Ramadhan

Hukum I’tikaf Akhir Ramadhan bagi Wanita Haid

Ahad, 16 April 2023 | 17:00 WIB

Hukum I’tikaf Akhir Ramadhan bagi Wanita Haid

Ilustrasi: perempuan (freepik).

Semua rutinitas manusia yang berbau duniawi seringkali membuatnya lupa untuk melakukan hal-hal tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan rohani. Terlalu sibuk dengan urusan duniawi bisa membuat jiwa seseorang hampa dan kosong dari nilai-nilai spiritual. Jiwa yang sejatinya berhubungan langsung dengan Allah pada akhirnya menjadi resah dan gundah. Semua itu kemudian menciptakan dinding pemisah antara dirinya dengan Tuhannya.
 

Pada saat seperti ini, manusia memerlukan mediator dan sarana yang bisa memberikan waktu luang bagi jiwanya untuk kembali menjalin hubungan dan interaksi dengan Allah. Nah, salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan oleh Rasulullah saw untuk menanggulangi hal ini antara lain adalah dengan melakukan i’tikaf secara intensif, khususnya di akhir bulan Ramadhan seperti saat ini.
 

I’tikaf sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw, para sahabat, dan ulama dilakukan di dalam masjid dengan memperbanyak ibadah, seperti dzikir, shalat sunah, membaca Al-Qur’an, dan lainnya, tepatnya di akhir bulan Ramadhan, merupakan bentuk kongkret betapa mulia dan agungnya ibadah yang satu ini. Karenanya, kita semua sangat dianjurkan untuk meluangkan waktu guna bisa beri’tikaf di masjid.
 

Berkaitan hal ini, Sayyidah Aisyah meriwayatklan salah satu hadits Rasulullah saw tentang konsistensi Nabi saw dalam beri’tikaf di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan,
 

أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ. ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
 

Artinya, “Sungguh Nabi saw beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri Nabi (tetap) beri’tikaf sepeninggalnya.”
 

Lantas, bagaimana hukum beri’tikaf bagi wanita haid di 10 hari terakhir bulan Ramadhan
 

Pada dasarnya, orang yang hendak beri’tikaf di masjid harus memenuhi syarat-syarat sebagai mu’takif (orang yang beri’tikaf). Di antaranya adalah harus Islam, mempunyai akal, suci dari haid  dan nifas, suci dari jinabah, tidak gila selama beri’tikaf dan lainnya. Maka, orang-orang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, i’tikafnya tidak sah.
 

Syarat-syarat orang beri’tikaf sebagaimana dijelaskan oleh para ulama fiqih, di antaranya adalah: 
 

وَشَرْطُ الْمُعْتَكِفِ الْإِسْلَامُ وَالْعَقْلُ وَالنَّقَاءُ مِنْ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ وَالْجَنَابَةِ وَلَوْ ارْتَدَّ الْمُعْتَكِفُ أَوْ سَكِرَ بَطَلَ
 

Artinya, “Syarat orang yang beri’tikaf adalah Islam, mempunyai akal, suci dari haid, nifas, dan jinabat. Jika orang yang beri’tikaf murtad, atau mabuk, maka batal (i’tikafnya).” (Qulyubi, Hasiyata Qulyubi wa ‘Umairah, [Beirut, Darul Fikr: 1995], juz II, halaman 101).
 

Berdasarkan beberapa syarat di atas, maka wanita haid tidak diperbolehkan untuk melakukan i’tikaf di masjid, baik di 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan secara khusus, maupun hari-hari yang lain secara umum. I’tikaf yang dilakukannya dianggap tidak sah, karena berdiam diri bagi wanita haid di dalam masjid tidak diperbolehkan, sementara spirit daripada i’tikaf adalah berdiam diri di dalam masjid untuk melaksanakan ibadah.
 

Pendapat ini sebagaimana dikemukakan oleh Imam Zakaria Yahya bin Syarf An-Nawawi dalam salah satu karyanya, ia mengatakan:
 

وَلَا يَصِحُّ اِعْتِكَافُ حَائِضٍ وَلَا نُفَسَاءَ وَلَا جُنُبٍ اِبْتِدَاءً لِاَنَّ مُكْثَهُمْ فِي الْمَسْجِدِ مَعْصِيَةٌ
 

Artinya, “Dan tidak sah i’tikaf wanita haid, nifas, dan orang junub dari awal (sudah junub sebelum i’tikaf), karena berdiamnya mereka di dalam masjid dianggap maksiat.” (An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah], juz VI, halaman 476).
 

لَا يَصِحُّ اِعْتِكَافُ الْحَائِضِ وَلَا الْجُنُبِ، وَمَتَى طَرَأَ الْحَيْضُ عَلَى الْمُعْتَكِفَةِ لَزِمَهَا الْخُرُوْجُ فَإِنْ مَكَثَتْ لَمْ يُحْسَبْ عَنِ الْاِعْتِكَافِ

 

Artinya, “Tidak sah i’tikaf wanita haid dan orang junub. Jika datang haid kepada wanita yang sedang beri’tikaf, maka wajib baginya untuk keluar (dari masjid). Jika tetap diam, maka i’tikafnya tidak dianggap.” (An-Nawawi, Raudlatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftin, [Damaskud, Maktab Al-Islami: 1991], juz II, halaman 398).
 

Berdasarkan beberapa uraian di atas, data disimpulkan bahwa wanita haidh tidak diperbolehkan untuk melaksanakan i’tikaf di dalam masjid, baik di 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan, maupun hari-hari yang lainnya. Wallahu a’lam.


​​​​​​​

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur