Ramadhan

Kultum Ramadhan: Hikmah di Balik Musibah

Jum, 31 Maret 2023 | 18:00 WIB

Kultum Ramadhan: Hikmah di Balik Musibah

Ilustrasi: bencana - banjir - (freepik).

Di bulan Ramadhan ini, mari sejenak kita renungkan hikmah-hikmah di balik adanya musibah yang Allah swt turunkan kepada hamba-hamba-Nya, agar kita semua tidak termasuk golongan orang-orang yang ingkar terhadap ketentuan takdir-Nya. Sebab, banyak orang yang ingkar ketika mendapatkan musibah, disebabkan mereka tidak tahu hikmah yang terkandung di dalamnya.

 

Hikmah di Balik Musibah

Salah satu ujian berat yang Allah turunkan kepada hamba-Nya adalah musibah, seperti sakit, rezeki yang sempit, hidup yang sulit, dan lain sebagainya. Semua itu menjadi musibah yang sangat berat bagi mereka yang tidak bisa bersabar dan tidak bisa menggali hikmah yang terkandung di dalamnya. Bahkan, banyak yang menyerah, frustasi, panik, hingga bunuh diri.
 

Sebenar​​​​​​nya manusia sebagai makhluk yang diberi akal dan nafsu selalu menginginkan hidup yang nyaman dan tentram, terpenuhi segala kebutuhan, sehat badan dan keluarga. Ini merupakan fitrah setiap manusia. Namun, yang perlu diketahui bersama adalah bahwa kehidupan di dunia tidak selamanya tentang kenyamanan, terdapat takdir yang mengendalikannya, dan siapa pun tidak ada yang bisa menghindar darinya.
 

Karena itu, ketika musibah yang tidak kita inginkan justru diturunkan oleh Allah swt kepada kita, maka sudah sepantasnya bagi kita untuk menggali dan menelaah hikmah yang terkandung di dalamnya, dan sabar merupakan solusi terbaik saat mendapatkan musibah. Karenanya, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an:
 

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
 

Artinya, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah: 155).
 

Merujuk pendapat Syekh Wahbah Az-Zuhaili tentang sebab turunnya ayat ini, ayat ini diturunkan setelah meletusnya perang Badar di bulan Ramadhan, tepatnya ketika beberapa umat Islam gugur sebagai syahid dalam peperangan tersebut. 
 

Setelah peristiwa itu, ada sebagian sahabat yang menilai bahwa kematiannya telah merampas kenikmatan-kenikmatan dunia dari mereka yang sudah syahid. Akhirnya Allah menurunkan ayat tersebut sebagai jawaban bahwa di antara ujian yang akan dihadapi umat Islam di dunia adalah syahid ketika berperang. (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili​​​​, Tafsirul Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, [Beirut, Darul Fikr: 1418], juz II, halaman 38).
 

Masih berkaitan dengan ayat di atas, Imam Abu Ja’far At-Thabari mengatakan, musibah-musibah yang menimpa manusia merupakan keniscayaan. Ini menjadi sebuah penentu kualitas keimanan seseorang dan kepatuhannya pada ajaran Islam. Jika benar beriman, ia akan bersabar dan berbenah diri, kemudian pasrah penuh kepada Allah swt. Jika tidak, maka akan menjadi manusia yang putus asa dan frustasi, bahkan ingkar pada takdir yang telah menjadi ketetapan baginya.
 

Selain itu, ayat ini juga menjadi pengingat bagi semua manusia bahwa dunia hanyalah tempat cobaan dan musibah bagi orang-orang yang beriman. Allah akan memberikan cobaan itu kepada mereka selama di dunia. Imam At-Thabari dalam kitabnya mengatakan:
 

أَخْبَرَ اللهُ المُؤْمِنِيْنَ أَنَّ الدُّنْيَا دَارُ بَلَاءٍ، وَأَنَّهُ مُبْتَلِيْهِمْ فِيْهَا، وَأَمَرَهُمْ بِالصَّبْرِ
 

Artinya, “Allah mengabarkan (dalam ayat di atas) bahwa sungguh dunia adalah tempat cobaan, dan Dia akan menguji mereka selama di dunia, serta memerintahkan mereka untuk bersabar.” (Ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, [Beirut, Darul Fikr: 2000], juz III, halaman 219).
 

Lantas, apa hikmah yang bisa kita petik dari sebuah musibah?
 

Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengatakan, bahwa hal pertama yang perlu direnungkan oleh manusia ketika mendapatkan musibah adalah eksistensi Allah swt dan manusia itu sendiri. Allah adalah Tuhan, sementara manusia hanyalah hamba-Nya. Tugas sebagai seorang hamba di dunia (dalam hal ini) hanyalah dua, yaitu: (1) bersyukur saat diberi nikmat dan; (2)  bersabar di kala tertimpa musibah. 
 

Mensyukuri nikmat adalah menggunakan semua nikmat yang diberikan oleh Allah untuk hal-hal yang bisa mendatangkan ridha dari-Nya. Sedangkan sabar atas musibah adalah memproklamirkan keridhaan itu dengan tidak marah dan meluapkan emosi ketika tertimpa musibah.
 

Sedangkan hikmah adanya musibah menurut Syekh Al-Buthi yang bisa kita petik bersama adalah ada dua, yang pertama, yaitu (1) kesadaran bahwa diri manusia tidak bisa melakukan apa-apa, dan semua gerak-geriknya dikendalikan oleh Allah.
 

الحِكْمَةُ الْأُوْلَى هِيَ أَنَّ الِانْسَانُ عَبْدٌ مَمْلُوْكٌ لِلهِ بِوَاقِعِهِ الْاِضْطِرَارِي
 

Artinya, “Hikmah yang pertama, yaitu sungguh manusia adalah hamba yang dimiliki Allah, dengan segala kenyataan-Nya yang bersifat memaksa.”
 

Lebih lanjut, Syekh Al-Buthi menegaskan bahwa manusia hanyalah aktor di balik semua kehendak Allah swt. Dalam ranah ini, Allah sebagai penentu semua kejadian yang terjadi pada alam semesta dan isinya. Semua kehendak-Nya bersifat memaksa (idthirari), dan dengan otoritas-Nya tidak ada yang bisa menghalangi semua kehendak-Nya.
 

Sedangkan hikmah yang kedua adalah untuk menegaskan kembali bahwa dunia merupakan tempat ujian dan segala kepayahan bagi orang-orang yang beriman dan akhirat adalah tempat pembalasan dan segala kenikmatan. Syekh Al-Buthi mengatakan:
 

أَمَّا الحِكْمَةُ الثَّانِيَةُ مِنْ هَذِهِ السُّنَّةِ الرَّبَّانِيَّةِ، فَهِيَ مَا يَنْبَغِي أَنْ نُعَلِّمَهُ جَمِيْعًا مِنْ أَنَّ الحَيَاةَ الدُّنْيَا دَارُ تَكْلِيْفٍ وَأَنَّ الأَخِرَةَ دَارُ جَزَاءٍ
 

Artinya, “Adapun hikmah yang kedua dari ketetapan Allah ini, yaitu sesuatu yang sepantasnya kita jelaskan semuanya, bahwa sesungguhnya kehidupan di dunia merupakan tempat yang penuh beban, sedang kehidupan akhirat adalah tempat balasan.” (Al-Buthi, Min Sunanillah fi Ibadih, [Maktabatul Fikr], halaman 20). 
 

Semoga uraian​​​​​​ ini dapat menumbuhkan kesadaran kepada kita semua, khususnya di bulan mulia ini, untuk semakin lebih tabah dan sabar ketika tertimpa musibah, sembari menyadari bahwa manusia hanyalah aktor di balik takdir-takdir Allah, dan hanya kepada-Nya kita berserah diri. Wallahu a’lam.


 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.