Ramadhan

Fiqih Puasa: Hukum Berbuka Puasa Mengikuti Azan Desa Sebelah

Rabu, 5 April 2023 | 12:00 WIB

Fiqih Puasa: Hukum Berbuka Puasa Mengikuti Azan Desa Sebelah

Ilustras: Puasa (NU Online).

Bulan puasa Ramadhan telah memasuki paruh kedua atau 10 hari pertengahan yang tak lain berisikan ampunan dari Allah swt. Seiring berlalunya beberapa hari bulan Ramadhan tak jarang beberapa hal dipertanyakan seputar fiqih puasa, salah satunya seperti: “Bagaimana hukum berbuka puasa mengikuti azan desa sebelah?”
 

Pertanyaan ini muncul disebabkan beberapa azan yang dikumandangkan terkadang tidak berbarengan karena perbedaan jam, sekalipun berbedannya tidak terlalu signifikan, berbeda 1 hingga 2 menit. Perbedaan ini tidak hanya antara desa satu dengan desa yang lain, bahkan kerap terjadi perbedaan azan di beberapa masjid sekalipun satu desa.
 

Sebenarnya, waktu berbuka puasa, sebagaimana dalam literatur turats, tidak berpatokan pada waktu azan, melainkan dilihat dari terbenamnya matahari di waktu sore yang tak lain merupakan waktu masuknya shalat Maghrib. 
 

أن التحلل عن الصوم يحصل بدخول وقت الافطار وهو غروب الشمس تعاطي المفطر أم لا
 

Artinya: “Seseorang bisa dikatakan terbebas dari tanggungan berpuasa ketika telah masuk waktu berbuka dengan terbenamnya matahari (masuk waktu Maghrib), baik orang yang berpuasa telah makan atau tidak.” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hawasyis Syirwani, [Mesir, Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra:1983], juz IV, halaman 172). 
 

Waktu Maghrib merupakan waktu dibolehkannya berbuka bagi orang yang berpuasa, berlandaskan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas di dalam Kitab Musnad Ahmad, sebagai berikut:
 

صَلَّى بِي الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ ، ثُمَّ صَلَّى بِي الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ، ثُمَّ صَلَّى بِي الْفَجْرَ حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ
 

Artinya: “Rasulullah saw shalat Maghrib bersamaku (Ibnu Abbas) di waktu berbukanya orang yang berpuasa, kemudian beliau shalat Isya denganku ketika mega-mega merah telah hilang, lalu shalat Fajar (Subuh) bersamaku ketika diharamkannya makan dan minum bagi orang yang berpuasa”. (Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, [Muassatur Risalah: 2001], juz I, halaman 333).
 

Adapun waktu Maghrib dengan berlandaskan jam waktu shalat yang merupakan hasil perhitungan astronomis, sejatinya untuk mempermudah umat manusia dalam mengetahui masuknya waktu shalat, salah satunya waktu maghrib, tanpa harus meneliti terbenamnya matahari. Karena waktu shalat yang beredar di masyarakat merupakan hasil dari perhitungan ilmu falak yang bisa dipastikan kebenarannya.
 

Terkait perbedaan azan yang dikumandangkan antara satu desa dengan desa yang lain, bahkan terkadang terjadi perbedaan di beberapa masjid, sekalipun satu desa, ini disebabkan aturan waktu yang ada tidak sama; ada yang cepat dan ada juga yang lambat, bukan karena perbedaan waktu shalat.


Maka berbuka puasa mengikuti azan desa sebelah hukumnya boleh, selama masih satu daerah, seperti: sekabupaten Probolinggo. Karena tidak ada perbedaan jam waktu shalat selama masih satu daerah. Kebolehan ini dengan syarat ketika matahari telah terbenam secara nyata, bahkan disunahkan bersegera untuk berbuka. Sebaliknya, jika hanya menduga-duga akan terbenamnya matahari atau ragu-ragu, maka tidak disunahkan bersegera untuk berbuka, bahkan haram.
 

يُسَنُّ تَعْجِيلُ الْفِطْرِ إذَا تَيَقَّنَ الْغُرُوبَ خَرَجَ بِهِ ظَنُّهُ بِاجْتِهَادٍ فَلَا يُسَنُّ تَعْجِيلُ الْفِطْرِ بِهِ وَظَنُّهُ بِلَا اجْتِهَادٍ وَشَكُّهُ فَيَحْرُمُ بِهِمَا
 

Artinya: “Disunahkan segera berbuka puasa jika matahari terbenam secara nyata, terkecuali jika hanya menduga-duga dengan adanya ijtihad akan terbenamnya matahari, maka tidak disunahkan dan apabila menduga tanpa adanya ijtihad, bahkan ragu akan terbenamnya matahari, maka hukum bersegera untuk berbuka menjadi haram.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darl Ihya’ at-Turats al-Arabi: tt], juz XIII, halaman 406).
 

Kesunahan bersegera untuk berbuka puasa berdasarkan hadits shahih Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisah, sebagai berikut:
 

عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : ثَلاَثَةٌ مِنَ النُّبُوَّةِ : تَعْجِيلُ الإِفْطَارِ ، وَتَأْخِيرُ السُّحُورِ ، وَوَضْعُ الْيَدِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فِى الصَّلاَةِ
 

Artinya: “Diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah, beliau berkata: “Ada tiga hal yang merupakan ajaran Nabi saw; bersegera untuk berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika shalat.” (Abu Bakar Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2003], juz IV, halaman 401). 
 

Memang bersikap hati-hati dalam menentukan waktu berbuka sangat penting, karena ketika salah sedikit–tanpa adanya usaha–dalam menentukan hal tersebut, maka berakibat fatal terhadap keabsahan puasa.
 

Artinya, menahan diri dari rasa lapar dan haus selama satu hari menjadi sia-sia karena puasanya tidak sah. Namun demikian, kehati-hatian tersebut tidak boleh berlebihan, sekiranya tidak sampai menimbulkan rasa was-was yang bisa menyiksa terhadap diri seseorang. Wallahu a’lam.



Ustadz Musta'in Romli, Pengabdi di Ma'had Aly PP Nurul Jadid Paiton, Probolinggo.