Ilmu Hadits

Mengapa Mengerjakan Satu Rakaat di Akhir Dianggap Shalat Tepat Waktu?

Ahad, 22 Januari 2023 | 21:00 WIB

Mengapa Mengerjakan Satu Rakaat di Akhir Dianggap Shalat Tepat Waktu?

Dalam hadits, orang yang sempat mengerjakan satu rakaat di akhir waktu dianggap telah mengerjakan shalat secara sempurna. Kenapa demikian? (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Dalam kajian fiqih dikenal prinsip hukum orang yang menemukan satu rakaat shalat di dalam waktu maka sama saja dengan menemukan shalat secara sempurna. Semisal orang yang sempat shalat Ashar satu rakaat di dalam waktunya, maka seluruh shalatnya dihukumi sebagai shalat ada' atau shalat tepat waktu.


Prinsip hukum fiqih ini berangkat dari hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim sebagai berikut:


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ:  مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصَّلاَةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلاَةَ


Artinnya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, sungguh Nabi saw bersabda: “Orang yang menemukan satu rakaat dari shalat maka sungguh ia telah menemukan shalat”, (HR Al-Bukhari dan Muslim).


Lalu penjelasannya bagaimana?


Hadits Semisal

Hadits tersebut sesuai dengan hadits lain seperti diriwayatkan Imam Muslim dengan redaksi:  


مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الصُّبْحِ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ


Artinya, “Orang yang menemukan satu rakaat shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka sungguh telah menemukan shalat Subuh; dan orang yang menemukan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari tenggelam, maka sungguh telah menemukan shalat Ashar,” (HR Muslim).


Penjelasan Hadits

Imam An-Nawawi menjelaskan, hadits ini tidak bisa dipahami secara sepintas, bahwa orang yang menemukan satu rakaat maka dianggap telah menemukan seluruh shalat dan sudah mencukupinya tanpa menyempurnakan dengan rakaat berikutnya. Namun hadits ini harus ditakwil dengan memperkirakan kata yang tersimpan di dalamnya, yaitu kata hukum, wajib, atau keutamaan. Sehingga makna hadits secara lengkap adalah: “Orang yang menemukan satu rakaat dari shalat, maka sungguh ia telah menemukan hukum, kewajiban, atau keutamaan shalat tersebut.”


Cakupan Hadits

Masih merujuk penjelasan Imam An-Nawawi, menurut Ashabus Syafi'i hadits ini mencakup tiga permasalahan.


Permasalahan pertama, orang yang sebenarnya tidak wajib shalat, seperti anak kecil kemudian baligh, orang gila dan mughma 'alaih—orang yang tidak sadarkan diri disertai lemasnya tubuh seperti orang pingsan dan orang ayan—kemudian sembuh, wanita haid dan nifas kemudian menjadi suci, dan orang kafir yang kemudian masuk Islam. Semua orang ini bila menemukan satu rakaat shalat sebelum waktunya habis, maka wajib melaksanakannya secara sempurna.


Semisal orang pingsan dan di akhir waktu shalat Ashar lalu sadar dan masih tersisa waktu yang cukup untuk shalat satu rakaat, maka ia wajib melaksanakan shalat Ashar secara sempurna, meskipun akhirnya sebagian shalat atau bahkan seluruhnya terlaksana di luar waktu.


Lalu bila ia hanya menemukan shalat kurang dari satu rakaat, semisal waktunya hanya cukup untuk melakukan takbiratul ihram, maka dalam hal ini Imam As-Syafi'i punya dua pendapat. Pertama, shalat tersebut tidak wajib dilakukannya karena hadits ini; dan kedua, shalat tersebut tetap wajib dilakukannya karena ia telah menemukan waktu yang cukup untuk melakukan sebagian shalat meskipun hanya takbiratul ihramnya. Pendapat kedua inilah yang kemudian dinilai sebagai pendapat ashah atau yang lebih shahih menurut Ashabus Syafi'i.


Adapun batasan harus menemukan satu rakaat sebagaimana dalam hadits hanya merujuk pada umumya kasus. Yaitu secara umum orang dapat mengetahui atau sadar bahwa ia masih menemukan shalat ketika ia menemukan satu rakaat. Sedangkan untuk takbiratul ihram, biasanya tidak terasa.


Terlepas dari yang ditemukan adalah waktu yang cukup untuk satu rakaat sempurna atau hanya takbiratul ihram, apakah kemudian disyaratkan juga tersisanya waktu untuk bersucinya atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat Ashab. Pendapat ashah tidak mensyaratkannya.


Permasalahan kedua, orang yang sedang shalat di akhir waktu dan sudah sampai satu rakaat secara sempurna, maka status shalatnya adalah shalat ada' atau shalat yang tepat waktu. Demikian ini menurut pendapat yang shahih dalam mazhab Syafi'i. Sementara pendapat kedua menyatakan bahwa status shalat tersebut semuanya qadha' atau shalat yang tidak tepat waktu. Adapula pendapat ketiga yang menyatakan sebagian shalat yang terlaksana di dalam waktu maka statusnya ada' dan yang terlaksana di luar waktu statusnya qadha'.


Perbedaan pendapat ini akan tampak pada kasus turunannya, yaitu shalat seorang musafir—dengan jarak masafatul qashri atau jarak tempuh yang di dalamnya boleh menqashar shalat, kurang lebih 82 km—, yang berniat mengqashar shalat 4 semisal shalat Ashar, dan ia telah melakukan satu rakaat di dalam waktunya, sedangkan sisanya terlaksana di luar waktu. Bila mengikuti pendapat pertama bahwa semua shalatnya berstatus ada' maka ia boleh mengqashar shalat tersebut. Sementara bila mengikuti pendapat kedua yang menyatakan semua shalatnya berstatus qadha', atau mengikuti pendapat kedua yang menyatakan sebagian shalat berstatus ada' dan sebagian lainnya berstatus qadha', maka ia tidak boleh menqasharnya. Ia wajib melakukannya secara sempurna 4 rakaat.


Seluruh ketentuan hukum ini berlaku bila ia menemukan satu rakaat di dalam waktunya. Namun bila ia hanya menemukan sebagian rakaat di dalam waktu, maka dalam hal sebagian Ashbus Syafi'i menyamakan hukumnya dengan orang yang menemukan satu rakaat secara sempurna di dalam waktu, sehingga shalatnya berstatus ada'. Sementara jumhur ulama menyatakan bahwa shalatnya tersebut berstatus qadha.


Di tengah silang pendapat tersebut seluruh Ashabus Syafi'i bersepakat bahwa orang tidak boleh sengaja menunda shalat sampai waktu yang tidak cukup untuk digunakan shalat secara sempurna di dalam waktu. Meskipun ada ulama yang menyatakan bahwa seluruh shalat berstatus ada'.


Permasalahan ketiga, makmum masbuq yang menemukan satu rakaat sempurna bersama imam maka ia mendapatkan pahala jamaah tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun bila tidak menemukan satu rakaat sempurna bersama imam dan hanya menemukan imam sebelum salam, maka di kalangan ulama mazhab Syafi'i ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan ia tidak dihukumi menemukan jamaah.


Hal ini berdasarkan pemahaman hadits riwayat Imam Muslim di atas, yaitu orang yang menemukan satu rakaat dari shalat maka ia telah menemukan shalat. Pendapat kedua dan ini adalah pendapat shahih yang juga menjadi pendapat jumhur ulama, ia dihukumi menemukan keutamaan jamaah, sebab bagaimanapun ia telah menemukan sebagian shalat bersama Imam. Adapun hadits tersebut hanya membicarakan kasus secara umum.


Pendapat Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa shalat Subuh batal sebab terbitnya matahari, karena masuk waktu terlarang untuk digunakan shalat. Namun begitu pendapat Abu Hanifah ini bertentangan dengan hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim di atas, yaitu orang yang menemukan satu rakaat shalat Subuh sebelum matahari terbit, maka sungguh telah menemukan shalat Subuh; dan orang yang menemukan satu rakaat shalat Ashar sebelum matahari tenggelam, maka sungguh telah menemukan shalat Ashar. Wallahu a'lam.


Untuk diketahui, tulisan ini bersumber dari kitab Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim. (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, [Beirut: Daru Ihya'it Turats Al-'Arabi: 1392 H], juz V, halaman 104-106).


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online