Khutbah

Khutbah Jumat: Jaga Kerukunan Meski Berbeda Pilihan

Kam, 15 Februari 2024 | 08:00 WIB

Khutbah Jumat: Jaga Kerukunan Meski Berbeda Pilihan

Jaga kerukunan. (Foto: NU Online/Freepik)

Khutbah Jumat ini mengajak kepada umat Islam dan seluruh warga bangsa Indonesia untuk tetap mengedepankan kerukunan dalam proses dan pasca-Pemilu walaupun berbeda dalam pilihan. Kerukunan menjadi kunci dalam menjaga dan melanjutkan pembangunan bangsa.


Khutbah Jumat ini berjudul: “Khutbah Jumat: Jaga Kerukunan Meski Berbeda Pilihan". Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Semoga bermanfaat! (Redaksi) 



Khutbah I


اَلْحَمْدُ للهِ حَمْداً يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَه، يَا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِي لِجَلَالِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَلِعَظِيْمِ سُلْطَانِك. سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ لَا أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِك. وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَه، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَصَفِيُّهُ وَخَلِيْلُه. خَيْرَ نَبِيٍّ أَرْسَلَه. أَرْسَلَهُ اللهُ إِلَى الْعَالَمِ كُلِّهِ بَشِيرْاً وَنَذِيْراً. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً وَسَلَاماً دَائِمَيْنِ مُتَلَازِمَيْنِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْن. أَمَّا بَعْدُ فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ


Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,

Pada hari yang mulia ini, khatib menyeru kepada jamaah sekalian wabil khusus kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah dengan semaksimal mungkin. Takwa dalam artian menjauhi segala larangan yang ditetapkan Allah swt dan menjalankan perintah-Nya. Karena dengan sifat takwa, kita akan diberi solusi oleh Allah di setiap problematika hidup yang kita alami, juga akan ada rezeki melimpah yang datang kepada kita tanpa kita sangka-sangka.


Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,

Rabu kemarin tanggal 14 Februari 2024 bangsa Indonesia telah mengadakan pesta demokrasi dengan memilih pemimpin bangsa kita, presiden dan wakil presiden Indonesia untuk masa jabatan 2024-2029. Kita juga memilih para wakil kita di lembaga legislatif dengan banyak kontestan yang ikut serta. Tentunya tidak setiap orang di antara kita memiliki pilihan yang sama.


Setiap orang di negara kita memiliki hak untuk menentukan kepada siapa suaranya berpihak. Entah itu paslon 01, 02 atau 03. Setiap kita pasti memiliki alasan masing-masing mengapa memilih paslon capres-cawapres tersebut. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai makhluk yang ditakdirkan berbeda untuk menghormati pilihan orang lain.


Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,

Islam memandang perbedaan sebagai rahmat dari Allah ta’ala agar kita semua saling memahami karakter satu sama lain. Perbedaan ini tercermin dalam setiap pendapat dan pilihan berbeda antar tiap-tiap individu, termasuk dalam menentukan pemimpin bangsa kita dalam pemilu kemarin.


Berbeda boleh, akan tetapi bermusuhan dan saling menghina juga merendahkan sangat dilarang oleh agama Islam. Allah ta’ala berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 11:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ 


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS Al-Hujurat 11).


Berkaitan dengan ayat ini, Imam al-Qusyairi, seorang tokoh sufi abad ke-5, dalam tafsirnya yang berjudul Lathaiful Isyarat jilid III, hal. 442 mengatakan:


نَهَى اللَّهُ - سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى - عَنِ ازْدِرَاءِ النَّاسِ، وَعَنِ الْغِيْبَةِ، وَعَنِ الْاِسْتِهَانَةِ بِالْحُقُوْقِ، وَعَنْ تَرْكِ الْاِحْتِرَامِ


Artinya: “Allah subhanahu wa ta’ala melarang penghinaan terhadap manusia, melarang ghibah, meremehkan hak, dan meninggalkan rasa hormat pada orang lain.” 


Senada dengan ayat Al-Qur'an ini, Rasulullah saw juga pernah berpesan kepada umatnya untuk jangan saling bermusuhan, membenci, dan mendengki akibat perbedaan langkah dan pendapat yang dipilih. Beliau bersabda:


لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً . الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ


Artinya: “Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah, dan saling memutuskan hubungan. Janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya.” (HR Muslim).


Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,

Dalam hal perbedaan yang diiringi dengan perdamaian, kita dapat meniru kisah antara sayyidah Aisyah dengan sayyidina Ali, di kala keduanya berbeda dalam urusan politik. Kisah ini diceritakan dalam buku ensiklopedia Ummul Mu’minin Aisyah radhiyallahu ‘anha yang ditulis secara komprehensif oleh Syekh Alawi bin Abdil Qadir Assegaf.


Sebagaimana yang kita ketahui, pasca wafatnya Nabi Muhammad saw, umat Islam terbelah menjadi dua golongan, khususnya ketika di akhir masa kepemimpinan Utsman bin Affan hingga terbunuhnya beliau dan digantikan oleh Ali.


Ali bin Abi Thalib yang sebelumnya berperan sebagai penengah antara pemberontak dan Utsman, akhirnya dengan terpaksa dipilih sebagai khalifah oleh penduduk Madinah, meskipun awalnya menolak. Pengangkatan Ali menimbulkan ketidakpuasan pada diri sayyidah Aisyah, yang kala itu berada di Makkah. 


Menurut sayyidah Aisyah, seharusnya pembunuh khalifah Utsman ditemukan dan diadili dahulu, barulah Ali dipilih oleh masyarakat dalam kondisi damai dan tenang. Pendapat Aisyah ini berbeda dengan masyarakat Madinah yang menimbang kepemimpinan tidak boleh kosong dan harus tetap berjalan.


Sejak saat itu hubungan keduanya agak bersinggungan dalam perihal pandangan politik hingga sayyidah Aisyah menuntut agar kasus pembunuhan Utsman dituntaskan hingga kian hari keadaan antara pendukung sayyidina Ali dan sayyidah Aisyah kian memanas dan terjadilah peristiwa Perang Jamal atau Perang Unta.


Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,

Kendati keduanya pernah terlibat dalam perbedaan politik, akan tetapi pada hakikatnya sayyidah Aisyah dan sayyidina Ali tidak ingin berperang, bermusuhan, apalagi saling mencaci. Keadaan dan kondisi politiklah yang membuat keduanya terpaksa berbeda dalam menentukan langkah, ditambah oleh dorongan pengikut mereka.


Bahkan diriwayatkan dalam Tarikh ath-Thabari dikisahkan keduanya pernah saling bertemu di kala kondisi politik memanas dan Ali menyapa serta menanyakan kabarnya, “Wahai Ummul Mu’minin, bagaimana kabar Anda?


Baik, Alhamdulillah.” Jawab ‘Aisyah


Semoga Allah senantiasa mengampuni Engkau.” Ujar Ali mendoakan sayyidah Aisyah.


Selain itu, diceritakan pula dalam Tarikhul Madinah karya Ibnu Syabah bahwa sayyidah Aisyah tidak pernah sama sekali ingin memakzulkan kepemimpinan Ali. Beliau murni hanya ingin keadilan ditegakkan dan pelaku Utsman ditemukan.


Sayyidah Aisyah juga sangat objektif dan tidak emosional dalam bersikap pasca selesainya peristiwa besar itu. Tatkala Syuraih bin Hani` datang kepada sayyidah Aisyah untuk menanyakan bagaimana tatacara mengusap khuf atau sepatu, sayyidah Aisyah merekomendasikan Syuraih agar bertanya kepada sayyidina Ali yang cukup mapan dalam mengetahui praktik penyuciannya.


Begitupun dengan sayyidina Ali, dalam pandangan serta akal sehatnya ia pernah menyebutkan, “Andai saja seorang perempuan dapat diangkat menjadi khalifah, maka yang pantas menduduki jabatan tersebut tentu saja Aisyah.” (‘Alawy bin ‘Abdil Qadir, dkk, Aisyah Ummul Mu’minin, [Saudi: Muassasash ad-Durar as-Saniyyah, 2013],  hal. 281) .


Dari kisah ini, kita dapat melihat bagaimana keduanya tetap rukun, saling memuji dan menjaga objektivitas meski memiliki pandangan politik yang berbeda. Kerukunan antarkeduanya dapat kita jadikan teladan dan contoh dalam pesta demokrasi tahun ini. 


Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah swt,

Demikianlah kisah antara sayyidina Ali dan sayyidah Aisyah serta penjelasan terkait kerukunan yang harus dipelihara di kala setiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda. Semoga kita dapat menjaga kedamaian dan bangsa Indonesia seluruhnya selalu berada dalam ketenangan, kemakmuran serta kemaslahatan. 


بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم 


Khutbah II


الْحَمْدُ لِلَّهِ وَ الْحَمْدُ لِلَّهِ  ثُمَّ الْحَمْدُ لِلَّهِ. أَشْهَدُ أنْ لآ إلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَا نَبِيّ بعدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ.
أَمَّا بَعْدُ  فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يٰأَ يُّها الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، اَلْأَحْياءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ
اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ 
عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta