Ramadhan

Fiqih Puasa: Saat Lihat Orang Tak Berpuasa secara Terang-Terangan

Sab, 1 April 2023 | 16:00 WIB

Fiqih Puasa: Saat Lihat Orang Tak Berpuasa secara Terang-Terangan

Ilustrasi: Puasa (NU Online).

Kewajiban menjalankan ibadah puasa dapat dipastikan telah diketahui oleh semua orang yang beragam Islam bahkan orang awam sekalipun. Karena puasa pada bulan Ramadhan adalah salah satu dari rukun Islam yang wajib hukumnya diketahui oleh semua orang yang beragama Islam. 

 

Sekalipun demikian di Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragam Islam, ironis masih banyak yang belum menjalankan kewajiban ini. Kenyataan ini mudah kita temui di sekitar kita.
 

Lantas bagaimana sikap kita jika melihat orang yang tidak menjalankan ibadah puasa, bahkan dengan terang-terangan di depan publik makan, minum dan merokok di siangnya bulan Ramadhan?  

 

Sebelumnya tentu kita sepakat bahwa terang-terangan di depan publik makan, minum dan merokok di siangnya bulan Ramadhan adalah perbuatan yang tidak baik, atau dalam bahasa agama adalah kemungkaran. Sebab itu, bagi orang yang melihatnya wajib untuk amar makruf nahi mungkar terhadapnya.  

 

Melansir dari Darul Ifta Yordania, di sana disebutkan, 

 

ماذا يفعل من رأى شخصاً في رمضان يأكل أو يشرب عامداً، مجاهراً بفطره؟ عليه أن يأمر بالمعروف وينهى عن المنكر، فإن خاف شرَّه أنكر عليه بقلبه، لكن لا يجالسه إن استطاع، وحبذا لو استعان بولي الأمر ليمنعه من ذلك

 

Artinya, "Apa yang hendak dilakukan oleh seseorang yang melihat orang lain di bulan Ramadhan sengaja dan terang-terangan makan atau minum? 

 

Jawaban: "Wajib baginya memerintahkan dengan baik dan mencegahnya dari kemungkaran yang diperbuat. Jika ia khawatir atas keburukan yang akan menimpanya, maka hatinya harus ingkar dengan perbuatan tersebut. Namun ia tidak diperbolehkan menemaninya duduk, ini pun jika ia mampu untuk melakukannya, dan ia harus mendukung jika ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada pihak yang berwenang untuk mencegah perbuatannya tersebut." (Darul Ifta Yordania, Ahkamus Shiyam).

 

Tampaknya konsep amar ma'ruf nahi munkar di atas berdasarkan hadits Nabi dalam Shahih Muslim

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

 

Artinya, ”Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).

 

Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya' Ulumiddin menjelaskan dengan panjang lebar soal amar ma'ruf nahi munkar ini. Bahkan ia menuliskan dalam satu bab khusus pada jilid II kitab tersebut. Dalam kitabnya ia mengunakan redaksi hisbah (nahi munkar).
 

Hisbah atau nahi munkar harus dilakukan secara urut, mulai tahap pertama sampai tahap kelima, tidak boleh melompat lompat.

  1. Menjelaskan bahwa apa yang dilakukan adalah sebuah kemungkaran atau haram.
     
  2. Jika tidak berubah, kemudian memberi nasehat pelakunya dengan kata kata lembut, bukan kata-kata yang kasar.
     
  3. Jika belum berhasil, lanjut mencaci dan mencela pelakunya. Imam Al-Ghazali mencontohkan dengan kalimat: "Ya Jahil, Ya ahmaq, Hai orang bodoh, hai orang goblok, apa kamu tidak takut Allah?!”
     
  4. Jika masih belum berhasil juga, maka mencegahnya dengan paksa. Misalnya dengan menumpahkan khamr atau merebut barang curian.
     
  5. Jika belum berhasil juga, maka mengancam dan memukulnya.
    Karena langkah kelima ini dapat menimbulkan perlawanan, sehingga masing-masing membutuhkan bala bantuan, dan dapat menimbulkan bentrokan fisik atau perang, maka langkah kelima ini hanya boleh dilakukan atas izin pemerintah atau pihak yang berwenang.
 

Adapun langkah pertama sampai keempat tidak perlu izin kepada pemerintah atau siapapun. (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin , [Beirut, Darul Ma'rifat], Juz II, halaman 315). 

 

Walhasil, sikap yang harus dilakukan saat melihat orang yang tidak menjalankan ibadah puasa, bahkan dengan terang-terangan di depan publik adalah melarangnya dengan baik sebagaimana urutan langkah-langkah yang telah dijelaskan oleh Al-Imam Al-Ghazali di atas. Yakni dengan menjelaskan bahwa perbuatanya itu dilarang, menasehati, mencela pelakunya dan mencegahnya dengan paksa. Ini semua jika mampu dilakukan, namun jika tidak mampu karena khawatir akan hal buruk akan menimpanya, maka harus menjauhi dan mengingkarinya dalam hati. Wallahu a'lam bis shawab.

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Pengajar Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo