Nikah/Keluarga

Syarat dan Ketentuan Talak Ta‘liq 

Sab, 7 September 2019 | 11:00 WIB

Syarat dan Ketentuan Talak Ta‘liq 

"Ta'liq" berarti menggantungkan. Dengan bahasa lain, talak digantungkan pada peristiwa atau kegiatan tertentu. (Ilustrasi: NU Online)

Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, talak dari segi waktu jatuhnya terbagi menjadi tiga: munajjaz, mudhaf, dan mu’allaq. Talak munajjaz atau mu‘ajjal jatuh pada saat shighat-nya diucapkan. Sedangkan talak mudhaf jatuh pada waktu yang akan datang, nanti malam, entah esok, pekan depan, Ramadhan nanti, atau lainnya sesuai dengan waktu yang menjadi sandaran.
 
Adapun talak mu‘allaq atau talak ta‘liq adalah talak yang digantungkan terjadinya pada suatu perkara di masa mendatang. Biasanya menggunakan kata-kata jika, apabila, kapan pun, dan sejenisnya. Contohnya ungkapan suami kepada istrinya, “Jika engkau masuk lagi rumah si ini, maka engkau tertalak.” Atau, “Jika saya meninggalkanmu selama enam bulan berturut-turut, maka jatuh talak saya satu kepadamu.” 
 
Talak ta‘liq juga kerap disebut dengan sumpah majas. Sebab, pada hakikatnya ta‘liq adalah syarat dan pembalasan. Sehingga, secara tidak langsung, talak ta‘liq adalah majas karena di dalamnya terkandung makna sebab dan disertai dengan sumpah, dengan tujuan untuk mendorong, mencegah, atau memperkuat perkataan. Adapun ta‘liq sendiri adakalanya berupa lafdhi karena kata-kata syaratnya disebutkan dengan tegas, seperti apabila atau jika; ada pula yang berupa maknawi karena kata-kata syaratnya tidak disebutkan dengan tegas, seperti ungkapan, “Kamu begini, saya jatuhkan talak.” Ungkapan semacam ini tak lain bermaksud mewajibkan diri jatuhkan talak jika perkara yang disumpahkan terjadi. 
 
Adapun jenis tal‘iq atau persyaratannya boleh jadi berbentuk perkara pilihan (ikhtiyari), sehingga mungkin dilakukan mungkin juga tidak; boleh jadi bukan perkara pilihan. Perkara pilihan bisa berupa perbuatan suami, seperti perkataan suami, “Jika aku masuk ke rumah si ini, maka istriku tertalak.” Bisa juga berupa perbuatan si istri, seperti ungkapan suami, “Jika kamu keluar rumah tanpa izin, maka jatuh talakku kepadamu.” Atau ungkapan suami, “Jika kamu mau, aku jatuhkan talak kepadamu.” Sementara perkara yang bukan pilihan, misalnya kehendak Allah, terbitnya matahari, kematian seseorang, masuk awal bulan tertentu, kelahiran seseorang, dan sejenisnya. 
 
Dengan demikian, ta‘liq talak sendiri disyaratkan berupa perkara yang belum terjadi, namun mungkin terjadi, mungkin juga tidak. Jika talak digantungkan pada perkara yang telah terjadi, maka talaknya termasuk talak munajjaz. Contohnya ungkapan, “Jika kau kemarin pergi, maka engkau tertalak.” Ternyata si istri benar-benar pergi, maka talaknya jatuh pada saat itu pula. 
 
Lantas bagaimana talak digantungkan kepada perkara yang mustahil, seperti bisa terbang, naik ke langit, dan sebagainya? Contohnya ungkapan suami, “Jika kamu naik ke langit, maka engkau tertalak.” Termasuk perkara mustahil adalah kehendak Allah, seperti ungkapan, “Engkau tertalak insyaallah.” Maka kedua ungkapan itu tidak menjatuhkan talak, terlebih jika “inysaallah” di sana dimaksudkan sebagai ta‘liq, sesuai dengan pandangan para ulama Hanafi, Maliki, dan Syafi‘i. Hanya saja menurut ulama Hanbali, dengan ungkapan kedua, talak menjadi jatuh karena karena ta‘liq-nya tidak sah, sehingga ia sia-sia. Begitu pula ungkapan panggilan atau sapaan suami, “Hai tertalak, insyaallah!” maka, menurut ulama Syafi‘i, panggilan ini juga dapat menjatuhkan talak karena ta‘liq-nya tidak sah. 
 
Persyaratan ta‘liq berikutnya adalah si istri yang dijatuhi talak harus dalam keadaan siap ditalak, seperti sudah menjadi istri sah suami yang menjatuhi talak. Ini artinya, ungkapan seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang belum dinikah, “Jika kamu ngobrol lagi dengan si ini, maka engkau tertalak.” Maka dengan ungkapan itu si perempuan tidak tertalak. Sekalipun si perempuan menikah dengan laki-laki tersebut, kemudian mengobrol dengan orang dimaksud, maka talaknya tetap tidak jatuh, sebab waktu di-ta‘liq si istri tak berhak dijatuhi talak. 
 
Termasuk dalam keadaan siap dijatuhi talak manakala si istri sedang menjalani masa iddah raj‘i. Ungkapan suami kepada istrinya yang sedang masa iddah talak sebelumnya, “Jika berbincang dengan si ini, maka engkau tertalak.” Maka talaknya jatuh sebab si istri siap dijatuhi talak. 
 
Namun, tidak disyaratkan ketika terjadinya ta‘liq, sang suami termasuk orang yang sah talaknya. Sehingga setelah mengucapkan talak ta‘liq, misalnya, sang suami mengalami tunagrahita atau hilang ingatan, maka talaknya tetap jatuh. Sebab, ungkapan itu jatuh sewaktu ia masih sehat, sah talaknya, dan memenuhi syarat, sehingga pengaruh ungkapan itu tetap ada (lihat: Syekh al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, [Darul Fikr: Damaskus] jilid 9, hal. 6971). 
 
Namun, ungkapan talak mudhaf dan talak tali‘q tidak boleh disisipi kata “akan”, sebab kata “akan” salah satunya melekat pada fi‘il mudhari. Sedangkan fi‘il mudhari bukan ungkapan sharih (tegas) untuk menjatuhkan talak, sebagaimana petikan berikut. 
 
ألفاظ صريحة: وهي الألفاظ الموضوعة له، التي لا تحتمل غيره، وهي لفظ الطلاق وما تصرَّف منه، من فعل ماض، مثل: طلَّقتك، أو اسم فاعل، مثل: أنت طالق، أو اسم مفعول، مثل: أنت مطلقة. فهذه الألفاظ تدل على إيقاع الطلاق، دون الفعل المضارع أو الأمر، مثل: تطلقين واطلقي. 
 
Artinya: “Ungkapan-ungkapan sharih adalah ungkapan-ungkapan yang dibuat untuk tujuan menjatuhkan talak, di mana ia tidak memiliki makna selain makna talak. Ungkapan sharih adalah ungkapan yang mengandung kata talak itu sendiri, fi‘il madhi yang diderivasi dari kata itu, seperti ungkapan thallaqtuki (Saya [telah] mentalak kamu); isim fi’il bermakna maf‘ul, seperti anti thaliq (Kamu [telah] tertalak); atau ism maf‘ul, seperti anti muthallaqah (Kamu [telah] ditalak). Semua ungkapan itu menunjukkan jatuhnya talak. Namun dikecualikan kata talak dalam bentuk fi’il mudhari seperti tathluqin (Engkau akan tertalak), dan fiil amr seperti Uthluqi (Talaklah engkau!)” (Al-Fiqh al-Muyassar fi Dhau al-Kitab wa al-Sunnah, [Madinah: Majma Malik Fahd], 1424, jilid 1, hal. 313). 
 
Pertanyaannya, bagaimana jika seorang suami atau istri lupa melakukan sesuatu yang disyaratkan dalam talak ta‘liq atau tidak tahu bahwa perbuatannya merupakan ta‘liq, maka Syekh Zainuddin al-Malaibari, salah seorang ulama Syafi‘i, berpendapat talaknya tidak jatuh, sebagaimana berikut. 
 
يجوز تعليق الطلاق كالعتق بالشروط ولا يجوز الرجوع فيه قبل وجود الصفة ولا يقع قبل وجود الشرط ولو علقه بفعله شيئا ففعله ناسيا للتعلق أو جاهلا بأنه المعلق عليه لم تطلق.
 
“Diperbolehkan (suami) men-ta‘liq talaknya, sebagaimana ta‘liq memerdekakan budak, dengan sejumlah persyaratan. Namun talak ta‘liq tidak boleh dirujuk sebelum sifat yang digambarkan belum ada atau perkara yang disyaratkan belum terjadi. Kemudian seandainya suami men-ta‘liq talaknya dengan melakukan sesuatu, kemudian ia melakukan sesuatu tersebut karena lupa sebagai ta‘liq atau karena tidak tahu jika itu ta‘liq talaknya, maka istrinya tidak tertalak” (Syekh Zainuddin al-Malaibari, Fathul Mu‘in, [Beirut: Daru Ibnu Hazm], tanpa tahun, cet. pertama, hal. 517). 
 
Dari sini dapat disimpulkan tentang talak ta‘liq atau talak bersyarat, pertama, talak ta’liq tidak jatuh selama perkara yang dipersyaratkan tidak terjadi. Kedua, kehidupan suami istri berlangsung normal sebagaimana biasa selama perkara yang dipersyaratkan tidak terjadi. Ketiga, talak ta‘liq jatuh sejak perkara yang dipersyaratkan terjadi. Artinya, suami tidak perlu mengulangi lagi perkataan talaknya. 
 
Di antara shighat ta‘liq adalah yang biasa diucapkan pengantin pria sesaat setelah melakukan akad nikah. Selain sebagai upaya melindungki hak-hak istri, shighat ta‘liq di sana juga sekaligus sebagai janji setia dan upaya mengingatkan kewajiban suami. Berikut kutipannya: 
 
Sesudah akad nikah, saya: ....bin... berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya yang bernama ...binti ....dengan baik (mu‘asyarah bil ma‘ruf) menurut ajaran syariat agama Islam. 
 
Selanjutnya saya mengucapkan shighat ta’lik atas istri saya itu sebagai berikut: sewaktu-waktu saya (1) meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut, (2) atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; (3) atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu; (4) atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya. 
 
Kemudian istri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. 
 
Kepada pengadilan tersebut saya kuasakan untuk menerima uang pengganti itu dan kemudian menyerahkannya kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Cq. Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaaan Syariah untuk keperluan ibadah sosial. 
 
Dengan shighat ta‘liq tersebut, talak suami jatuh setelah apabila yang disebutkan dalam ta‘liq tersebut terjadi kemudian diadukan oleh istrinya ke Pengadilan Agama serta diterima pengaduannya. Artinya, walaupun apa yang disebutkan dalam talak ta’liq telah terjadi, tetapi tidak diadukan oleh istri, atau diadukan tetapi tidak diterima pengaduannya oleh pengadilan, maka talaknya tidak jatuh. Wallahu ‘alam
 
 
Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.