Khutbah Jumat: Kenali Ciri Ulama, Hati-Hati Memilih Rujukan Agama
Kamis, 17 Oktober 2024 | 16:00 WIB
Muqoffi
Kolomnis
Saat ini banyak orang yang diakui sebagai tokoh agama dan ulama di media sosial, walaupun tidak memiliki kriteria yang relevan untuk ditokohkan dan dianggap sebagai ulama. Karena itu, perlu dipahami bahwa tidak semua orang bisa dijadikan rujukan dalam merespons problematika umat. Terdapat kriteria tertentu yang sudah digariskan oleh ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, antara lain orang tersebut harus harus jelas asal pendidikannya, memiliki ilmu yang mendalam, dan dapat dipercaya.
Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul “Kenali Ciri Ulama, Hati-Hati Memilih Rujukan Agama." Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Semoga bermanfaat!
Khutbah I
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُوْرِ الدُّنْيَا وَالدِّيْنِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ، الْمَلِكُ الْحَقُّ اْلمُبِيْن. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَـمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَادِقُ الْوَعْدِ اْلأَمِيْنُ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Menjadi keniscayaan bagi kita untuk senantiasa memanjatkan rasa syukur kepada Allah swt yang telah menganugerahkan kehidupan di dunia dengan segala fasilitas yang bisa kita nikmati. Shalawat dan salam kita abadikan kepada Nabi Muhammad saw yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam yang ilmiyah. Semoga kita menjadi umatnya yang patuh pada sabda-sabdanya dan kelak mendapatkan syafa'at uzhma-nya. Amin ya rabbal ‘alamin.
Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Di era digital ini banyak orang yang diulamakan oleh penikmat media sosial. Dia bukan ahli di bidang agama tapi diidolakan dan diagung-agungkan bahkan menjadi rujukan utama dalam segala tindakan dan perbuatan, tidak terkecuali dalam beramaliyah sehari-hari.
Legitimasi dan pengakuan terhadapnya seringkali melebihi pengakuan terhadap ulama besar dan gurunya sendiri yang sudah lama memberi bimbingan, pembelajaran bahkan keteladanan, sehingga ketika terjadi perbedaan pandangan, maka dialah yang menjadi pilihannya.
Karenanya, dirasa sangat penting dipahami bersama bahwa ulama Ahlussunah wal Jama’ah sudah menentukan barometer siapa saja yang dapat diambil ilmunya dan dijadikan rujukan dalam beramal.
Dalam kitab Risalah Ahlussunah wal Jama’ah karya Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan mengambil ilmu dari orang yang tidak diketahui dari mana dia belajar. Beliau mengutip pandangan imam Malik:
لا تَحْمِلِ الْعِلْمَ مِنْ اَهْلِ الْبِدَعِ وَلا تَحْمِلْهُ عَمَّنْ لَا يُعْرَفُ بِالطَّلَبِ
Artinya: “Janganlah kamu membawa ilmu dari orang yang ahli bidah, dan jangan pula membawa ilmu dari orang yang tidak dikenal kepada siapa dia mempelajarinya”.
Maka, kenali dulu di pesantren atau institusi pendidikan mana dia belajar, seperti apa profil lembaga pendidikannya dan siapa gurunya. Perlu diidentifikasi dari tiga sisi, yaitu seperti apa corak pemikirannya, bagaimana amaliyahnya dan bagaimana pula bentuk gerakannya.
Jangan hanya karena kenal melalui media sosial lantas kita proklamirkan sebagai orang yang ahli agama. Jangan karena petuahnya masuk akal lalu kita jadikan pedoman dalam memutuskan problematika hukum.
Kita sadari kembali bahwa ilmu bisa diperoleh dengan proses pembelajaran, bukan bawaan dari lahir, bukan pula hadiah dari garis keturunan. Sehingga apa yang disampaikan melalui kajian yang mendalam dari beberapa referensi yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan asal mengutip yang tidak dipahami makna yang sebenarnya.
Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Ciri berikutnya orang yang dapat dijadikan rujukan adalah mereka yang betul-betul ahli dalam ilmu agama. Mampu memahami Al-Qur’an dan hadits dengan baik, begitu juga perangkat-perangkat keilmuan lainnya yang menunjang pemahaman terhadap Al-Quran dan Sunnah. Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah pernah berpesan:
فَلا تَرْوُوْهُ اِلَّا عَمَّنْ تَحَقَّقَتْ أَهْلِيَّتُهُ
Artinya: “Maka, jangan kamu meriwayatkan suatu ilmu kecuali dari orang yang benar-benar ahli dalam bidang tersebut”.
Tidak boleh sembarang orang dijadikan rujukan untuk kasus-kasus krusial yang membutuhkan pemahaman yang mendalam. Tidak boleh setiap orang diberi panggung untuk memutuskan perkara yang sangat penting, terutama bagi umat Islam. Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin juga menegaskan:
وَإِنْ كَانَ مِنْ دَقَائِقِ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ وَمِمَّا يَتَعَلَّقُ بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِ الْاِبْتِدَاءُ بِإِنْكَارِهِ بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ
Artinya: “Kalau merupakan perkataan dan tindakan yang detail dan hal-hal yang berhubungan dengan ijtihad, maka orang awam tidak boleh memulai dalam melakukan pengingkaran, melainkan aktivitas tersebut harus dilakukan oleh para ulama.”
Tentu saja berkaitan dengan penjelasan yang khatib sebutkan, seseorang yang disebut sebagai ulama adalah yang dinilai telah mumpuni dalam keilmuannya oleh para ulama lainnya, bukan mereka yang dianggap ulama oleh netizen di media sosial secara sembarangan, bukan pula mereka yang mengatasnamakan dirinya sebagai ulama secara serampangan.
Jamaah sekalian, dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat ke 36, Allah swt berfirman:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
Artinya: “Dan janganlah kamu mengatakan sesuatu yang tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya kelak.”
Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat yang dirahmati Allah
Ciri lain orang yang dapat dijadikan rujukan ilmunya adalah mereka yang dapat dipercaya ucapan dan tindakannya. Bukan orang yang berani membohongi umat untuk kepentingan pribadi dan golongan. Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah menegaskan:
وَلا عَمَّنْ يَكْذِبُ فِيْ حَدِيْثِ النَّاسِ وَإنْ كَانَ لا يَكْذِبُ فِيْ حَدِيْثِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: “Dan jangan mengambil ilmu dari seseorang yang melakukan kebohongan di muka umum, walaupun dia tidak berbohong jika sedang berbicara tentang hadits Nabi Muhammad saw”.
Maka, Jangan hanya menilai seseorang dari ilmunya saja, tetapi juga dari amal perbuatannya. Ilmu yang disertai dengan keikhlasan dan kejujuran memiliki kekuatan besar untuk menyentuh hati seseorang yang mendengarnya, dan tentu saja membawa keberkahan bagi umat. Hal ini jauh lebih berharga daripada segudang ilmu tanpa kejujuran dan pengamalan. Al-Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith dalam Al-Manhajus Sawi mengatakan:
كَلَامُ أهْلِ الإخْلاصِ وَالصِّدْقِ نُوْرٌ وَبَرَكَةٌ وَاِنْ كَانَ غَيْرَ فَصِيْحٍ
Artinya: “Perkataan orang-orang yang ikhlas dan jujur adalah cahaya dan keberkahan, meskipun tidak diungkapkan dengan fasih.”
Karena itu, mari berhati-hati memilih rujukan dan pedoman dalam merespons persoalan agama. Tidak semua orang yang memiliki kemampun menyampaikan materi dinyatakan sesuai dengan ketentuan Islam. Justru kadang dialah yang menyesatkan dan memprovokasi umat.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْاٰنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَاِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْاٰيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَيَا فَوْزَ الْمُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِيْنَ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْاِيْمَانِ وَالْاِسْلَامِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامِ. وَعَلٰى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ. أَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلَامُ وَأَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الشَّرَفِ وَالْإِحْتِرَامِ أَمَّا بَعْدُ. فَيَاأَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى اِنَّ اللهَ وَ مَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَ عَلٰى أٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ فْي الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللّٰهُمَّ وَارْضَ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، وَعَنْ اَصْحَابِ نَبِيِّكَ اَجْمَعِيْنَ، وَالتَّابِعِبْنَ وَتَابِعِ التَّابِعِيْنَ وَ تَابِعِهِمْ اِلٰى يَوْمِ الدِّيْنِ اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْاَمْرَاضَ وَالْفِتَنَ مَا لَا يَدْفَعُهُ غَيْرُكَ عَنْ بَلَدِنَا هٰذَا اِنْدُوْنِيْسِيَّا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلَادِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ، رَبَّنَا اٰتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَ فِي الْاٰخِرَةِ حَسَنَةً وَ قِنَا عَذَابَ النَّارِ
عِبَادَ اللهِ اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَ اشْكُرُوْهُ عَلٰى نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ
Ustadz Muqoffi, Guru Pon-Pes Gedangan & Dosen IAI NATA Sampang Madura
Terpopuler
1
Khutbah Idul Fitri 1446 H: Kembali Suci dengan Ampunan Ilahi dan Silaturahmi
2
Niat Zakat Fitrah untuk Diri Sendiri, Istri, Anak, Keluarga, hingga Orang Lain, Dilengkapi Latin dan Terjemah
3
Habis RUU TNI Terbitlah RUU Polri, Gerakan Rakyat Diprediksi akan Makin Masif
4
Kultum Ramadhan: Mari Perbanyak Istighfar dan Memohon Ampun
5
Fatwa Larangan Buku Ahmet T. Kuru di Malaysia, Bukti Nyata Otoritarianisme Ulama-Negara?
6
Gus Dur Berhasil Perkuat Supremasi Sipil, Kini TNI/Polri Bebas di Ranah Sipil
Terkini
Lihat Semua