Khutbah

Khutbah Jumat: Pentingnya Sifat Malu

Kam, 18 Agustus 2022 | 21:16 WIB

Khutbah Jumat: Pentingnya Sifat Malu

Malu merupakan salah satu cabang terbesar keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya dalam Islam.

Materi khutbah Jumat ini mengingatkan pada rasa malu yang kian luntur pada sebagian orang. Padahal malu adalah bagian daripada keimanan itu sendiri. Malu kepada manusia dan malu kepada Allah ketika akan berbuat keburukan akan berkontribusi besar pada peradaban manusia.


Teks khutbah Jumat berikut ini berjudul "Khutbah Jumat: Pentingnya Sifat Malu." Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Semoga bermanfaat! (Redaksi)


Khutbah I

الحَمْدُ للهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ   أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah.

Di hari Jumat yang mulia ini, khatib mengajak jamaah sekalian untuk senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan merasakan kehadiran Allah di setiap waktu yang kita jalani di kehidupan kita. Apabila kita belum mampu untuk merasakan kehadiran Allah, maka ketahuilah para jamaah sekalian, sungguh Allah subhanahu wa ta’ala selalu mengawasi kita di setiap waktu.


Jamaah yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala

Salah satu sifat yang harus dimiliki oleh kita adalah rasa malu. Sifat malu yang kita miliki akan mendatangkan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala. Tentunya, malu di sini bukanlah malu akan berbuat kebaikan. Bukanlah malu bertanya ketika sesat di jalan. Bukanlah malu untuk bersedekah kepada fakir miskin. Juga bukan malunya seorang murid yang enggan bertanya di kelas meski ia tidak paham apa yang diajarkan gurunya. Akan tetapi malu di sini adalah malu untuk berbuat yang tidak baik. Malu untuk berbuat maksiat. Malu melakukan hal-hal yang tidak layak untuk dilakukan.


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:


عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عقبه بن عمرو الانصاري الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ، فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. رَوَاهُ الْبُخَارِي   


Artinya: Diriwayatkan dari Abu Masud Uqbah bin ‘Amr Al Anshari bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah diketahui oleh manusia dari pesan kenabian yang terdahulu: jika kamu tak punya malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Al Bukhari) 


Jamaah yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala

Dalam hadits tersebut terlihat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk memiliki rasa malu. Beliau memberi sindiran kepada orang-orang yang sudah tidak memiliki rasa malu dalam berbuat keburukan dengan kata “Berbuatlah sesukamu!”.


Para jamaah, meskipun kata tersebut seolah-olah memberikan kebebasan, namun sungguh perlu diketahui bahwa kata-kata tersebut merupakan bentuk tidak pedulian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang-orang yang tidak punya rasa malu. Siksaan apa yang paling berat daripada tidak dipedulikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Malu juga merupakan tanda dari keimanan seorang muslim. Apabila sifat malu sudah tidak ada dalam diri seorang muslim, maka imannya perlu dipertanyakan oleh dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim:


اَلْـحَيَاءُ وَاْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.


Artinya,“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”


Lantas, mengapa iman dan rasa malu menjadi satu kesatuan yang saling terikat satu sama lain? 


Hal itu karena malu menjadi perisai seorang muslim yang tumbuh karena adanya rasa diawasi oleh Allah subahanu wa ta’ala di setiap waktunya. Sehingga segala tindakannya tidak serampangan. Ia akan malu apabila bermaksiat kepada Allah. Ia akan malu apabila menyakiti hamba Allah. Apabila ia seorang pejabat, maka ia akan malu apabila menyalahgunakan wewenangnya, juga harta rakyat yang harusnya ia kelola dengan semestinya. Apabila ia seorang guru, maka ia akan malu apabila mencontohkan yang tidak baik kepada muridnya. Apabila ia seorang pedagang, maka ia akan malu apabila berbuat kecurangan dalam jual beli. Dan contoh-contoh lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam khutbah Jumat ini.


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Setelah kita mengetahui pentingnya rasa malu, maka bagaimana kita memulai diri kita untuk menumbuhkan sifat malu dalam diri kita? Apa saja hal yang dapat menumbuhkan sifat malu kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala?


Jamaah sekalian, yang pertama-tama harus kita lakukan adalah dengan “Malu sejak dalam pikiran kita”. Artinya apa pun yang akan kita lakukan, maka dipikir-pikir terlebih dahulu. Apabila kita ingin melakukan perbuatan yang buruk, maka semua itu ada konsekuensinya. Baik untuk diri sendiri di kehidupan dunia, atau pun di kehidupan akhirat nanti.


Yang kedua, kita menjaga setiap asupan yang masuk ke dalam tubuh kita, jangan sampai ia bersumber dari pekerjaan dan aktivitas yang haram. Sebab nanti akan menjadi darah yang mengalir dalam tubuh kita. Bagaimana mungkin kita beribadah kepada Allah sedangkan di dalam darah kita mengalir sesuatu yang haram?


Yang ketiga adalah mengingat kematian. Dengan mengingat kematian dan memahami bahwa kematian dapat datang setiap saat, maka akan menumbuhkan sifat malu akan berbuat keburukan dan dosa. Siapa yang tahu ajal seseorang? Na’dzu billah, kita berlindung kepada Allah dari dicabutnya nyawa kita, sedangkan kita sedang dalam keadaan yang buruk, kita sedang dalam keadaan jauh dari ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. 


Jamaah yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala

Langkah-langkah yang disebutkan oleh khatib tadi pernah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menyuruh sahabat-sahabatnya untuk malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala. 


“Merasa malulah kepada Allah, dengan rasa malu yang sungguh-sungguh!.” ucap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada para sahabat. Mereka pun menjawab, “Alhamdulillah, kami telah melakukannya!”. 


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  pun meluruskan sifat malu yang beliau maksud, beliau bersabda:


وَلَيْسَ ذَاكَ، وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَلِتَذْكُرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآَخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذلكَ اِسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ 


Artinya,“Bukan begitu, tetapi sesungguhnya malu kepada Allah adalah kalian menjaga akal dan pikiran, memelihara perut (dari hal yang diharamkan), serta senantiasa mengingat kematian. Orang yang mengharapkan akhirat akan meninggalkan gemerlapnya dunia, dan orang yang telah melampaui itu telah sungguh malu kepada Allah.”


Jamaah yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala

Semoga kita dijadikan pribadi yang memiliki rasa malu, khususnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Karena dengan menjaga rasa malu kita, kita senantiasa menjaga ketakwaan kita kepada Allah, juga tentunya menjaga keimanan kita kepada-Nya.


بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِي اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم 


Khutbah II

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ ثُمَّ الْحَمْدُ لِلَّهِ. أَشْهَدُ أنْ لآ إلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ لَا نَبِيّ بعدَهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ.


أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: إِنَّ اللهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يٰأَ يُّها الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ. اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ، اَلْأَحْياءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ والقُرُوْنَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عامَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ


اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ


عٍبَادَ اللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتاءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ، وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ


Ustadz Amien Nurhakim, musyrif Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah dan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.