Home Bahtsul Masail Shalawat/Wirid Ramadhan Ilmu Hadits Khutbah Tasawuf/Akhlak Sirah Nabawiyah Doa Tafsir Hikmah Tafsir Mimpi Nikah/Keluarga Ilmu Tauhid Doa Lainnya

Menyoal Terjemahan Kemenag atas Kata 'Istawa' dalam Al-Qur’an

Menyoal Terjemahan Kemenag atas Kata 'Istawa' dalam Al-Qur’an
Illustrasi Al-quran
Illustrasi Al-quran

Terjemahan Kemenag Mengakomodasi Takwil

Salah satu yang menjadi alasan beberapa pihak untuk mempertahankan kata bersemayam sebagai terjemah kata istawa adalah anggapan bahwa terjemah selain itu dianggap sebagai takwil (pemaknaan konotatif) sedangkan terjemah yang baik sedapat mungkin dilakukan secara literal dengan menggunakan makna denotatif. Namun masalahnya, Kemenag memakai takwil berulang kali dalam berbagai tempat yang juga sama-sama membahas tentang sifat-sifat Allah. Dalam surat Thaha: 39, kata ‘ain yang secara literal adalah mata ternyata diterjemah sebagai pengawasan sehingga ‘ain-Ku di sana diartikan pengawasan-Ku. Tidak ada catatan kaki atau tanda kurung dalam terjemahan ini yang menunjukkan bahwa ini dianggap sebagai terjemahan yang telah sempurna sehingga tak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Alasan pemilihan diksi pengawasan alih-alih mata tentu saja agar makna ayat itu tidak ambigu.

Sedikit berbeda, dalam al-Fath: 10, kata “yadullah” yang secara literal berarti tangan Allah ternyata diterjemah tetap sebagai tangan. Akan tetapi diberi catatan kaki panjang yang isinya:

“Ini termasuk ayat-ayat sifat. Ahli Tafsir berbeda pendapat mengenai ayat ini. Sebagian menjelaskan bahwa yang dimaksud ‘tangan’ pada ayat ini adalah ‘kekuatan dan kekuasaan’ Allah. Sebagian lainnya menafsirkan ‘tangan Allah’ dengan pengawasan Allah akan janji setia yang diberikan oleh beberapa orang kepada Nabi Muhammad saw.”

Terjemahan ‘ain sebagai kekuasaan dan catatan kaki panjang atas makna kata “tangan Allah” di atas adalah takwil. Apabila dalam ayat-ayat ini, dan ayat lainnya, Kemenag menggunakan takwil pada ayat sifat, maka mengapa tidak melakukan hal yang sama pada kata istawa dalam kalimat istawa atas Arasy? Tentu ini sebuah keanehan.

Penyebutkan pemaknaan non-literal sebagai takwil ini pun sebenarnya tidak patut untuk dipermasalahkan sebab ini hanyalah klasifikasi ilmiah dari sebagian ulama. Sebagian lainnya tidak menggunakan klasifikasi ini sehingga mereka tidak menyebut pemahaman seperti ini sebagai takwil, namun sebagai kiasan yang lumrah digunakan oleh orang Arab yang berbeda dari takwil. Di antara yang berpendapat demikian adalah Imam al-Ghazali sebagaimana dijelaskan oleh Abu Zahrah dalam tafsirnya:

منهاج للغزالي ذكره في بعض كتبه، وهو " إلجام العوام عن علم الكلام "، وقد ذكر فيه أن بعض هذه الألفاظ التي توهم التشبيه هي استعمال مجازي مشهور، وليس تأويلا

“Metode al-Ghazali dalam sebagian kitabnya, yakni Iljâm al-‘Awâm ‘an Ilmi al-Kalâm, ia telah menyebutkan bahwa beberapa kata yang mengesankan penyerupaan Allah dengan makhluk (tasybîh) adalah penggunaan majasi yang masyhur dan bukan termasuk takwil.” (Abu Zahrah, Zahrat al-Tafâsîr, II, 1115).

Footnote Yang Tidak Memadai

Beberapa pihak beralasan bahwa menerjemah istawa sebagai bersemayam telah tepat sebab telah diberi catatan kaki yang menunjukkan kesucian Allah dari keserupaan dari makhluk atau pun paham-paham menyimpang seperti yang diyakini kelompok Mujassimah. Catatan kaki tersebut berbunyi:

‘Bersemayam di atas ʻArasy’ adalah satu sifat Allah Swt. yang wajib diimani sesuai dengan keagungan Allah Swt. dan kesucian-Nya.”. (catatan kaki al-A’raf:54)

Catatan pendek di atas tidak memadai untuk menyucikan Allah menurut perspektif Ahlussunnah wal Jama'ah sebab tidak secara konkret menegasikan makna yang menimbulkan kesalahpahaman pembaca. Ketika dinyatakan bahwa bersemayam wajib diimani sesuai keagungan dan kesucian Allah, pertanyaannya adalah apakah ada bersemayam yang sesuai dengan keagungan dan kesucian Allah? Telah dibahas sebelumnya bahwa makna kata bersemayam adalah duduk, berkediaman, tinggal atau terpatri. Makna manakah yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya dalam perspektif Ahlussunnah wal Jama'ah?

Catatan “sesuai dengan keagungan dan kesucian Allah” tidak serta merta menjadikan makna yang salah menjadi benar. Ketika misalnya dalam ayat al-A’raf: 51 Allah menyatakan bahwa Ia melupakan orang kafir di hari kiamat nanti, maka tidak serta merta dapat kita maknai bahwa di hari kiamat nanti Allah kehilangan sebagian ingatannya dengan hilang ingatan yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya. Catatan semacam ini tidak dapat begitu saja dapat mengubah pemaknaan yang salah menjadi benar.

Akan lebih memadai apabila catatan kaki tersebut dengan tegas menyebutkan makna istawa sebagaimana disebutkan dalam tafsir-tafsir Ahlussunnah wal Jama'ah sebagaimana disinggung sebelumnya. Apabila memang dirasa begitu sulit melakukan itu, meskipun sebenarnya tidak sulit, setidaknya disebutkan bahwa istawa di situ tidak bermakna bertempat tinggal, bukan dalam arti terbatas dalam ruang, tidak pula duduk dan semacamnya ketika kata ini terkait dengan makhluk.

Terjemahan Bukanlah Ayat Mutasyabihat

Sebagian pihak berapologi bahwa terjemahan kata istawa memang tidak akan memuaskan semua pihak sehingga wajar apabila dianggap bermasalah sebab ayat itu sendiri pun juga mempunyai problem yang sama. Pernyataan semacam ini selain tidak etis untuk digunakan untuk mengomentari kalamullah juga menyiratkan bahwa terjemahan seolah setara dengan ayat Al-Qur’an. Sudah maklum bahwa ayat Al-Qur’an terbagi menjadi ayat-ayat muhkamat, yakni ayat-ayat yang maknanya jelas dan ayat-ayat mutasyabihat, yakni ayat-ayat yang maknanya samar atau mengandung keserupaan. Perlu dicatat bahwa para ulama menggunakan istilah “samar” bukan “bermasalah” sebab pada hakikatnya tidak ada satu pun ayat yang bermasalah. Yang bermasalah tidak lain hanyalah pemahaman manusia yang membacanya yang bisa berbeda satu sama lain dalam hal keluasan pemahamannya.

Hal ini berarti bahwa tidak pada tempatnya menyamakan antara produk wahyu yang tak lain teks Al-Qur’an dengan produk pemahaman manusia yang berupa kata terjemahan. Seluruh kaum muslimin wajib hukumnya mengimani bahwa Allah istawa ‘ala al-arsy tanpa sedikit pun melakukan gugatan atasnya sebab itu adalah firman Allah. Namun lain cerita dengan terjemahan yang mengatakan bahwa Allah “bersemayam di atas Arasy”, tak ada satu pun kaum muslimin yang wajib mengimani terjemahan ini sebagai sifat Allah yang boleh dipertanyakan, berbeda dari apa yang dinyatakan dalam catatan kaki ayat al-A’raf versi terjemahan Kemenag di atas. Keberadaan ayat-ayat dalam kategori mutasyabihat dalam Al-Qur’an tidak serta merta dapat menjadi alasan untuk menyodorkan kata lain atau istilah lainnya yang mutasyabihat juga. Hanya Allah saja yang berhak memberikan istilah yang wajib diimani apa adanya tanpa dipertanyakan.

Berbicara tentang sisi tasyâbuh atau kesamaran makna dalam kalimat istawa ‘ala al-arsy juga menyisakan satu keunikan tersendiri. Berbagai terjemah Al-Qur’an berbahasa Indonesia kerap menerjemahkannya sebagai “bersemayam di atas Arasy”. Kata al-arsy dibiarkan tanpa diterjemah sehingga terkesan ada kesamaran makna yang begitu kental hingga ia tidak dialihbahasakan. Padahal al-arsy adalah benda yang notabene adalah makhluk Allah. Ia bukanlah sesuatu yang mesti dipahami secara abstrak sebab maknanya dalam bahasa Arab sangat jelas. Adakalanya ia bermakna sebagai singgasana raja (sarîr al-malik) dan adakalanya ia bermakna sebagai atap (saqf). Bisa jadi kedua makna ini sama-sama dimaksud dalam ayat tersebut sehingga memilih salah satu atau keduanya sebagai terjemah sama sekali tidak masalah.

Sebaliknya, kata istawa yang terkait langsung dengan Allah sehingga begitu samar dan misterius justru dialihbahasakan menjadi “bersemayam” yang notabene adalah duduk atau bertempat tinggal. Andai mau dipilih satu kata untuk tidak diterjemah, seharusnya kata inilah yang dibiarkan apa adanya sebab perbedaan pendapat tentangnya begitu banyak dan rumit. Sebagian ulama mengartikan bahwa itu adalah sifat bagi Dzat Allah yang tidak boleh dibahas maknanya tetapi hanya ditetapkan lafaznya saja (Lihat dua karya Ibnu Qudamah, Lum’at al-i’tiqâd dan Tahrîm an-Nadhar Fi Kutub al-Kalâm). Sebagian lainnya mengartikannya sebagai sifat bagi Dzat Allah yang boleh dimaknai tetapi mereka berbeda pendapat tentang penentuan maknanya sebagaimana disinggung sebelumnya dan dibahas dalam begitu banyak kitab tafsir. Di sisi lain ada juga kelompok ulama yang memaknai istawa bukan sebagai sifat Dzatiyah tetapi sebagai tindakan Allah (sifat fi’liyyah). Mereka pun berbeda pendapat apakah tindakan tersebut khusus berlaku pada Arasy saja sebagaimana dinyatakan oleh Sufyan ats-Tsauri dan al-Asy’ari yang berkata bahwa istawa adalah suatu tindakan Allah atas Arasy ataukah ia merupakan tindakan berlaku pada seluruh makhluk sedangkan Arasy disebut sebagai perwakilan sebagaimana dinyatakan an-Nasafi dalam tafsirnya? Ada juga ulama yang menganggap bahwa yang istawa bukanlah Allah tetapi penciptaan semesta oleh Allah (istawa khalquhu), ini adalah pendapat Ibnu al-A’rabi. Sebagian lagi mengartikannya sebagai sempurnanya urusan Allah (istawa amruhu) , ini adalah pendapat al-Hasan (Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhîth Fi at-Tafsîr, V, 65). Banyaknya penafsiran ini terhadap satu kata istawa cukup menjadi alasan kuat agar kata ini tidak dialihbahasakan tetapi dibiarkan apa adanya sebagai istawa dengan memberikan catatan kaki yang relevan agar pembaca dapat memahaminya.

Terjemahan Kata على yang Tidak Tepat

Problem lainnya dari terjemahan istawa ‘ala al-arsy adalah pada kata على yang diterjemah menjadi di atas. Penerjemahan dengan “di atas” hanya digunakan ketika membahas satu benda/orang yang bertempat di atas benda lainnya, misalnya dalam kalimat al-kitâb ‘alâ al-maktab yang artinya bukunya di atas meja. Ketika maknanya sama sekali tidak menunjukkan tempat, seperti saat kata ini berada setelah kata kerja transitif, maka kata على tidak diterjemah dengan “di atas” melainkan dapat diterjemah dengan kata “atas” atau dihilangkan begitu saja, misalnya: Dalam ayat al-Fatihah: 7, kalimat alladzîna an’amta ‘alaihim dalam terjemahan Kemenag edisi penyempurnaan diterjemah sebagai “orang-orang yang telah Engkau beri nikmat”, bukan “orang-orang yang telah Engkau beri nikmat di atas mereka”. Demikian juga dalam al-Baqarah:7, kalimat khatama Allâh ‘alâ qulûbihim wa ‘alâ sam’ihim diterjemah sebagai “Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka”, bukan “Allah telah mengunci di atas hati dan di atas pendengaran mereka”. Terjemah Kemenag yang menghilangkan kata على ini dalam sangat baik dan cermat.

Sayangnya kata على dalam istawa ‘ala al-arsy bukannya dihilangkan juga semisal dengan terjemah “Menguasai Arasy”, tetapi malah diterjemah “di atas” yang menunjukkan lokasi atau tempat. Padahal dalam perspektif Ahlussunnah wal Jama'ah makna atau kesan lokasi atau tempat ini wajib dihilangkan dari Allah.

Selanjutnya:
Maksud Benar, Diksi Salah



Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

Terkait

Ilmu Tauhid Lainnya

Rekomendasi

topik

Berita Lainnya

×