Khutbah KHOTBAH JUM'AT

Islam Agama Perdamaian, Bukan Perang!

Kam, 11 Februari 2016 | 05:57 WIB

Islam Agama Perdamaian, Bukan Perang!

Ilustrasi (www.straitstimes.com)

Khotbah I
 
الحَمْدُ لِلهِ، الحَمْدُ لِله الَّذِيْ شَرَعَ عَلَيْنَا الجِهَادَ، وَحَرَّمَ عَلَيْناَ الفَسَادَ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شهادَةَ أدَخَرَهَا لِيَوْمِ المِعَاد، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللهمّ صَلّ وسّلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وِعَلِى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ

Jamaah shalat jum’at rahimakumullâh,

Umat Islam periode awal pernah mengalami ketegangan militer dengan kaum musyrikin Quraisy ketika sekitar 1400 muslimin hendak menunaikan ibadah haji. Kaum musyirikin yang tidak rela berupaya menghalangi pintu masuk kota Makkah dengan kekuatan militer yang cukup besar.

Di sinilah Rasulullah mengambil jalur perundingan.  Hasilnya, pada bulan Maret 628 M atau Dzulqaidah 6 H, perjanjian hudaibiyah atau disebut ”shulhul hudaibiyah” ditetapkan, di antaranya menyepakati adanya gencatan senjata dan kesempatan beribadah umat Islam di Makkah.

Kitab Hayatus Shahabat menjelaskan, ternyata perundingan tak berlangsung mulus, bahkan cenderung merugikan umat Islam. Contohnya, muncul penolakan-penolakan terkait dengan sebagian redaksi pembuka perjanjian yang diusulkan Rasulullah.

Waktu itu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada juru tulisnya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, “Tulislah bismillâhirrahmânirrahim (atas nama Allah yang maha rahman lagi maha rahim).”

Perwakilan musyrikin Quraisy, Suhail bin Amr, langsung protes, “Ar-Rahman? Aku tak mengenal dia. Tulis saja bismika allahumma seperti biasanya!”

Umat Islam geram dengan penolakan tersebut. Mereka tetap menginginkan kalimat agung bismillâhirramânirrahim tetap tercantum dalam teks perjanjian.

Tapi apa respon Nabi? Kata beliau kepada Sayyidina Ali, “Tulis saja bismika allahumma.”

Lantas Rasulullah melanjutkan, “Tulis lagi, hadza ma qadla ’alaih muhammad rasulullah (Inilah ketetapan Muhammad rasulullah).”

Suhail pun kembali berontak, ”Sumpah, seandainya kami mengakui kau adalah rasulullah (utusan Allah), kami tak akan menghalangimu mengunjungi Ka’bah. Jadi tulis saja Muhammad bin Abdullah.”

Jawab Nabi, “Sungguh aku adalah rasulullâh meskipun kalian mengingkarinya.” Akhirnya Nabi mengabulkan tuntutan musyrikin Quraisy untuk menghapus frase rasulullâh dan menggantinya Muhammad bin Abdullah saja. Dan perjanjian Hudaibiyah pun terwujud sehingga umat Islam dan beribaadah dengan aman.

Potongan sejarah ini tak hanya menunjukkan Rasulullah sebagai diplomat ulung di tengah ancaman pertumpahan darah antara pihak muslimin dan musyrikin, tapi juga komitmennya yang memprioritaskan kemaslahatan umat lebih luas. Beliau juga tak sedang mengalahkan Islam atas kemusyrikan, karena yang dikorbankan toh simbol-simbol formal belaka. Bagi Nabi, perdamaian jauh lebih penting ketimbang simbol-simbol tersebut. Lagi pula dengan perjanjian tersebut, umat Islam tak lantas kehilangan iman tauhidnya atau tidak bebas menjaankan ibadah.

Jamaah shalat jum’at yang semoga dirahmati Allah,

Rasulullah sejak awal telah mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi perdamaian. Hal itu sejatinya sudah tercermin dari kata “islam” yang berakar kata “salâm”. Salam bermakna keselamatan, perdamaian, kesejahteraan. Bahkan salah satu dari 99 nama indah Allah (asmâul husna) adalah As-Salâm yang berarti (mahamemberi kedamaian/keselamatan).

Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُو السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصَلُّوْا وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ

“Wahai manusia, tebarkanlah perdamaian, berilah makan orang lain, dan shalatlah di saat orang-orang sedang tidur, niscaya kalian akan masuk surga dengan damai.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan Hakim)

Dalam sejarah peperangan yang dialami umat Islam pun tak pernah pihak muslimin dalam posisi menyerang kecuali pada perang Fathu Makkah (pembebasan kota Makkah), itu pun lantaran perjanjian Hudaibiyah dilanggar secara sepihak oleh kaum musyrikin; dan proses kemenangan juga diraih Islam tanpa merusak fasilitas publik dan menumpahkan darah setetes pun.

Bila ditelisik lebih jauh, sejatinya perang dalam Islam dilatarbelakangi oleh alas an meladeni serangan musuh, seperti yang terjadi dalam perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Dalam konteks ini umat Islam perang untuk mempertahankan diri. Sebagaimana para ulama Nusantara dulu yang berjuang mempertahankan kemerdekaan tanah air dari kolonialisme.

Hal ini selaras dengan ayat:

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka. (QS. Al-Hajj: 39)

Jamaa’ah shalat jum’at rahimakumullâh,

Mari kita sejenak merenung, bila Islam terhadap binatang dan tumbuhan saja menganjurkan pemeluknya untuk berbuat baik, mana mungkin ia memerintahkan untuk menyakiti atau membunuh manusia secara membabi buta. Perbedaan paham atau kultur tak menyebabkan perpecahan dan permusuhan antarsesama. Islam tak pernah mengajarkan permusuhan terhadap pihak lain yang berbeda suku, etnis, bahasan, warna kulit, profesi, agama, strata ekonomi, status sosial; karena Allah subhanahu wata‘alâ mengingatkan kita dalam surat Al-Baqarah ayat 193 bahwa tidak ada musuh selain terhadap orang-orang yang berbuat zalim, falâ ‘udwâna illâ ‘aladl-dlâlimîn.

Khotbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ اَعِزَّ اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ اَعْدَاءَالدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ
 
(Alif Budi Luhur)