Ilmu Tauhid

Salaf sebagai Realitas dan Fiksi (1)

Sab, 29 September 2018 | 02:30 WIB

Seluruh umat Islam sepakat bahwa generasi terbaik dan ideal yang layak menjadi rujukan adalah generasi Salaf atau generasi tiga abad pertama.  Dalam hal aqidah dan fiqih, seluruh umat Islam sepakat untuk menjadikan pendapat dan tindakan ulama salaf sebagai rujukan. Namun dalam realitasnya, ada pemaknaan yang berbeda tentang kata salaf ini. Ketika seorang Muslim menyebut kata "Salaf" di era modern ini, maka artinya terbagi menjadi dua macam, yaitu: Salaf sebagai realitas dan salaf sebagai fiksi.
 
Salaf sebagai sebuah realitas
 
Salaf sebagai sebuah realitas artinya adalah tokoh yang nyata dalam realitas sejarah di tiga abad pertama. Dalam arti ini, ketika seseorang mengatakan bahwa dia mengikuti ulama salaf, maka dia dapat dengan mudah menyebutkan tokoh salaf mana yang dia ikuti, misalnya dalam bidang fiqih adalah salah satu dari keempat imam mazhab atau dalam bidang aqidah adalah Imam Abu Hasan al-Asy'ari atau Imam Abu Manshur al-Maturidi. Kesemua nama itu adalah ulama salaf yang nyata yang keilmuannya diakui seluruh dunia serta pendapat-pendapatnya terdokumentasikan dengan baik dalam mazhabnya masing-masing sehingga bisa diuji validitasnya.
 
Ketika ternyata didapati ada perbedaan pendapat antara ulama salaf yang satu dan yang lain, maka pengikut ulama salaf dalam arti riil ini akan mengakui bahwa ada ikhtilaf antara para imam salaf serta dapat dengan mudah menyebutkan perbedaannya. Akhirnya, pengikut salaf dalam makna ini akan mudah untuk saling mengerti landasan dari masing-masing kelompok dan akan jauh dari sikap fanatisme. Itulah mengapa, dalam tradisi penganut salaf dalam kategori pertama ini, kerap kali dimunculkan beberapa pendapat ulama sekaligus tentang satu hal yang sama sebagai penghargaan dan kejujuran bahwa para ulama salaf tak memahami masalah tersebut dalam satu versi pendapat saja, melainkan ada beberapa pendapat yang bertolak belakang.
 
NU sebagaimana digariskan oleh Hadratussyekh Hasyim Asy'ari mengakui empat mazhab fiqih salaf sekaligus, yakni Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah dan Hanabilah. Sebagai implementasinya, dalam tradisi Bahtsul Masa'il di kalangan NU biasa disebutkan pendapat dari berbagai mazhab terlebih dahulu sebelum suatu masalah dirumuskan jawabannya. Bahkan dalam rumusan akhir pun tak jarang diputuskan dengan dua atau tiga pendapat yang berbeda dari para ulama sehingga pembaca bisa memilih pendapat mana yang dia anggap paling baik.
 
Adapun dalam hal aqidah, NU juga merujuk pada imam salaf, yakni Abu Hasan al-Asy'ari dan Abu Manshur al-Maturidi. Keduanya adalah tokoh Ahlussunnah wal Jama’ah yang memurnikan kembali ajaran aqidah ulama salaf setelah sebelumnya didistorsi oleh berbagai aliran seperti Jahmiyah, Mujassimah, Syi’ah, Muktazilah dan banyak lainnya. Meskipun ajaran kedua tokoh ulama salaf ini identik, namun kedua madrasah aqidah ini juga mempunyai beberapa perpedaan pendapat di level detail, seperti bagaimana seharusnya menyikapi sifat-sifat mutasyabihat apakah wajib ditafwidh ataukah ditakwil saja? Perbedaan semacam ini seluruhnya diakomodir sebagai bentuk penghargaan terhadap ulama salaf, tanpa perlu dipertentangkan secara diametral mana yang benar dan mana yang sesat, tetapi dipahami bahwa ini hanyalah antara siapa yang diperkirakan mendapat dua pahala karena pendapatnya tepat dan siapa yang mendapat satu pahala saja sebab tidak tepat.
 
Sebagai contoh, dalam masalah aqidah, ketika memahami ayat وجاء ربك (dan datanglah Tuhanmu) pada surat al-Fajr:22, Sahabat Ibnu Abbas menakwilnya sebagai kedatangan urusan dan putusan Allah (‘amruhu wa qadlâ’uhu), bukan kedatangan Allah sendiri. (Lihat: An-Nasafi, Tafsir an-Nasafi, juz III, halaman 641).
 
Demikian juga dalam memahami hadits turunnya Allah pada sepertiga malam terakhir, Imam Malik dan al-Auza’i justru menakwilnya. Dalam hal ini Imam Malik mengartikan turunnya Allah sebagai turunnya rahmat, urusan dan malikat Allah (rahmatuhu wa amruhu wa malaikatuhu). (Lihat: an-Nawawi, Syarh an-Nawawi 'ala Muslim, juz VI, halaman 37).
 
Namun sebagian ulama salaf lainnya memilih untuk tidak menakwil sifat-sifat khabariyah seperti itu tetapi memilih memasrahkan makna sejatinya kepada Allah dengan meyakini bahwa makna tersebut pastilah makna yang layak bagi keagungan-Nya, bukan makna jismiyah. Perbedaan pendapat seperti ini semuanya diakui benar dan dapat dipilih. Siapa yang paling benar di sisi Allah akan mendapat dua pahala dan siapa yang kurang benar akan mendapat satu pahala.
 
Dalam masalah fiqih, ketika membahas masalah qunut subuh misalnya, didapati kenyataan bahwa para Imam dari kalangan ulama salaf berbeda pendapat. Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah berpendapat bahwa qunut subuh adalah sunnah berdasarkan beberapa dalil yang disebutkan dalam mazhab mereka. Sedangkan Mazhab Hanafiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa tidak ada qunut dalam salat subuh berdasarkan beberapa dalil yang disebutkan dalam mazhab mereka. Perbedaan semacam ini juga diakomodasi oleh para pengikut salaf dalam pengertian pertama ini, yang salah satunya adalah para Nahdliyyin, sehingga mereka terbiasa hidup rukun dalam perbedaan pendapat para ulama.
 
Para pengikut salaf dalam arti ini akan sadar betul bahwa ulama salaf seringkali berbeda pendapat dalam hampir semua hal, mulai dari detail-detail akidah hingga detail-detail masalah fiqhiyah. Konsistensi mereka pada mazhab salaf membuat mereka toleran dan tak mudah menjatuhkan vonis sesat atau bid’ah pada Muslim lainnya yang juga mengikuti imam dari kalangan salaf.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember
 
 
Bersambung pada bagian selanjutnya...