukan semata-mata karena Allah:
فَمَن فَعَلَ ذَلِكَ وَدَّهُ النَّاسُ، لَكِنْ لَا يُرِيدُ بِذَٰلِكَ مَحَبَّتَهُمْ لَهُ، بَلْ يَفْعَلُهُ لِلَّهِ لِوُجُوبِ حَقِّ الْعِبَادِ، لَا لِمُطَابَةِ الْوُدِّ مِنهُمْ. وَإِذَا فَعَلَهُ لِلَّهِ أَوْدَعَ اللَّهُ وُدَّهُ فِي قُلُوبِهِمْ بِوُدِّهِ تَعَالَى لَهُ
Artinya, “Siapa pun yang berbuat baik, maka manusia akan mencintainya. Namun, seyogianya ia tidak melakukan perbuatan itu demi mendapatkan cinta mereka, melainkan ia melakukannya karena Allah, sebagai bentuk pemenuhan hak-hak sesama manusia, bukan untuk mencari kasih sayang manusia. Jika ia melakukannya karena Allah, maka Allah akan menanamkan rasa cinta di hati manusia sebagai bentuk cinta-Nya kepada orang tersebut.” (Al-Munawi, III/575).
Berdasarkan hadits di atas Imam Al-Mawardi menekankan bahwa manusia tidak bisa menghindari adanya musuh atau orang yang iri. Karena itu, ia harus memiliki kebijaksanaan dalam menghadapi mereka, salah satunya dengan at-tawaddud (berbuat baik dan menjalin kasih sayang).
Dengan pendekatan yang tepat, seseorang bisa mengubah kebencian menjadi kasih sayang dan menghindari permusuhan yang hanya akan membawa kesulitan dalam hidupnya.
Imam Al-Mawardi mengatakan:
اَلتَّوَدُّدُ يَعْطِفُ القُلُوبَ عَلَى الْمَحَبَّةِ وَيُزِيلُ الْبُغْضَاءَ وَيَكُونُ ذَلِكَ بِصُنُوفٍ مِنَ الْبِرِّ وَيَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَالْأَشْخَاصِ. فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ سِمَاتِ الْفَضْلِ وَشُرُوطِ التَّوَدُّدِ. فَإِنَّهُ مَا أَحَدٍ يَعْدِمُ عَدُوًّا وَلَا يَفْقِدُ حَاسِدًا وَبِحَسَبِ وُفُورِ النِّعْمَةِ تَكْثُرُ الْأَعْدَاءُ وَالْحَسَدَةُ. وَمَنْ أَغْفَلَ تَأَلُّفَ الْأَعْدَاءِ وَوُدَّاهُمْ مَعَ وُفُورِ النِّعْمَةِ وَظُهُورِ الْحَسَدِ تَوَالَى عَلَيْهِ مِنْ مَكْرِ حَلِيمِهِ وَبَادَرَهُ، سَفَهُهُمْ مَا تَصِيرُ بِهِ النِّعْمَةُ عَذَابًا وَالدَّعَةُ مَلَامًا
Artinya, “Berbuat baik dan menjalin kasih sayang (at-tawaddud) mampu melembutkan hati, menumbuhkan rasa sayang, serta menghapuskan dendam. Ini dapat dilakukan melalui beragam cara kebaikan yang disesuaikan dengan keadaan serta karakter orang yang ditemui.
Sikap ini adalah cerminan kebajikan sejati dan menjadi kunci untuk membangun hubungan penuh kasih. Pasalnya, setiap orang pasti memiliki musuh atau menghadapi rasa iri dari orang lain, dan semakin melimpah nikmat yang ia miliki, semakin banyak pula yang memusuhinya atau merasa dengki.
Jika seseorang abai dalam menjalin kebaikan dengan musuhnya atau merangkul hati mereka, terutama saat nikmatnya terlihat jelas dan kedengkian terhadapnya semakin kentara, maka ia akan terus berhadapan dengan kelicikan orang-orang pandai dan serangan gegabah dari mereka yang kurang bijaksana. Akibatnya, nikmat yang seharusnya menjadi anugerah justru berubah menjadi beban berat, dan ketenteraman hidupnya malah menjadi sumber celaan.” (Al-Munawi, III/771).
Keimanan dan kebaikan bagaikan dua sayap yang mengangkat manusia menuju derajat tertinggi di sisi Allah dan tentunya di antara sesama manusia. Menebar kebaikan kepada sesama merupakan wujud nyata dari upaya menjadikan kehidupan di dunia ini sebagai ladang yang menghasilkan keabadian penuh makna. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.
Terpopuler
1
KH Miftachul Akhyar: Menjadi Khalifah di Bumi Harus Dimulai dari Pemahaman dan Keadilan
2
Amerika Bom 3 Situs Nuklir Iran, Ekskalasi Perang Semakin Meluas
3
Nota Diplomatik Arab Saudi Catat Sejumlah Kesalahan Penyelenggaraan Haji Indonesia, Ini Respons Dirjen PHU Kemenag
4
Houthi Yaman Ancam Serang Kapal AS Jika Terlibat dalam Agresi Iran
5
Menlu Iran Peringatkan AS untuk Tanggung Jawab atas Konsekuensi dari Serangannya
6
PBNU Desak Penghentian Perang Iran-Israel, Dukung Diplomasi dan Gencatan Senjata
Terkini
Lihat Semua