Ruh Tertahan Karena Utang Belum Lunas, Bagaimana Maksudnya? Simak Kajian Hadits Ini
NU Online · Kamis, 24 April 2025 | 16:00 WIB
Muhaimin Yasin
Kolomnis
Utang-piutang adalah salah satu transaksi yang sering dilakukan oleh masyarakat dalam keseharian. Mulai dari seseorang dengan status ekonomi rendah, menengah, bahkan yang tergolong tinggi sekalipun. Sehingga dapat dipastikan, bahwa sebagian besar orang pernah melakukannya. Entah dalam urusan sederhana atau kompleks.
Dengan adanya hal tersebut, Islam sebagai agama yang paripurna pun memberikan perhatian terhadap urusan utang-piutang ini. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 282, diuraikan secara lengkap bagaimana konsep pengelolaan utang-piutang yang baik dan tidak merugikan kedua pihak yang sedang bertransaksi. Bahkan dalam hadits, ijma’ dan qiyas juga, utang-piutang tidak terlepas menjadi salah satu bahasan penting.
Sesuatu yang menyebabkan topik utang-piutang ini diperhatikan ialah karena menyangkut hak sesama. Oleh sebab itu, wajib hukumnya untuk diselesaikan dengan cara-cara yang baik.
Kewajiban untuk melunasi utang bagi peminjam (debitur) berlaku baik selama masih hidup atau meninggal dunia. Akan tetapi jika meninggal, tanggung jawab penyelesaiannya berpindah kepada ahli waris atau orang lain yang siap membantu.
Apabila tidak ada yang ingin mengambil alih urusan tersebut, maka orang yang bersangkutan akan mendapatkan kesulitan di akhirat. Di antaranya, ruh orang yang berutang akan menggantung, meskipun statusnya beriman. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ، حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Artinya, "Dari Abu Hurairah, ia berkata, 'Rasulullah SAW bersabda: "Ruh orang beriman menggantung sebab utangnya sehingga terlunasi."'” (HR. Tirmidzi)
Lantas pertanyaannya adalah bagaimana maksud dari “menggantung” dalam konteks hadits tersebut? Simak tulisan ini sampai selesai untuk mendapatkan penjelasannya.
Tidak Akan Menikmati Surga dan Berkumpul Bersama Orang Saleh
Orang yang meninggal dunia tapi masih menyisakan utang yang belum terbayarkan, maka ruhnya akan menggantung. Maksudnya adalah, ia tidak akan merasakan nikmat masuk surga, ketenangan saat dikumpulkan bersama orang saleh, dan kelezatan yang lain, sampai utangnya tersebut selesai terbayarkan.
Keterangan ini sebagaimana dikutip dari pendapat Mazharuddin Az-Zaidani dalam kitab al-Mafatih fi Syarhil Mashabih:
قوله نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ يعني: لا يدخل الجنةَ، ولا تدخل روحُه بين أرواح الصالحين، أو لا تجد روحُه لذةً ما دام عليه دَينٌ؛ حتى يُقضَى عنه
Artinya: Sabda Nabi SAW, “Ruh orang beriman menggantung sebab utangya” maksudnya adalah orang tersebut tidak akan masuk surga, ruhnya tidak akan masuk (berkumpul) di antara arwah orang-orang saleh, atau ruhnya tidak akan menemukan satu kelezatan pun, selama masih ada tanggungan utang sehingga terlunasi.” (Az-Zaidani, al-Mafatih fii Syarh al-Mashabih, [Kuwait: Darunnawadir, 2012] jilid 3, hlm. 469)
Mendapatkan Penderitaan
Selanjutnya, orang yang belum melunasi utang sampai meninggal dunia, kelak ruhnya akan menggantung. Artinya adalah ia akan merasakan penderitaan sehingga utangnya tersebut dilunasi.
Penjelasan ini dipaparkan oleh Syekh Hasan bin ‘Ali al-Fayumi dan dikemukakan oleh al-Azhari. Sebagaimana dalam kitab Fathul Qarib al-Mujib ‘alat Targhib wat Tarhib:
وهو المراد بالنفس في هذا الحديث قال: فكأن نفس المؤمن تعذب بما عليه من الدين حتى يؤدي عنه هكذا قاله الأزهري
Artinya, “Maksud dari penjelasan tentang ruh (menggantung) dalam hadits ini adalah: Seakan-akan ruh orang beriman merasakan penderitaan sebab tanggungan utang yang ia miliki. Sehingga utang tersebut lunas. Demikian pendapat al-Azhari.” (Hasan bin ‘Ali al-Fayumi, Fathul Qarib al-Mujib, [Riyadh, Maktabah Darussalam, 2018] jilid 8, hlm. 292).
Tertahan dan Tidak Mendapatkan Kemuliaan
Berbeda dengan kedua pendapat di atas. Ruh orang beriman yang menggantung karena utangnya, sebagaimana di dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi tersebut, diartikan sebagai keadaan ruh yang tertahan dan tidak akan mendapatkan kemuliaan sampai utangnya terlunasi. Hal ini merupakan pendapat dari An-Nawawi, sebagaimana dikutip juga oleh Syekh Hasan bin ‘Ali al-Fayumi dalam kitabnya:
والمختار أن معناه أن نفسه مطالبة (بما عليه ومحبوسة) عن مقامها (الكريم) حتى يقضى دينه
Artinya: “Adapun argumentasi yang terpilih, pengertian makna yang terkandung dalam hadits tersebut, bahwasanya ruh orang yang beriman tertuntut (dengan tanggungan utangnya dan tertahan) dari tempatnya (yang mulia) sampai utang tersebut dilunasi.” (Fathul Qarib al-Mujib, jilid VIII, hal. 292)
Penghakiman Amal Tertunda
Selain dari ketiga penjelasan tentang ruh yang menggantung akibat utang di atas, terdapat pendapat ulama yang memaparkan bahwa makna dari “menggantung” dalam hadits tersebut adalah tertundanya penghakiman atas amal selama di dunia.
Pendapat ini dijelaskan oleh Syekh Ali bin Sulthan Muhammad al-Qari dengan mengutip mendapat dari al-‘Iraqi. Sebagaimana dalam kitab Mirqatul Mafatih disebutkan:
و قال العراقي, اي: امرها موقوف لا يحكم لها بنجاة و لا هلاك حتى ينظر, أهل يقضى ما عليه من الدين ام لا
Artinya: “Al-Iraqi berkata: “(Maksud hadits tersebut adalah) urusannya (amal) akan terhenti. Yakni tidak akan diadili dan tidak pula ditetapkan sebagai orang yang selamat atau binasa sehingga teramati, apakah utangnya telah dilunasi atau tidak?” (Mirqatul Mafatih Syarh Misyqatul Mashabih, [Beirut: Darul Fikr, 2002] jilid V, hlm. 1948)
Hadits yang menyebutkan bahwa "ruh orang beriman terikat dengan utangnya hingga utang tersebut dilunasi" memiliki syarat dan ketentuan tertentu. Tidak setiap orang yang meninggal dengan utang yang belum lunas akan mengalami konsekuensi tersebut. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, pengecualian berlaku untuk ruh para nabi karena kekhususan mereka. (Fathul Bari bi Syarh al-Bukhari, [Mesir: Maktabah Salafiah, 1969], jilid V, hlm. 142).
Bagi orang biasa, Syekh Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfuri menjelaskan bahwa hadits ini berlaku hanya untuk orang yang meninggalkan harta warisan. Namun, bagi mereka yang tidak memiliki harta warisan tetapi bertekad melunasi utangnya, hukuman tersebut tidak berlaku. (Tuhfatul Ahwadzi, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 2010], jilid IV, hlm. 164)
Hadits ini mengingatkan kita akan pentingnya menunaikan kewajiban, terutama dalam urusan utang-piutang. Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW pernah enggan menyalatkan jenazah seorang sahabat yang masih memiliki utang hingga ada sahabat lain yang bersedia menanggung utang tersebut. Barulah setelah itu Nabi bersedia menyalatkannya.
Peristiwa di atas mengajarkan bahwa melunasi utang merupakan tanggung jawab besar yang harus diselesaikan, karena jika dibiarkan, utang dapat membebani mayit di akhirat.
Jika seseorang meninggal dunia dengan utang yang belum lunas, ahli waris sebaiknya mengambil alih tanggung jawab untuk melunasinya. Utang adalah urusan serius yang menyangkut hak sesama manusia.
Oleh karena itu, jika kita memiliki utang, berusahalah sekuat tenaga untuk melunasinya agar tidak membebani diri sendiri di akhirat maupun keluarga yang ditinggalkan. Semoga kita dijauhkan dari belenggu utang yang belum terselesaikan. Aamiin. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhaimin Yasin, Alumnus Pondok Pesantren Ishlahul Muslimin Lombok Barat dan Pegiat Kajian Keislaman
Terpopuler
1
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
2
Gus Yahya: Warga NU Harus Teguh pada Mazhab Aswaja, Tak Boleh Buat Mazhab Sendiri
3
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
4
Hal Negatif yang Dialami Jamaah Haji di Tanah Suci Bukan Azab
5
Diundang Hadiri Konferensi Naqsyabandiyah, Mudir ‘Ali JATMAN Siapkan Beasiswa bagi Calon Mursyid
6
Kemenhaj Saudi dan 8 Syarikah Setujui Penggabungan Jamaah Terpisah, PPIH Terbitkan Surat Edaran
Terkini
Lihat Semua